Almira dan Sepeda
Hampir setengah jam lamanya Almira mengunci diri di dalam kamar. Direbahkan badannya sambil menatap langit-langit kamarnya yang putih polos. Tak ada apapun di sana yang menarik, namun matanya tetap enggan beranjak dari sana. Tampak sesekali Almira merubah posisi tidurnya, menghadap ke kanan atau ke kiri. Sekali waktu juga terdengar desahan nafas yang disertai suara seperti teriakan tertahan. Kemudian tanganya dengan kuat menarik selimut karakternya hingga menutupi seluruh tubuhnya seolah tak ingin ada yang mendengar desah kesalnya. Udara di bawah selimut menghangat, akibat tumpukan karbon dioksida yang keluar dari hidungnya. Ditambah lagi cuaca siang itu cukup panas. Tapi Almira tak menghiraukannya.
Almira benar-benar kesal dengan mamanya. Bagaimana mungkin sepeda kesayangannya di berikan kepada orang lain, hanya berdasarkan asas kasihan. Dengusnya kesal. Terbayang kejadian sebelum ia kesal tadi. Saat sepeda kesayangan hilang dari dalam kamarnya.
" Lina anak Bu Retno sudah lama ingin belajar naik sepeda. Tapi Bu Retno belum bisa membelikan karena belum punya uang. Karena sepedamu sudah jarang dipakai dan sudah terlalu kecil buat kamu, akhirnya Mama kasihkan deh ke Bu Retno. Kasihan, baru-baru ini ayah Lina juga masuk rumah sakit gara-gara kecelakaan di pabrik tempatnya bekerja" cerita mamanya panjang lebar. "Kasihan sih kasihan... Tapi sepeda itu sepeda penuh kenangankenangan, Ma. Mulai pertama aku naik sepeda, ya dengan sepeda itu. Sepeda itu sudah menemani Almira selama 4 tahun,"protes Almira. "Cobalah dewasa sedikit Almira" bujuk mamanya. Kalimat inilah yang menyulut emosi Almira. Egonya muncul. "Siapa yang belum dewasa... Siapa yang masih anak-anak," Tapi ia hanya mampu protes dalam hati. "Pokoknya Almira mau sepeda itu kembali. " Teriak Almira kesal sambil berlari masuk kamar. "Brak...! " Almira membanting pintu lalu menguncinya.
Disinilah dia sekarang. Meratapi hilangnya sepeda pertamanya, hadiah ulang tahunnya yang ke delapan. Terbayang bagaimana dulu Almira dan teman-temannya bermain sepeda keliling kampung setiap sore. Pulangnya beli es puter Mang Kirman depan toserba. Banyak kenangan yang dialaminya bersama sepeda pertamanya. Dan itu menjadi kenangan terindah dan tak akan terlupakan. Kini Almira sudah di kelas tujuh. Kesibukannya bertambah, badannya juga bertambah besar dan tinggi. Sepeda itu kini menjadi monumen yang berdiri tegak di samping tempat tidurnya. Sepeda itu selalu membawa kebahagiaan setiap dia memandangnya. Sekarang sepeda itu tak ada lagi. Rasanya ada bagian dari dirinya yang hilang. Sedih, sakit. Tak terasa air matanya mengalir.Semakin lama semakin tak terbendung. Akhirnya tangisnya pecah.... "Hu.. Hu... Hu.... Sepedaku .... Hu hu ... hu... " Almira meluapkan kekesalannya di bawah selimut.
Hingga kemudian.... "Tok.. Tok.. Tok ." Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Almira... ayo makan dulu.. Sudah hampir sore nih. Nanti sakit perut lho!" Teriak mamanya dari luar. Almira terkejut. . Antara sadar dan tidak, sayup-sayup terdengar teriakan mamanya. Almira mencoba keras membuka matanya. Ah, apakah aku ketiduran, pikir Almira gamang. Sejak kapan.? Mata sembabnya terbuka. Mencerna kembali apa yang baru saja dialami. "Almira .... Buka pintunya, nak.Mama mau bicara! "panggil mamanya sekali lagi. Almira tetap diam tak bereaksi. Perlahan dia duduk lalu menyibak selimutnya. Terasa hawa dingin menyentuh kulitnya yang sedari tadi tertutup selimut. Pandangannya tertuju ke luar jendela. Ternyata hujan.. Perlahan Almira beranjak dari tempat tidurnya. Tak dihiraukan teriakan mamanya berkali-kali. Dia tak tahu apa yang diteriakan mamanya selanjutnya. Apakah mamanya masih di depan pintu atau memang sudah menyerah, Almira benar-benar tak perduli.
Seperti terhipnotis suara hujan, Almira berjalan menuju ke jendela. Di pinggirkan tiraijendela itu ke sisi kanan jendela hingga ia leluasa melihat ke arah luar. Kedua lengannya sendekap di atas kusen jendela. "Hujan.. Sudah lama tidak turun hujan "batinnya. Ini adalah hujan pertama di musim ini. "Ah...wanginya" Almira menarik nafas panjang. Dia memang selalu menyukai aroma tanah yang keluar akibat tertimpa hujan. Aromanya bisa membuat hatinya tenang. Mungkin Allah memang sengaja menurunkan hujan untuk menenangkannya, pikirnya sambil terus menikmati pemandangan hujan di halaman samping rumahnya. Wajahnya menengadah, mata bulatnya memandang jauh hujan di atas. Tampak putih seperti kabut. Semakin ke bawah putih itu semakin jelas sebagai hujan yang jatuh membasahi dedaunan. Daun-daun itu tampak bergerak-gerak tertimpa derasnya hujan. Bagi Almira mereka tampak seperti tarian gembira menyongsong datangnya hujan yang telah lama dinantikan.
Apakah Lina juga seperti dedaunan itu? Tiba-tiba nama itu melintas di benak Almira. Sudah berapa lamakah Lina menginginkan sepeda? Sudah berapa pinta yang direngekkan Lina ke mamanya agar dibelikan sepeda? Sudah berapa puluh mimpi yang terlintas di dalam tidurnya? Dan berapa puluh rasa yang sudah dipendam Lina tatkala melihat teman-temannya bermain sepeda? Lintasan-lintasan pikiran itu mengusik kalbunya. "Ah... Bodo amat... Bodo amat. Bodo amat dengan Lina! " Jerit Almira dalam hati. Tanpa sadar Almira menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba menepis galau yang tiba-tiba membuatnya ragu akan sikapnya.
Sepi, hanya suara hujan yang terdengar. Kembali matanya menikmati hujan. Hujan yang mengalir dari genteng rumahnya seperti tirai manik-manik yang berkilau. Alirannya saling berlomba cepat sampai ke tanah lalu menghilang masuk ke dalamnya, sebagian tergenang, dan sebagian lagi mengalir ke selokan depan rumah. Tak terlihat lagi bekas air hujan pertama. Almira mengamati jalannya air hujan sampai ke selokan. Almira seolah bisa melihat kemana selanjutnya air hujan itu pergi. Melalui mata air-mata air , air hujan akan sampai ke tanah kering lainnya. Bagi tanah kering itu, air itulah yang pertama menghilangkan dahaganya . Yang pertama menyambung kembali retakan-retakan tanah yang merekah akibat kemarau panjang. Sama seperti dedaunan di samping kamarnya. Hujan pertamalah yang pertama kali membersihkan debu-debu yang melekat berbulan-bulan lamanya di permukaan daun, hingga tampak kembali hijau kemilau daunnya. Air hujan pertama jugalah yang menghalau hawa panas pergi dan memanggil air hujan berikutnya untuk membawa kesejukan bagi alam semesta. Yang pertama... selalu yang pertama, yang sulit untuk dilupakan. Apakah sepedaku juga akan bernasib seperti air hujan, menjadi pertama untukku dan akan menjadi pertama buat Lina? Haruskah aku merelakannya seperti air hujan yang rela masuk ke dalam tanah, ke selokan demi menggantikan musim kemarau ? Pikirannya kembali melayang ke sosok Lina, si bocah kelas dua SD seberang rumahnya. Pasti Lina sekarang tengah bahagia. Terbayang senyum lebar mengembang di wajah kecil polosnya. Terbayang Lina yang sedang memandangi sepeda pertamanya seperti saat pertama kali dia mendapat hadiah sepeda baru. Perasaan itu masih bisa dirasakan hingga sekarang. Sampai-sampai Almira memasukkan sepeda itu ke dalam kamarnya. Kenangan bersama sepedanya setiap hari sangat melekat di benaknya hingga ia takut melupakannya. Setiap dia memandang sepedanya hatinya seperti melompat lompat ingin keluar. Lalu ia bergegas melompat ke ranjang dan berusaha memejamkan mata berharap hari segera berganti. Lina pasti juga seperti dirinya dulu.
Tegakah aku merenggut kebahagiaannya? Pikirnya berkecamuk. Yang didapat Lina bukanlah sepeda baru,tapi sepeda bekas yang sudah aku pakai selama 4 tahun. Yang berkali- kali sudah keluar masuk bengkel. Oh.. Betapa egoisnya aku. Almira seolah-olah baru terbangun dari tidurnya. "Lina... " Gumamnya.
Sementara dari luar kamar.... "Almira.. ada paket buatmu !"Suara lantang mamanya membuyarkan lamunannya. "Paket? Hujan-hujan begini? Perasan sudah sebulan ini gak pernah belanja online? Apa ada give away nyasar, ya?" pikirnya. "Aneh" Akalnya kembali kritis. Tanda kesadarannya kembali normal. Reflek Almira bergegas membuka pintu yang sedari tadi terkunci. Entah kemana perginya rasa kesal yang berjam-jam tadi susah dilupakan. Mungkin sudah hilang terbawa air hujan masuk ke dalam tanah. 'Mana paketnya, Ma.. ?" tanya Almira penasaran. Mama tersenyum lega melihat respon Almira. "Tuh.. di teras... "Jawab papa yang duduk di sebelah mama. Pandangan kedua orang tuanya beradu penuh arti. Seperti dikomando, mereka berdua berjalan mengikuti anak perempuanya menuju ke teras. Almira celingukan mencari kotak atau wadah atau bentuk apapun yang biasa dihantarkan kurir paket. Di atas meja, di atas kursi di bawah meja, di bawah kursi, tapi nihil. Yang ada...
"Ma.... sepeda lipat siapa ini... "teriak Almira yang mengira kedua orang tuanya masih ada di dalam. Badannya hendak berbalik masuk, namun urung melihat keduanya sudah berdiri di belakangnya "Sepeda kamu..." jawab Mama dan papa serempak sambil tersenyum bahagia. "Ha.... " Almira hanya mampu melongo tak percaya melihat sepeda lipat yang masih terbungkus plastik.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap
Mantap