Menatap Senja
Selain mengikuti kuliah seperti biasa Ana kini harus bisa membagi waktunya antara kuliah,mejadi asistennya Bu Dewi dan juga membantu usaha mamanya. Syukurnya jadwal ngajar Ana sebagai aisten Bu Dewi tak menganggu jam perkuliahannya. Tari sang sahabat yang selalu ada disampingnya itu juga ikut membantu Ana sebisa dia. Tari juga banyak belajar dari Ana, menyikapi semua hal tentang hidup, belajar bersabar, bahkan belajar tentang mata kuliah mereka.Ana tak pernah pelit akan ilmunya, Ia selalu berbagi pada siapapun. Bahkan ketika Ia masuk di kelas Bu Dewi yang jelas-jelas seniornya di kampus itu, para mahasiswa tampak senang, Ana bahkan nbanyak mengajari seniornya, padahal Ana sendiri belum belajar mata kuliah itu, namun Ia belajar dari materi-materi yang diberikan Bu Dewi untuk bahan ajar.
“Ana..aku senang kau jadi asisten Bu Dewi.”
“Karena?”
Tanya Ana.
“Karena kita belum pelajari tapi sudah mengenal mata kuliah yang akan diajarkan ke kita nanti.”
“Berarti nanti pas mata kuliah ini, nilai kita harus baik dong, kan kita sudah belajar duluan.”
“Iya lah kalau itu.”
“Ya sudah yok kita pulang, aku sudah selesai. Lagian kamu itu sudah capek Tar, daritadi nemenin aku sampai selesai ngajar.”
“Senangnya kau Na, daripada di kos pasti aku tidur.”
“Anastasia…”
Ana menoleh kearah suara yang memeanggil namanya.
“Saya Pak.”
Dosen ganteng itu sudah berdiri tegak disamping Ana.
“Kamu habis masuk kelasnya Bu Dewi?”
“Iya Pak…”
“Gimana? Apa kamu di bully sama senior kamu?”
“Alahamdulillah mereka welcome ke saya Pak, dan saya nggak ngerasa di bully, mereka baik kok.”
“Kamu harus tegas ke mereka, dan nggak perlu juga kamu tebar pesona.”
“Baik Pak.”
Ana bersikap hormat kepada dosen ganteng itu, padahal Tari yang disebelahnya sudah geram akan ucapan Pak Dosen yang seolah tak percaya akan kemampuan Ana.
“Kamu harus banyak belajar, menjadi asisten dosen itu tak semudah yang kamu bayangkan, apalagi kamu juga baru kuliah semester dua. Saya rasa Bu Dewi salah pilih asisten ini.”
Ana hanya terdiam dan menunduk, Ia merasa sudah dikuliti. Entah mengapa Ia merasa tersakiti akan perkataan Pak Dosen. Namun Ia berusaha untuk tenang dan menutupi rasa malunya dengan mencoba untuk tetap tersenyum.
“Insyaallah saya terus belajar Pak, dan kalaupun Bu Dewi tidak puas dengan kerjaan saya, saya siap untuk digantikan orang lain yang lebih baik dari saya.”
“Mahasiswa yang kamu ajar pun bisa menilai kualitas kamu.”
“Baik Pak, kalau gitu saya permisi ya Pak.”
Dosen itu hanya mengangguk.
Entah apa yang ada dibenak sang dosen, tapi Ia seperti menunjukkan sikap yang kurang suka dengan Ana. Apakah ini alasan sebenarnya hingga Pak dosen memberi Ana dengan nilai pas-pasan.
“Ana…sudah geram kali aku lihat Pak Alvine tadi, tapi karena kau tetap diam, aku pun jadi kesal sendiri lah.”
“Ya mungkin beliau menilau aku seperti itu Tar, kita nggak boleh marah dong kalau dinilai oleh orang.”
“Itu kau Na…kalau aku sudah kukasi kepalan tangan tadi itu.”
“Sudah…nggak perlu juga kan, yok kita pulang.”
Mereke berjalan menuruni anak tangga dan langsung menuju parkir motor. Tari juga ikut pulang ke rumah Ana,sebab besok Sabtu dan linur kuliah, jadi Ia lebih sering tinggal di rumah Ana bahkan juga ikut membantu usaha Mama Amel, hingga memasarkan dan mengantarkan pesanan. Tiba di rumah Ana menceritakan pengalamannya menjadi asisten dosen. Sang Mama tampak begitu bangga pada anak sematawayangnya itu. Bagaimana jika sang Papa juga mendengar kebahagiaan Ana hari ini?
Ikuti kelanjutannya!
Asahan, 3 April 2024
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap