SANTUN BERBAHASA CERMIN KUALITAS JIWA
SANTUN BERBAHASA CERMIN KUALITAS JIWA
Fenomena berbahasa yang kurang santun akhir-akhir ini banyak kita jumpai, antara lain seringnya kita mendengar penyebutan tokoh yang kita hormati, seperti bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden tanpa menyebut kata Bapak, Ibu, Saudara atau dengan kata ganti beliau. Sering kita mendengar penyebutan nama tokoh-tokoh itu tanpa “embel-embel” apa pun sebagai penghormatan. Sudah lunturkah rasa santun dalam gaya berbahasa kita? Sudah sedemikian transparankah ungkapan hati kita untuk orang lain, sehingga tiada lagi dibalut rasa sungkan dan hormat?
Sebagaimana fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi, sudah barang tentu tujuan pemakaiannnya adalah untuk berkomunikasi, yaitu menyampaikan maksud atau pesan dari pembicara kepada yang diajak berbicara. Memang, dengan gaya bahasa seperti apa pun, jika si penerima pesan memahami maka hal itu tidak menimbulkan masalah. Gaya resmi atau santai, gaya formal atau rileks, gaya lembut atau kasar tidaklah masalah. Akan tetapi, bukankah tetap perlu adanya kesantunan dalam berbahasa??
Tergelitik rasanya saya untuk mengupas tentang gaya santun berbahasa sebagai cerminan masyarakat timur yang dikenal dunia sebagai kelompok masyarakat yang masih mempertahankan kesantunan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemakaian bahasa.
Dalam berbahasa, kita mengenal ungkapan –ungkapan honorifik yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja bagi bahasa yang tidak mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Meskipun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri atau kata ganti seperti kamu, engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu/Saudara, dia, dan beliau, mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika dipakai untuk menyapa orang. Mari kita perhatikan kalimat berikut. (1) Mengapa kamu kemarin tidak ikut ke Jakarta? (2) Mengapa Anda kemarin tidak ikut ke Jakarta? (3) Mengapa Saudara/Bapak/Ibu kemarin tidak ikut ke Jakarta? Ketiga kalimat tersebut menggunakan kata ganti yang berbeda, yang tentunya memiliki nilai kesantunan yang berbeda. Kalimat (1) dan (2) yang diajak berbicara adalah orang yang umur atau kedudukannya lebih rendah atau sama/sederajat dengan si pembicara. Kalimat (3) yang diajak berbicara adalah orang yang usia/kedudukannya lebih tinggi dari si pembicara.
Alangkah tetap lebih santun jika kita sapa orang yang lebih tua dari kita atau lebih dihormati dengan sebutan Bapak, Ibu, atau Saudara. Sedangkan untuk mengacu pada orang ketiga yang lebih tua atau lebih dihormati kita gunakan kata ganti beliau.
Berawal dari hal yang sepele ini, semoga kita bisa berbenah untuk dapat berbahasa yang santun sebagai cermin kualitas jiwa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Super sekali.Ditunggu berikutnya
Terima kasih. Baru mencoba Bu...
BAGUS MAM LANJUTKAN
Matur nuwun Bu.... Nembe latihan Bu...
Hebat...menginspirasi...sukses
Terima kasih Bu... Salam kenal...
Oooo itu perlu