Sirna
Oleh : Sri Budiarti, S.Pd
Semakin mendekati pagi, semakin kalut pikiran Roy, otaknya tak mampu berpikir. Gelap. Semua kejadian seperti berputar-putar di labirin otaknya. Segelas kopi tak mampu menenangkan hatinya. Ia hanya terdiam. Lunglai.
Gaji Roy sebagai petugas cleaning service di sebuah restoran memang tak mencukupi kebutuhan hidup dia dan anak bininya. Mereka hanya bisa mengontrak kamar kos Rp 400 ribuan sebulan. Tapi Yanti istrinya pintar menyimpan uang. Berapapun uang yang didapatnya dari ibu-ibu komplek perumahan yang menyuruhnya setrika dan nyuci baju disimpannya. Seperak dua perak, tak berani Yanti menggunakannya.
Tahun ini. Wati, anak sulungnya bersikeras ingin melanjutkan sekolah ke SMP. Malah ia minta disekolahkan ke SMP Negeri I yang favorit. Berbarengan Tole juga mau masuk SD. Hasil kerja keras berbulan-bulan untuk persiapan masuk sekolah anak-anaknya, ludes dalam semalam.
Entah apa yang merasukinya. Sepulang kerja kemarin Roy nongkrong di gardu dekat rumahnya. Saat itu masih relatif sore. Keadaan kampung pun masih ramai oleh hiruk pikuk anak-anak yang bermain dan berlarian. Jamian, tetangga sekaligus teman baiknya menawari sesuatu yang menggiurkan. Membayangkannya saja hingga serasa sudah menetes liurnya.
“Roy, ikut yuk!” katanya setengah berbisik.
“Kemana?” tanya Roy ikut berbisik pula.
“Ayolah, kau tak dengar ya. Kemarin pak Jono naruh uang satu juta jadi dua juta. Bu RT juga naruh lima dapat delapan” sambil menggerak-gerakkan jemari tangannya Jamian menceritakan semuanya penuh semangat.
“Bagaimana caranya?” tanyaku setengah tak percaya.
“Ayo, kalau kamu ada uang kita ikutan. Aku juga mau naruh dua juta, ini. Hari gini, di mana bisa dapat uang sebanyak ini?” seru Jamain sambil menunjukkan uang ratusan ribu yang telah diikatnya dengan karet gelang. “Aku tunggu ya nanti di rumah.” Jamian berlalu begitu saja. Roy hanya bisa bengong. Sungguh menggoda! Apalagi bayangan lembaran-lembaran uang berwarna merah itu terus terlintas di depan matanya.
Roy bergegas pulang. Kebetulan anak istrinya tidak berada di rumah. Ia mengendap-endap berusaha menemukan uang simpanan istrinya. Di bawah kasur, dalam gentong beras, dan lemari pakaian diacak-acaknya. Enggak ada. Kampret! lihai juga Yanti ini, gumamnya dalam hati. Jika uang sudah di tangannya seperti raib saja.
Roy putus asa. Sambil mengusap keringat di jidatnya Roy bersandar lemas di ranjang. Tanpa ia sangka ia tertarik dengan piala anaknya yang berada di atas lemari. Piala itu milik Wati. Saat lulus SD Wati mendapat nilai terbaik di sekolahnya. Roy berdiri menghampiri, dan tanpa disadarinya piala itu sudah di tangan Roy. Dan benar! Uang itu berada di sana. Bingo! Bergegas Roy menuju ke rumah Jamian.
Tidakkkk!!! Bodohnya diriku. Umpat. Tak henti-henti Roy memaki dirinya. Pagi itu, saat membersihkan lantai di lobby restoran termpatnya bekerja, ia tercengang melihat tayangan televisi yang menayangkan tertangkapnya si Kanjeng Romo. Orang yang ia gadang-gadang bisa memberi solusi terhadap masalah keuangannya. Bagaimana mungkin ia telah memberikan semua uang miliknya. Lututnya gemetar. Roy tak mampu berdiri. Ia merasa ditipu mentah-mentah. Tapi oleh siapa? Tak ada yang memaksanya.
Malam ini, tak biasanya Roy pulang selarut ini. Melihat istri dan anak-anaknya terlelap pulas, ia merasa berdosa. Pasti mereka lelah menunggunya pulang hingga tertidur. Piala itu masih di atas lemari. Tak ubahnya seperti kemarin malam. Hanya saja, jika kemarin ia masih memiliki harapan, saat ini semua sirna. Roy terisak. Terbayang peluh istrinya saat sedang mencuci baju dan saat melipat lembar demi lembar uang receh yang diperolehnya. Yanti pernah merengek padanya untuk bisa ikut pergi ziarah ke makam Walisongo bersama ibu-ibu PKK.
“Mas, aku melu yoo???”
“Kemana?”
“Itu loh, minggu depan ibu- ibu komplek mau wisata religi ke Walisongo.”
“Ah, ndak usahlah. Aku ndak ada uang Yan...” Yanti diam saja, tidak protes. Hanya saja Roy tahu dia kecewa. Memang semenjak menikah Roy tidak pernah mengajaknya ke mana- mana. Jangankan liburan... ke taman kota saja dia malas.
Roy juga membayang wajah ceria Wati dan Tole dengan seragam barunya. Oh, terasa penat dan berat kepalanya. Bagaimana ia akan mengatakan semuanya pada Yanti nanti?
Bantal yang didekap Tole terjatuh. Membuyarkan lamunannya. Istrinya menggeliat perlahan. Roy berharap Yanti tetap terlelap selama mungkin, ia masih belum memiliki jawaban bagaimana jika istrinya menanyakan uang tabungan mereka. Roy mengambil selimut. Dibalutnya tubuh mungil Yanti agar tak kedinginan. Dalam tidur saja Roy setakut ini terhadap pujaan hatinya itu. Ah, perut buncit Yantipun mulai tampak membesar... itu anak ketiga mereka. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan saat ini. Tidak ada.
Pagi itu, seperti biasa Yanti ribet menyiapkan keberangkatan anak- anak ke sekolah. Sarapan pagi belum siap, jadi anak- anak berangkat dengan perut kosong.
“Makan mi saja di kantin.” Katanya pada Tole.
“Iya, mak. Tapi aku bosan mak. Bu guru juga bilang, makan mi instan setiap hari tidak baik bagi kesehata. Bikin otak bodoh!” Tole keluar rumah sambil tangannya menunjuk- nunjuk seolah menirukan perkataan gurunya.
“ya, gurumu kan banyak uangnya. Tidak tahu keadaan kita.”
“Mak, punya uang?” Wati ragu- ragu bertanya kepada ibunya.
“Berapa?”
“Di sekolah ada iuran, mak. Bayar foto untuk ijasah.”
“Loh, foto kok bayar? Katanya sekolah sekarang ini gratis. Tidak ada pungutan? La ini malah bayar.”
“Tidak tahu aku, mak.”
Yanti menghampiriku. “Mas, kamu ada uang dua puluh ribu?”
Roy hanya menggeleng dan berkata, “Bilang gurumu besok. Besok bapak bayar! Sudah pergi sana...”
Mereka berdua sudah tidak terdengar lagi suaranya. Berangkat ke sekolah. Mestinya ini saat yang tepat bagi Roy untuk mengatakan kebenaran. Mereka hanya berdua saja. Namun itu belum dilakukannya. Ia memandangi istrinya yang akan mencuci.
“Bu...kemari sebentar.”
“Ada apa, mas?”
“Aku nanti, mau ke luar kota.”
“Loh, kemana? Sama siapa? Kok tumben pakai acara luar kota, mas?” Yanti bertanya penuh selidik.
“Kalau malam ini aku tidak pulang...jual saja motorku ya buk.”
“Ada- ada saja kamu, mas. Kalau motor dijual kamu kerja pakai apa?”
“Gampanglah. Ini juga seandainya aku tidak pulang. Hehehe...” Roy menyeringai agar terkesan bercanda. Padahal dia sudah berencana untuk pergi dua tiga hari ke depan. Roy harus mengembalikan uang anak- anaknya yang sudah raib. Di kantung celana Roy terdapat 2 kantung metamfetamina yang harus diantarnya ke luar kota.
Penulis adalah peserta Sagusabu Pasuruan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terinspirasi Kanjeng kiai taat pribadi,Bu??
Seperti ituuu....hehehe....thanks Bu Yani.
Siip saya terhanyut saat bacanya. bisa dikembangkan lebih banyak dan beri ending yang memecahkan masalah, biar lega.
Hehe...iya mbak Yuni. Terimakasih masukannya.