Sri Hastuti Nurman

Menjadi baik itu baik. Maka tiada yang sulit jika engkau berjalan bersama Allah di dadamu. Mari menjadi baik. Hamasah...

Selengkapnya
Navigasi Web

Doa Pengunci Sukses

Kampungku dikenal dengan pertanian yang cukup baik. Di sini, masyarakat Bayang pada umumnya adalah petani. Menyambung hidup dengan bercocok tanam. Karena merupakan wilayah pertanian, kau akan temukan keindahan sejauh mata memandang. Hamparan sawah yang menghijau dan sesekali ditingkahi oleh kicauan burung yang pulang ke sarang. Setiap pagi,kau juga akan melihat mentari malu-malu menyembul dari balik bukit. Belum lagi indah semburat rona mentari yang memantul di hamparan permadani hijau. Ketika air mengikuti kodratnya mengalir dari tempat lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, maka ketika itu kecipaknya menimbulkan suara merdu nan damai. Sungguh indah alamku ciptaan Tuhan. Maka nikmatNya yang mana lagi yang akan kau dustai? Inilah keindahan tanpa ilusi.

Namun, kali ini langit nagari Bayang begitu sendu. Seolah ia tahu apa yang tengah aku rasakan. Perasaan yang bergejolak bagaikan riak di liku aliran air jembatan akar. Pagiku selalu berteman sedih. Betapa tidak, setiap pagi hatiku bagai teriris kala melihat kawan-kawan seumuran dengan ku memakai seragam sekolah, mereka menyandang tas dan berjalan beriringan menuju sekolah mereka. Sementara aku, aku harus menatapnya sambil mencuci piring sisa sarapan pagi pengunjung di warung Uni Teti.

Kehidupan membuatku begini. Ayahku hanyalah seorang petani dan ibuku sehari-hari hanya mengurus rumah tangga. Kenyataan pahit harus ku terima ketika musibah itu datang. Membuatku harus mengubur cita-citaku untuk memakai seragam putih abu-abu. Ketika kelas IX ayahku meninggal dunia. Tulang punggung keluargaku terpaksa menyelesaikan tugasnya di muka bumi ini. Ayah meninggal karena sakit ginjal yang dideritanya. Alhasil aku, ibu, dan kedua adikku yang masih kelas 4 dan 6 SD harus kesulitan menjalani hidup. Aku pun bekerja di warung Uni Teti setiap minggu pagi untuk mencari tambahan biaya hidup dan keperluan sekolah adik-adikku. Upah ibu sebagai pekerja sawah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami maka aku memutuskan membantu dengan cara itu.

Setelah Ujian Nasional dan aku pun dinyatakan lulus SMP maka kejadian teramat pahit di hidupku ini terjadi. Kami tak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolahku ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Aku memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja setiap hari di warung milik Uni Teti. Aku lakukan hal ini demi ibu dan adik-adikku. Aku tak ingin melihat ibu begitu menderita setiap hari membanting tulang dengan keras untuk menghidupi kami.

Setiap malam kulihat ibu mengurut kakinya yang lelah bekerja. Aku tahu bahwa ibu sebenarnya sangat lelah bahkan mungkin sudah tak sanggup lagi bekerja. Namun, ibu tetap tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa.

“Bu, mari aku pijat kaki ibu. Aku tahu ibu pasti sangat lelah bekerja demi menghidupi kami. Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa banyak membantu ibu.” Ucapku sambil memijat kaki ibu.

“Tidak, Nak. Harusnya ibu yang minta maaf karena tak seharusnya kau berhenti sekolah. Harusnya ibu mampu membiayai sekolahmu karena kau adalah tanggung jawab ibu. Sekarang tidurlah, kau pasti lelah. Ibu juga hendak beristirahat.” Jawab ibu

Ku pandangi wajah ibu dalam lelapnya. Guratan lelah di wajah ibu tergambar jelas. Aku selalu berdoa pada Allah agar ibu selalu sehat dan aku dapat bersekolah lagi nanti. Ku lihat senyum lebar anak-anak yang memakai seragam SMA di kalender. Kalender itu pemberian anggota dewan yang berhasil lolos dan menjabat sekarang. Andai ia membiayaiku sekolah, tak hanya sekadar membagikan kalender yang berisi potret dirinya memberi bantuan pada siswa dalam kalender itu. Sebait doa terucap di bibirku, “Ya Allah, andai saja aku bisa bersekolah kembali. Berikanlah hamba jalan untuk mnggapai cita-cita hamba.” Tanpa ku sadari, aku tertidur setelah mengucap doa itu. Kemudian secepat cahaya doa itu naik ke langit mengulur indah dan menanti dikabulkan.

Esoknya aku kembali bekerja di warung Uni Teti. Semua yang makan di sana sibuk membicarakan akan ada tamu kehormatan yang datang ke kampung kita ini. Akan datang seorang pejabat untuk memberikan bantuan. Aku langsung bersemangat mendengar kata bantuan. Dalam pikiranku akan ada seseorang yang memberi kami bantuan bagi rumah tangga miskin dan itu menggembirakan sebab persediaan kebutuhan pokok kami pasti akan banyak untuk beberapa waktu ke depan.

Yang ditunggu-tunggu ternyata datang. Kampung kami kedatangan gubernur. Beliau datang bersama rombongan dan berkumpul di kantor camat. Aku ada di sana menanti jatah jikalau beliau membawa bantuan kebutuhan pokok. Sekian lama sambutan-sambutan dari para petinggi mulai dari jabatan terendah sampai akhirnya Bapak Gubernur berpidato. Dengan gagah beliau menaiki mimbar dan mengucapkan salam pada warga yang antusias menjawabnya. Beliau berpidato tentang anak-anak yang putus sekolah. Banyak petuah yang beliau katakan, bahwa banyak anak-anak yang putus sekolah padahal kemampuan akademiknya bagus tapi terkendala oleh biaya. Di akhir pidatonya ia mengatakan, “Untuk itu pada kesempatan ini kami ingin mewujudkan cita-cita generasi penerus kita untuk tetap dapat bersekolah. Kami akan minta data anak-anak putus sekolah kepada pemerintah terkait. Kita akan biayai sampai lulus SMA.” Pidato Gubernur itu disambut tepuk tangan riuh gempita dari masyarakat. Tanpa terkecuali aku. Aku bahkan bersujud syukur kepada Allah sebagai bentuk terima kasihku karena Allah telah menjawab doaku tadi malam. “Betapa Allah Maha pengasih dan penyayang. Betapa Allah Maha mengabulkan. Terima kasih Allahku.” Ucapku dalam haru. Ibu pun sangat terharu dan memelukku. “Akhirnya kau dapat mewujudkan cita-citamu, Nak.” Ibu memelukku dalam tangisnya.

Kini aku sudah bersekolah. Setiap hari aku pun mengayuh sepeda tua milik ayah menyusuri jalan menuju sekolahku. Menghirup dalam-dalam udara yang masih asri. Sejuk, segar, dan damai rasanya ketika rongga dadaku dipenuhi oleh udara pemberian Allahku. Meski tertinggal satu tahun dari teman-teman SMP ku dulu aku tak merasa risih. Bahkan aku bertekad akan meraih juara umum disekolahku. Tentu saja itu akan berhasil ku raih dengan usaha yang gigih dan tetap berdoa kepada Allah. Karena doa adalah kunci yang membuka jalan dari Allah untuk menggapai tujuan.

“Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kan kau dustai.” Ucapku lirih sambil terus mengayuh sepedaku dengan senyum yang mengambang di bibirku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post