Sri Endang Hastini Hasibuan

Nama ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Menatap Senja

Hingga larut malam Alvine tak juga bisa memejamkan matanya, Ia terus memikirkan tentang sosok foto yang ada di handphone Aril. Jika seorang Mama Aril saja ingin menjodohkan perempuan itu dengan anaknya, berarti tak ada alasan lain kalau bukan karena kebaikannya.

Tapi Ia tetap berpikir jika semua itu bisa saja dibuat-buat. Berpura-pura baik dan manis dihadapan semua orang tapi nyatanya hatinya sangat busuk.

Keesokan paginya Ana dan Tari bersiap untuk ke kampus, mereka sudah siap sejak jam enam pagi karena takut telat. Dan ternyata mereka memang tiba di kelas, saat satu pun mehasiswa belum ada yang datamg. Beberapa menit kemudian barulah kelas ramai karena mahasiswa lainnya sudah berdatangan.

Pak dosen ganteng masuk kelas dan memulai pelajaran.

“Untuk pertemuan kita hari ini, saya mau kalian presentasikan tugas yang saya berikan minggu lalu, ayo…siapa yang mau duluan, silakan?”

Biasanya Ana langsung tunjuk tangan dan maju kedepan, tapi kali ini Ia mulai sadar, mungkin bagi sang dosen. Ana terlalu cari perhatian.

Ana hanya menunduk, Ia tak mau tampil duluan, padahal seisi kelas sudah menunjuk Ana untuk maju duluan.

“Kamu duluan An…kata Mitha yang duduk disamping Ana.”

“Kamu aja Mit…aku nanti aja.”

“Ya sudah aku duluan ya, kamu lagi nggak enak badan ya?”

“Nggak…duluan aja ya.”

Pak Alvine heran kenapa Ana tidak mau maju duluan, biasanya Ia langsung tunjuk tangan.

Setelah empat orang maju, barulah Ana maju presentasi, semua terpukau melihat pemaparan Ana yang sangat bisa dipahami, apalagi ditambah dengan contoh-contoh yang membuat semua temannya semakin paham tentang dunia bisnis.

Pak Alvine pun mendengarkan dengan seksama penjelasan Ana. Dalam hati Ia bergumam

“Dia memang perempuan yang cerdas.” Tapi hatinya seakan berupaya menolak semuanya. Ia masih terobsesi akan rencananya untuk Ana.

Setelah selesai Ana kembali ke tempat duduknya. Ia duduk manis mendengarkan pemaparan Tari. Kali ini Ia juga tak banyak bertanya atau memberikan kritikan dan komentar. Semua mahasiswa agak heran melihat sikap Ana hari ini, termasuk sang dosen.

“Tari…aku mau pulang, kamu ikut atau mau pulang ke kost?”

“Macamnya hari Ini aku pulang ke kost aja Na, sudah berapa hari kutinggalkan.”

“Ya sudah ayok aku antar.”

“Aku jalan aja lah, dekat nya.”

“Sekalian jalan, yok.”

Mereka berjalan bergandengan tangan. Dua sahabat yang selalu saling melengkapi, meski memiliki karakter berbeda satu sama lain. Ana si cantk yang lemah lembut dan Tari yang cuek dan suak bicara blak-blakan dengan nada yang keras, sesuai sukunya.

“Anastasia…”

Langkah keduanya terhenti setelah mendengar suara dari arah belakang.

“Iya Pak.”

Tari bejalan agak menjauh, Ia takut emosi lagi jika Pak dosen menyindir Ana lagi.

“Kamu mau pulang?”

“Iya Pak.”

“Kenapa kamu tidak seperti biasanya.”

“Maksud Bapak?”

“Biasanya kan kamu paling aktif kalau di kelas saya, bahkan setiap presentasi selalu duluan. Bahkan kamu tadi tidak aktif bertanya, kamu marah sama saya? Karena saya kasi nilai C?”

“Maaf Pak…saya nggak pernah marah dengan siapapun termasuk Bapak, saya terima nilai apapun yang diberikan dosen, itu artinya kemampuan saya cuma segitu Pak.”

“Terus kenapa kamu berubah jadi tidak mood mengikuti kuliah saya.”

“Saya tetap tekun mengikuti kuliah Bapak. Cuma saya lagi mnegkaji ulang, perlakuan saya di semester lalu. Mungkin yang saya lakukan semester lalu terlalu berlebihan, ingin menjadi yang terbaik di kelas bahkan saya seolah ingin menguasai kelas. Dari situ saya mulai sadar Pak memang saya salah dan akan terus memperbaiki diri saya. Makanya saya sadar diri kenapa saya dapat nilai C dari mata kuliah Bapak. Karena mungkin tidak semua dosen suka dengan cara belajar saya.”

“Berarti kamu sadar?”

“Iya Pak, dan saya menerima dengan lapang dada, apapun nilai yang diberi dosen. Karena dosen lebih tahu bagaimana kemampuan saya.”

Pak Alvine terdiam tak bisa berkata-kata.

“Ada yang mau ditanyain lagi Pak?”

“Cukup.”

“Kalau gitu saya permisi ya Pak, Asalamualaikum…”

Ana dan Tari meninggalkan Pak dosen sendirian. Pikiran Alvine berkecamuk, entah apa saja yang ada dibenaknya seakan hadir silih berganti. Sebenarnya dalam hati Ia mengakui kebaikan dan kepintaran Ana, namun bibirnya selalu menolak dengan berusaha mengucapkan tidak.

Apa sebenarnya tujuan Alvine sering menyakiti Ana?

Ikuti kelanjutannya!

Asahan, 8 April 2024

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ceritanya

08 Apr
Balas



search

New Post