Sebuah Keputusan
Sebuah Keputusan
Pekerjaan Bapak sebagai kontraktor menyebabkan kami sering berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Kami sudah terbiasa dengan suasana kota yang berganti-ganti maksimal 5 tahun sekali. Sejak aku lahir sampai sekarang sudah 7 kali pindah. Itu sebabnya kami mempunyai tempat lahir yang berbeda-beda. Kakakku Hans dan Erna lahir di Solo,, Indri dan Hera di Biak, aku dan Wardah di Jayapura sedangkan adikku yang paling kecil di Jakarta. Usia kami juga berdekatan. Hampir semuanya hanya berjarak 1 tahun kecuali aku dan Warda. Jarak usia kami dua tahun. Hubungan kami sangat akrab. Hal ini menyebabkan kami tidak pernah memanggil saudara kami dengan sebutan kakak atau adik. Kami biasa menyebut nama saja satu sama lain.
Ibu dan kakakku Erna membereskan meja makan. Sementara Hans dan Indri mencuci piring bekas makan kami. Bapak, aku, Hera dan kedua adikku masih bertahan di posisi kursi kami masing-masing. "Wardah, Yudi, kalian nanti di Medan sekolahnya diantar pakai becak motor." Kata bapak memecah kesunyian.
'Benar" jawab Yudi antusias. "Aku sering lihat di youtube. Motornya ada di samping penumpangnya. Aku nanti akan duduk dekat tukang becaknya. Atau aku mau coba duduk dibelakang tukang becak. Pasti seru.." Yudi berimajinasi. Matanya berkilat penuh semangat.
"Jadi aku sendirian dong di kursi penumpang. Wah asyik.. Gak enak duduk sama Yudi. Banyak tingkah. Ada aja yang di komentari. " Warda menimpali.
" Ya gak bisa gitu dong, Yud. Penumpang harus tetap duduk di kursi penumpang. Gak boleh duduk dengan tukang becaknya. Emangnya naik motor. Walaupun ada motornya, tapi sudah menjadi angkutan becak. Jadi tidak boleh berboncengan. Kasihan nanti abang becaknya di tilang pak polisi." Bapak mencoba menjelaskan dengan geli.
"Iya nih.. Dasar bocil norak, kampungan.. " Sulutku masih dalam keadaan kesal. Yudi jadi cemberut. Mulutnya terkunci dan sedikit maju.
"Biarin.. Biar norak kampungan tetep juga adik kamu, wekkkk.. " Yudi tak mau kalah. Lifahnya menjulur mengejekku.
"Siapa bilang... ".. Belum selesai aku membalas ejekan Yudi, Ibu menyelaku.
" Stop.. Gak perlu dilanjutkan sayang. Jangan sampai terucap hal-hal buruk dari mulut kita. Setiap kata yang keluar itu doa. Jadi harus hati-hati.. " Ibu menasehatiku. Gantian aku yang cemberut.
"Er, bapak sebenarnya masih harus menjelaskan satu hal ke kamu dan kakakmu." Bapak beralih ke Erna dan Hans yang sudah kembali duduk di kursi makan. Wajah Bapak serius menatap kedua kakakku.
"Emangnya ada apa ? " Tanya Hans dan Erna hampir bersamaan. Mereka saling menatap penuh tanya.
"Begini, kalian kan sudah kuliah. Kalian juga tahu kalau sistem perkuliahan sangat berbeda dengan sekolah. Untuk mengurus kepindahan kalian akan perlu banyak hal yang diurus. Sebenarnya bisa saja Bapak mengurusnya. Tapi apakah kalian mau menyesuaikan disana sini? " Bapak sengaja menggantung kalimatnya. Memberi kesempatan kepada keduanya untuk berpikir.
"Maksudnya...? " Tanya mereka hampir bersamaan lagi.
"Well, kalian bisa saja pindah sesuai dengan fakultas kalian. Namun biasanya beberapa kelas yang akan kalian ulang. Bahkan ada beberapa kampus yang mensyaratkan penyetaraan transkrip nilai. Kalian juga belum tentu bisa langsung kuliah. Bisa jadi kalian diterima pindah, tapi baru dizinkan masuk pada tahun ajaran baru. Hal ini akan menyebabkan mundurnya waktu lulusan kalian." Bapak berheti lagi. Memberi ruang kepada mereka untuk mencerna penjelasan Bapak yang menurut anak seusiaku sangat rumit. Hans dan Erna saling memandang. Tampak dahi erna berkerut. Sedangkan Hans tampak lebih tenang dan sepertinya tahu kemana arah pembicaraan Bapak.
"Jadi menurut Bapak kami tidak usah pindah?" Hans berasumsi lugas.
Erna tampak kaget dan melotot. Mulutnya bahkan menganga agak lebar.
"What.. maksudmu kita bakal ngekos! Kata kakakku hampir menyerupai teriakan. Tatapannya nanar ke arah kakakku Hans tak percaya. Kami semua kaget. Kami saling memandang bergantian. Terakhir, semua pandangan tertuju ke Bapak dan ibu.
"Oh.. No... " Gumamku sambil menggeleng reflek. Segera aku usir imajinasi perpisahan yang tiba-tiba menyeruak piiranku.
"Bapak.. Ibu.. " Indri menuntut penjelasan. Seolah dia mewakili kami semua meminta penjelasan utuh dari orang tua kami. Suasana meja makan menjadi sedikit tegang. Tak ada yang bergerak. Semua menahan nafas, menunggu pernyataan tegas dari Bapak atau Ibu.
"Well, menurut kami.. Bapak memandang sejenak Ibu. Seolah keputusan ini memang sudah dipikirkan masak-masak oleh mereka. " Menurut kami kalian berdua lebih baik ngekos saja. "
Derrr!!
Akhirnya yang kudugapun menjadi kenyataan. Namun demikian, pernyataan ini benar-benar diluar kebiasaan. Walau kami sering berpindah-pindah, namun tidak pernah satupun anggota keluarga yang tertinggal. Tapi sekarang... Oh my Allah....Hans, Erna.. Haruskah??
" Common, Kalian sudah cukup dewasa. Mungkin sudah saatnya bagi kalian untuk lebih mandiri, bisa mulai belajar mengatur hidup kalian. Awalnya mungkin belum terbiasa, namun yakinlah kalian akan cepat belajar. " Ibu mencoba membesarkan hati kedua kakakku. Erna masih diam terpaku. Sementara Hans mulai gelisah di tempat duduknya.
"Apa yang kamu pikirkan Hans?" Tanya Ibu kemudian.
" Aku sih sebenarnya gak masalah dengan ngekosnya. Cuman.. Bolehkah aku meminta sesuatu? "
" Apa itu" Tanya Bapak balik.
" Aku ingin dibelikan sepeda motor. Selama ini aku mengalah untuk naik angkot kemana-mana. Aku paham jika aku maksa beli, itu akan menambah repot kepindahan kita. Namun sekarang, karena aku harus tinggal, aku tidak punya alasan untuk repot. Apa boleh Bu, Bapak? " Hati-hati Hans menjelaskan.
"Hans.. Kamu emang licik.. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan". Tukas Hera yang sedari tadi diam saja.
" Kamu anak kecil diam kenapa! Hans setengah menghardik kakakku Hera. Tampak Hera langsung salah tingkah. Rasain.. Dasar tukang ikut campur.. Runtukku dlam hati. Tanpa kami duga Bapak langsung menyetujui permintaan Hans.
"Ok.. Kami setuju. Kami sebenarnya juga sudah memikirkannya. Bukan hanya kamu, tapi adikmu Erna juga akan Bapak belikan". Tapi dengan syarat kalian harus bisa merawatnya, jangan ngebut. Gunakan sepeda motor kalain untuk pergi atau mengunjungi tempat-tempat yang mendatangkan keberkahan buat kalian. Kami yakin kalian pasti tahu apa yang kami maksud. Jaga kepercayaan kami. Kalian sanggup? "
"Siap bos! Jawab Hans bersemangat. Sebalikknay Erna hanya bisa hanya mengangguk lemah..
(To be continued)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar