Sebuah Keputusan
Profesi Bapak sebagai kontraktor menyebabkan kami sering berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Kami sudah terbiasa dengan suasana kota yang berganti-ganti .Sejak aku lahir sampai sekarang sudah 7 kali pindah. Itu sebabnya kami mempunyai tempat lahir yang berbeda-beda. Kakakku Hans dan Erna lahir di Solo,, Indri dan Hera di Biak, aku dan Wardah di Jayapura sedangkan adikku yang paling kecil di Jakarta. Usia kami juga berdekatan. Hampir semuanya hanya berjarak 1 sampai 2 tahun saja kecuali aku dan Warda. Jarak usia kami tiga tahun. Hubungan kami sangat akrab. Hal ini menyebabkan kami tidak pernah memanggil saudara kami dengan sebutan kakak atau adik. Kami biasa menyebut nama saja satu sama lain.
Makan malampun selesai. Tampak Ibu dan kakakku Erna mulai membereskan meja makan. Sementara Hans dan Indri mencuci piring bekas makan kami. Bapak, aku, Hera dan kedua adikku masih bertahan di posisi kursi kami masing-masing.
"Wardah, Yudi, kalian nanti di Medan bakal sering naik becak motor." Kata bapak memecah kesunyian.
'Benarkah? "Yudi tampak penasaran dan antusias. "Aku sering lihat di youtube. Motornya dan abangnya ada di samping penumpangnya. Aku nanti duduk dekat abang becaknya biar tahu cara mengemudikan becaknya. Aku juga mau coba bonceng dibelakang abang becak. Pasti seru.." Yudi berimajinasi. Matanya berkilat penuh semangat.
"Jadi aku sendirian dong duduk di kursi penumpang. Wah asyik.. Gak enak duduk sama Yudi. Banyak tingkah. Ada aja yang di komentari. " Warda menimpali.
" Ya gak bisa gitu dong, Yud. Penumpang harus tetap duduk di kursi penumpang. Tidak bolleh duduk dengan abang becaknya. Emangnya naik motor. Walaupun ada motornya, tapi kan sudah dimodifikasi menjadi angkutan becak. Jadi tidak boleh berboncengan. Kasihan nanti abang becaknya di tilang pak polisi." Bapak mencoba menjelaskan dengan geli.
"Dengerin, tuh. Kalau mau boncengan mending naik ojek on line" Indri ikut menggoda adik bungsunya. Yang digoda balas mencibir.
"Iya nih.. Dasar bocil norak, kampungan.. " Sulutku masih dalam keadaan kesal. Yudi jadi cemberut. Mulutnya terkunci dan sedikit maju.
"Biarin.. Biar norak kampungan tetep juga adik kamu, wekkkk.. " Yudi tak mau kalah. Lifahnya menjulur mengejekku.
"Siapa bilang... ".. Belum selesai aku membalas ejekan Yudi, Ibu menyelaku.
" Stop.. Gak perlu dilanjutkan sayang. Jangan sampai terucap hal-hal buruk dari mulut kita. Setiap kata yang keluar itu doa. Jadi harus hati-hati.. " Ibu menasehatiku. Gantian aku yang cemberut.
Sejurus kemudian, terdengar deheman dari Bapak.
"Ehmm .. Er, sebenarnya masih ada yang mau Bapak jelaskan ke kamu dan kakakmu." Bapak beralih ke Erna dan Hans yang sudah kembali duduk di kursi makan. Wajah Bapak serius menatap kedua kakakku.
"Emangnya ada apa ? " Tanya Hans dan Erna hampir bersamaan. Mereka saling menatap penuh tanya.
"Begini, kalian kan sudah kuliah. Kalian juga tahu kalau sistem perkuliahan sangat berbeda dengan sekolah. Untuk mengurus kepindahan kalian akan perlu banyak hal yang diurus. Sebenarnya bisa saja Bapak mengurusnya. Tapi apakah kalian mau menyesuaikan disana sini? " Bapak sengaja menggantung kalimatnya. Memberi kesempatan kepada keduanya untuk berpikir.
"Maksudnya...? " Tanya mereka hampir bersamaan lagi.
"Well, kalian bisa saja pindah sesuai dengan fakultas kalian. Namun biasanya ada berapa kelas yang mesti kalian ulang. Itu tergantung dari kebijakan kampusnya. Bahkan ada beberapa kampus yang mensyaratkan penyetaraan transkrip nilai. Ditambah lagi kemungkinan kalian belum bisa langsung masuk perkuliahan semester depan. Bisa jadi kalian diterima pindah, tapi masuknya baru bisa pada tahun ajaran baru. Otomatis waktu kelulusan kalian bakal mundur." Bapak berhenti lagi mencoba memberi ruang kepada mereka untuk mencerna penjelasan Bapak yang menurut anak seusiaku sangat rumit. Hans dan Erna saling memandang. Tampak dahi Erna berkerut. Sedangkan Hans tampak lebih tenang dan sepertinya dia tahu kemana arah pembicaraan Bapak.
"Jadi menurut Bapak kami tidak usah pindah?" Hans berasumsi lugas.
Erna tampak kaget dan melotot. Mulutnya ikut reflek menganga agak lebar. Aku dan semuanya juga mendadak mematung. Mencoba mengikuti arah pembicaraan bapak. Mata kami memandang ketiganya bergantian. Menunggu kepastian dengan kecemasan dan kebingungan.
"Wait. Apa maksudmu kita bakal ngekos, Hans? Teriak Erna tak percaya.. Kami saling memandang bergantian. Menatap Erna dengan tatapan iba. Tidak terbayang olehku kalau si foody bisa bertahan sendirian di kamar kos. Kasihan Erna pasti dia bakal mati kutu jauh dari dapur sang ibu.
" Oh.. No... " Gumamku sambil menggeleng reflek. Segera aku usir imajinasi perpisahan yang tiba-tiba menyeruak piiranku.
Pada akhirnya semua pandangan tertuju ke Bapak dan ibu.
"Bapak.. Ibu.. " Panggil Indri sejurus kemudian. Seolah dia mewakili kami agar Bapak dan Ibu dapat memberikan penjelasan yang utuh. Suasana ruang makan menjadi sedikit tegang. Tak ada yang bergerak. Semua menahan nafas, menunggu kepastian. Hanya jarum jam dinding yang berani bergulir dengan bunyi detaknya. Tek.. Tek.. Tek..
"Well, ... " Akhirnya Bapak mulai bicara. Bapak memandang sejenak Ibu. Seolah keputusan ini memang sudah dipikirkan masak-masak oleh mereka berdua.
" Menurut kami kalian berdua memang lebih baik ngekos saja.
Duerr....!
Oh My Allah, Akhirnya yang kudugapun menjadi kenyataan. Walau aku sudah menduga, tapi ini benar-benar diluar kebiasaan. Kami memang sering berpindah-pindah, namun tidak pernah ada satupun anggota keluarga yang tertinggal. Dan sekarang... Oh my Allah....Hans, Erna.. Haruskah?? Pikiranku berkecamuk tak karuan. Kupandangi kedua kakakku iba.
" Kalian sudah cukup dewasa." Ibu melanjutkan penuh perhatian.
" Mungkin sudah saatnya bagi kalian untuk belajar mandiri, belajar mengatur hidup kalian sendiri. Awalnya mungkin belum terbiasa, namun yakinlah kalian akan cepat belajar. " Ibu mencoba membesarkan hati kedua kakakku. Erna masih diam terpaku. Sementara Hans mulai gelisah di tempat duduknya. Sesekali tangannya saling meremas seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. Tapi menurutku dia tampak tegar.
"Apa yang kamu pikirkan Hans?" Tanya Ibu kemudian.
" Aku sih sebenarnya gak masalah dengan ngekosnya. Cuman.. Hans menjeda kalimatnya sejenak.
" Bolehkah aku meminta sesuatu? "Tanya Hans hati-hati. Dipandangnya kedua orang tua kami bergantian
" Katakan' jawab Bapak singkat.
" Aku pengen punya sepeda motor. Selama ini aku mengalah untuk naik angkot kemana-mana. Aku paham jika aku maksa beli, itu akan menambah repot kepindahan kita. Namun sekarang, karena aku harus tinggal, aku tidak punya alasan untuk repot lagi. Apa boleh Bu, Bapak? " Hati-hati Hans menjelaskan.
Belum sempat Bapak menjawab, Hera langsung menyela.
"Hans.. Kamu emang licik.. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan". Tukas Hera yang sedari tadi diam saja. Maksudnya mungkin menggoda Hans. Tapi sayang, momennya kurang tepat. Alhasil Hans malah emosi.
" Kamu anak kecil diam kenapa! Hans setengah menghardik kakakku Hera. Tampak Hera langsung salah tingkah. Rasain.. Dasar tukang ikut campur.. Runtukku dlam hati. Tanpa kami duga Bapak langsung menyetujui permintaan Hans.
"Ok.. Kami paham. Dan kami setuju. Sebenarnya hal ini juga sudah kami pikirkan jauh hari. Dan Bukan hanya kamu, tapi adikmu Erna juga akan Bapak belikan". Tapi dengan syarat kalian harus bisa merawatnya, jangan ngebut. Gunakan sepeda motor kalain untuk pergi atau mengunjungi tempat-tempat yang mendatangkan keberkahan buat kalian. Kami yakin kalian pasti tahu apa yang kami maksud. Jaga kepercayaan kami. Bisa? " "
'Siap bos! "Jawab Hans bersemangat sambil meletakkan tangan kanan nya di kening seperti orang hormat bendera. Aku heran sekaligus geli melihat tingkahnya. Aku gak habis pikir bagaimana dia bisa santai menghadapi semua ini. Apa mungkin karena dia laki-laki jadi lebih siap dengan segala kondisi. Tapi tidak begitu dengan Erna. Erna hanya bisa mengangguk lemah.. Tampak dia masih shok.
(To be continued)

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Semoga sehat selalu dan sukses selalu
Aamiin. Trimskasih. Salam kenal