Sri Budiarti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Aku Bodohi Anak- anak Kami

Aku Bodohi Anak- anak Kami

Upacara usai. Siswa berhamburan berlari memasuki kelas masing- masing. Kuikuti mereka dari belakang. Sambil mengibas- ngibaskan topi menerka mulai duduk teratur. Kubimbing mereka berdoa, lalu melakukan presensi. Kelaspun siap masuk pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.

“Pagi, anak-anak!”

“Pagi, bu guru...”

“Kita belajar?” kugoda mereka karena sebagian masih ada yang berbincang lirih. Aku memberi isyarat menunjukkan dua jari ke arah mataku, dan mereka paham, seraya duduk dengan sikap saling beradu pandang denganku.

Dalam rangka menyambut HUT kemerdekaan kita tahun ini, kita telah mengikuti banyak kegiatan. Baik yang bersifat resmi seperti mengikuti upacara pengibaran bendera, ataupun acara lomba-lomba baik di kampung ataupun di sekolah. Aku memulai pelajaran. Kita sadari bahwa Indonesia telah merdeka.Tapi kemerdekaan seperti apa, anak-anak? Kalian tahu kan kapan kita merdeka?

“17 Agustus, Bu! Tahun 45.” Tangkis Agus sigap menjawab.

“Good!” kuberi dia jempol.

Mengajar di kelas lima SD, membutuhkan kesabaran. Meski di kelas tinggi namun di masa ini (kunilai secara kelas ikal) perkembangan intelegensia mereka belum optimal dalam menganalisa masalah. Namun mereka sudah mampu memusatkan perhatian. Aku ingin menjelaskan kepada mereka bahwa bangsa kita ini meskipun sudah merdeka namun bermental budak, masih bermalas- malasan. Masih kurang rasa nasionalisme. Para guru mendengung- dengungkan kita harus menghargai jasa para pahlawan. Tapi wujud nyatanya apa? Dan hasilnya apa?

Aku mengurungkan niatku. Dengan mencerca pertanyaan- pertanyaan. Kubuat saja kelas ini gila sekaligus. Agar mereka tergila- gila belajar dan tak terasa bahwa mereka tersekat ruangan yang disebut kelas.

“Anak-anak, tahun ini 72 tahun kita merdeka. Benar?” tanyaku. Mereka menyahut serentak, “Benarrrrrrrrrr....”

Nah, ketahuilah, bangsa kita adalah bangsa yang besar! Bangsa yang menghargai jasa para pendahulunya. Bangsa yang menjunjung tinggi nilai- nilai luhur.

Bu, nilai- nilai luhur itu apa, bu? Tanya Adam sambil tersenyum.

“Hemm...ada yang tahu? Mereka semua menggeleng.

“Nilai luhur itu perbuatan baik ya, bu guru? Seseorang di belakang menukas. Ternyata Vani.

“Nah, itu Vani tahu...” jawabku seraya tersenyum pula.

“Contohnya apa?”

“Berlaku sopan terhadap orang lain, bu.” ujar Nina.

“Tidak berkelahi dengan teman, bu!” seru Mamad

“Tidak mencuri, bu.” Irma menimpali.

“Wow, seru sekali kalian!” kulangkahkan kaki menyusuri kelas sambil menatap mata- mata mereka mengekoriku.

“Ya, tepat sekali. Sayang! Ayo...sekarang kalian ibu tantang...berani? “ aku seakan mengajak duel ala coboy.

“Siapa takut, buuuu....” Aqif siswaku satu ini memang spontanitas sekali.

“Hmm, coba kalian tuliskan di buku tulis, apa saja menurut kalian yang termasuk nilai- nilai luhur, yang harus kita lakukan? Kita buat daftarnya ya....bisa?”

Bisaaa...sahut mereka serentak. Mereka antusias sekali menulis jawaban di bukunya masing- masing.

Sementara aku merasa sesak. Baru tadi sore aku membaca status di sebuah grup WA. Ditemukan laki-laki dengan penuh luka bacok tergeletak di sawah tak jauh dari rumah kami. Setengah telanjang dengan leher nyaris putus. Di upload dengan foto vulgar tanpa edit. Dua hari kemarin kulihat di televisi enam begal yang masih usia remaja, antara 17-18 tahunan ditangkap polisi di Aceh utara. Dua di antaranya positif narkoba.Berita kasus kekerasan anak. Maraknya pengguna narkoba dari berbagai kalangan. Dan banyak peristiwa miris menari- nari di kepalaku.

Aku pura-pura tersedak, dan minum segelas air di sudut ruangan kelas kami. Tenang mam. Dikau guru. Guru adalah aktor. Maka dikau adalah aktris? Aku menenangkan diri. Berarti aku dituntut berakting? Tapi mengapa? Mengapa aku harus berpura- pura bahwa kita baik- baik saja, sedangkan kita porak poranda.

Silih berganti antara konsep keguruan dengan fakta riil di lapangan bergelut dalam benakku. Guru penting menguasai ilmu peran,memang. Karenaseorang guru harus menjadi pusat perhatian di kelasnya. Oleh karena menjadi pusat perhatian maka perlu punya kesadaran. Baik kesadaran pikiran,kesadaran pancaindera, kesadaran bathin, maupunkesadaran naluri.

Tapi hatiku berkecamuk. Sesadar-sadarnya diriku. Aku harus membuka ruang untuk mereka memahami konsep nilai – nilai luhur yang terkandung dalam lima dasar Pancasila. Akan kugiring mereka perlahan, merekapun harus menerima kenyataan bahwa banyak sekali peristiwa di sekitarnya yang melenceng dari nilai- nilai luhur tersebut. Biarlah konklusinya bagaimana, kupikir belakangan saja skenarionya. Ibarat pepatah “Nasi sedap gulai mentah, gulai sedap nasi mentah”(Pribahasa Melayu-Malaysia) yang berarti pekerjaan yang tidak sempurna. Pekerjaan ini masih terbengkalai. Belum usai. Belum apa-apa, kata Khairil Anwar. Begitu sarat peran seorang guru.

Teringat aku pada sebuah pepatah Rusia mengatakan, setiap aktor yang baik selalu siap menjalani peran apapun yang dimainkannya. Tidak peduli apakah dia menjadi orang besar seperti kaisar, menjadi orang kecil seperti pengemis, auranya yang luar biasa akan tetap muncul dan membuat penontonnya terpesona. Peran antagonis, protagonis, bahkan mungkin figuran sekalipun, penonton akan selalu menyadari kehadirannya.

“Selesai, anak- anak?”

“Belummm, bu.” Sebagian mereka menjawab belum.

Tiba- tiba pintu diketuk dari luar.

“Bu, kumpul sebentar di ruang guru. Kita meeting sebentar. Beberapa guru dan kepala sekolah akan menghadiri acara resepsi penutupan semua kegiatan agustusan di balai kecamatan. Dan pengambilan hadiah lonba- lomba.” Seorang rekan menyampaikan informasi yang membuat pembelajaran kami terpenggal.

“Sekarang?” tanyaku.

“Iya. Sebagian sudah kumpul di kantor.”

Baiklah. Kutinggalkan mereka, dengan berpesan, “Jangan nakal, ya anak-anak, ibu rapat sebentar!”

“ Siap, buu...” mereka menimpali. Merdeka!! Mereka berteriak spontan. Sungguh, menurutku mereka berada dalam keadaan merdeka, memang. Merdeka yang sesungguhnya, paling tidak menurut mereka. Dari ruang kelas seberang terdengar sayup- sayup suara gaduh di kelas. Ada yang berteriak, ada yang tertawa, ada yang memukul- mukul meja. Begitulah...salah satu wujud peradaban yang bernama sekolah dasar.

"Kami orangtua ini tidak boleh menguasai jiwa anak. Kami cuma berkewajiban memasukkan paham merdeka dan kejujuran dalam jiwa yang masih bersih itu. Kami tidak boleh mempengaruhi dan menguasai batinnya. Dan cinta yang suci itu hanya bisa tumbuh bila batinnya merdeka..."(Pramoedya Ananta Toer : Menggelinding 1)

Penghujung Agustus 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Superrr sekaliii!!! Mardekaa!!

29 Aug
Balas

Trims bu. Merdeka!!

29 Aug

Mantap. Merdeka yang sesungguhnya. Merdeka...

29 Aug
Balas

Salam, m.e.r.d.e.k.a.

29 Aug



search

New Post