Sri Masrifah

Sri Masrifah Lahir di Kebumen 02 Mei 1964 pernah belajar di IKIP Jakarta 1985, di Undana Kupang 1999, di STKIP PGRI 2002, S2 di UHAMKA dari 2006 belum menyel...

Selengkapnya
Navigasi Web

saya mengikuti tantangan 30 hari menulis

Bukan Wahana Histeria? (Cerita Bersambung)

Kedua

Ikut tantangan 30 hari menulis

Hari Kedua

Hampir satu jam keadaan masih mencekam. Tak ada yang berkata-kata. Berbisik pun dengan suara sangat lirih.Beberapa saat terdengar pengumuman.

"Lampu tanda mengenakan sabuk telah dipadamkan. Tetapi, sebaiknya Anda tetap mengenakan sabuk," suara pramugari dari pusat informasi.

Langsung disambut oleh para penumpang dengan suara "klik" yang bersahutan tanda para penumpang melepaskan sabuk pengaman.

Spontan banyak penumpang yang berdiri menuju toilet. Mereka mengantre.Sepertinya mereka segera melepas yang tertahan sejak peristiwa histeris tadi.

Pramugari mulai menyajikan konsumsi. Sepertinya juga cukup terlambat karena keadaan.

Bisikan para penumpang dengan keluarga atau penumpang di sekitarnya mulai terdengar. Mereka saling menyampaikan perasaan ketika keadaan penerbangan tidak stabil.

Pererbangan Jakarta ke Makassar yang hanya kurang lebih dua jam menjadi terasa sangat lama.

"Baru kali ini. Jangan terulang lagi ya, Allah." kakak iparku mulai bicara.

Aku tersenyum dan mengaminkan.

"Pulangnya bukan pesawat ini, kan?" lanjutnya dengan suara menyimpan rasa takut yang belum lenyap.

"Bukan," jawabku menenangkan.

"Tapi Minggu lalu saya ke Jogja, pulang pergi juga pakai pesawat ini. Tapi, nggak begini," lanjutnya.

Terdengar suaranya lebih datar. Pertanda sudah semakin tenang. Kalimat yang terucap juga menandakan bahwa bukan karena pesawatnya. Tetapi, karena rasa takut lebih kuat, maka tersirat seolah-olah pesawatnya yang membuat tidak nyaman. Sehingga, ia memastikan pulang tidak menumpang pesawat yang sama.

"Iya, tadi mungkin karena cuaca," aku masih hemat kalimat.

Aku tahu. Kalimat kakak iparku hanya luapan kepanikan saja. Perasaan yang sama dengan yang kurasakan. Ia juga sering bepergian dengan pesawat. Bahkan, baru sepekan yang lalu.

"Alhamdulillah," suara hampir serentak.

Pukul 07.15, pesawat mendarat dengan mulus. Cuaca mendung di bandara Makassar. Bahkan gerimis.

Larangan mengaktifkan telepon seluler, diabaikan oleh sebagian penumpang.

"Pagi, serem, Pah. Papah udah di bandara kan, Pah?" saura gadis remaja yang duduk di depan ku, dengan terisak melaporkan kepada orang tuanya.

Ia terbang sendirian. Mungkin ia akan berlibur atau kembali dari berlibur.

Banyak percakapan senada melalui telepon seluler. Sambil menunggu pintu pesawat dibuka, sebagian besar penumpang sudah mengaktifkan, bahkan sudah menggunakannya untuk curhat tentang penerbangan yang baru dialaminya.

Terdengar pengumuman dari pusat informasi beberapa saat sebelum pintu pesawat dibuka.

"Penumpang yang akan melanjutkan penerbangan ke Gorontalo dimohon untuk tetap tinggal di pesawat."

Segera para penumpang turun setelah pintu pesawat dibuka. Aku melihat tiket pesawat untuk ke Gorontalo. Tempat duduk kami berenam ternyata pindah ke beberapa kursi ke depan.

Ternyata hanya kami berenam, yang tidak turun dari pesawat. Apakah semua penumpang selain kami memang tujuan Makassar atau ada yang membatalkan penerbangan ke Gorontalo.

Yah, itu bukan urusanku. Karena hanya kami berenam, leluasa kami ngobrol, termasuk membahas perasaan masing-masing saat penerbangan mengerikan. Kami sempat menikmati konsumsi yang dibagikan sejak tadi.

"Masyaallah, saya sempat berserah dan memohon 'syahidkan kami bila Engkau menghendaki kami kembali kepada-Mu hari ini. Penerbangan kami adalah untuk silaturahmi lillahita'ala'," ucap kakakku yang usianya di atas enam puluh tahun, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa ya, Mas. Ini salah satu hikmah dari perjalanan. Kita jadi banyak mengingat Allah," jawabku mulai memanjang karena suasana sudah semakin cair.

Anakku dan anak kakakku juga terlibat dalam pembicaraan. Tentunya doanya berbeda karena mereka masih mahasiswa. Tawa pun semakin lebar tanda rasa mencekam sudah sirna.

Penerbangan ke Gorontalo pun berlanjut. Pesawat sudah mengangkasa dengan cuaca agak cerah. Doa lebih khusus dari biasanya.

Sebelum terbang, aku mendengar jumlah penumpang seluruhnya 82 orang termasuk kami. Banyak bangku kosong baik di bagian depan kami maupun di belakang kami. Padahal, pada saat cek ini online, hampir semua tempat duduk di depan kami sudah ada tanda terisi.

Entah mengapa. Lagi-lagi, ini bukan urusanku.

Pesawat menuju Gorontalo.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post