Sri Endang Hastini Hasibuan

Nama ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Menatap Senja

Banyak cara yang dilakukan Ana untuk bisa membantu usaha mamanya. Meskipun belum sesuai dengan planning, namun setidaknya produk hasil kaarya Mama Amel mulai merambah ke luar kota. Meskipun masih dalam skala kecil. Ya…dikarenakan faktor modal juga, makanya pergerakan usaha Mama Amel sedikit lambat untuk berkembang. Sebenarnya Ana punya niat untuk meminta modal pada Papanya. Namun semua itu terhenti sejak Ana tahu bagaimana sikap istri papanya pada dia dan mamanya.

Ana kini mulai bisa membantu keuangan keluarganya. Ia sudah punya tabungan setelah menang lomba menulis artikel beberapa waktu yang lalu. Dari situ, sekarang Ana menjadi penulis di warta kampus yang terbit seminggu sekali.

Ana juga mendapatkan honor dari penulis warta kampus.Sedikit demi sedikit,Ia mulai bisa mengumpulkan uang, yang pada awalnya akan Ia gunakan untuk kuliah S2 nanti, namun sepertinya Mamanya lebih membutuhkan untuk modal usaha.

“Ana…”

“Iya…ada apa Tar?”

“Kau kenapa? dari tadi kutengok melamun aja kau.”

“Nggak Tar…aku cuma lagi berpikir gimana mengumpulkan modal untuk usaha mama aku.”

“Kamu mau apa? Biar aku bantu.”

“Aku juga nggak tahu Tar, tapi yang jelas uang yang ada ditabunganku itulah yang bisa aku gunakan.”

“Tapi kan itu untuk kuliahmu nanti kalau kamu S2.”

“Untuk saat ini, ada yang lebih penting kan?”

“Aku rasa usaha ini biar saja dulu berjalan lambat, jangan kita terburu-buru untuk melaju, karena kau juga kan masih dalam tahap belajar,kita ikuti aja dulu prosesnya.”

“Kok aku ngerasa kata-kata kamu hari ini bijak ya.”

Ana tersenyum memandang kea rah Tari.

“Ya…mungkin karena berteman dengan Buk dosen ini.”

“Yok kita berangkat, semua sudah beres kan?”

“Lets go.”

“kalian hati-hati ya, bawa barang banyak soalnya.”

“Iya Ma…lagian jalanan juga pasti macet kalau jam segini, makanya wajib pelan ini.”

“Tenang aja Tante, kami nggak ngebut kok.”

Mereka pun pergi dengan mengendarai motor. Hari ini seluruh pengiriman sudah selesai. Beberapa hari kedepan Mama Amel bisa istirahat, karena belum ada job lagi. Bahkan beberapa bahan untuk usahanya pun stoknya semakin menipis.

Di sisi lain, Pak dosen ganteng yang bernama Alvine itu masih tak percaya, jika Ana ternyata sama sekali tak memprotes nilainya yang diberikan di semester lalu. Ana justru bersikap biasa saja seolah terjadi apa-apa. Begitu muliakah hati Ana, atau aku salah pilih selama ini. “Gumamnya dalam hati.”

“Vin…”

“Iya Ma…”

“Kok kamu belum makan, sudah siang ini lho.”

“Ntar lagilah Ma, belum lapar.”

“Kamu lagi banyak pkiran? cerita ke mama dong? Siapa tahu mama bisa kasi masukan .”

“Nggak ada apa-apa sih Ma, cuma pingin sendiri aja.”

Mama Alvine hanya bisa tersenyum melihat gelagat anaknya. Padahal jelas-jelas sejak tadi Alvine meghayal terus.

Sementara itu Ana sudah pulang ke rumah bersama Tari. Baru saja mau merebahkan badannya, tiba-tiba handphone Ana bordering. Ana bingung dan gelisah tak menentu setelah membaca siapa yang menelponnya.

Siapakah yang menelpon Ana? Ikuti kelanjutannya.

Asahan, 5 April 2024

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post