Sri purwaningsih

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

SEPAK BOLA GAJAH DALAM EVALUASI PENDIDIKAN

SEPAK BOLA GAJAH DALAM EVALUASI PENDIDIKAN

OLEH :

Sri Purwaningsih, S.Pd

(Guru MAN Pemalang)

Sepak bola adalah salah satu olahraga yang sangat populer di dunia. Dalam pertandingan, olahraga ini dimainkan oleh dua kelompok berlawanan yang masing-masing berjuang untuk memasukkan bola ke gawang kelompok lawan. Dalam sebuah kompetisi pertandingan sepak bola terdapat aturan-aturan untuk menentukan sebuah tim sepak bola bias lolos dari babak satu ke babak berikutnya. Sedangkan yang dimaksud “ sepak bola gajah” adalah satu istilah kecurangan dalam pertandingan sepak bola yang mengabaikan sportifitas untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan menghalalkan segala cara. Dan hal itu adalah sesuatu yang sangat memalukan.

Lalu apa hubungan sepak bola gajah dengan evaluasi atau penilaian dalam bidang pendidikan ?

Evaluasi atau penilaian hasil belajar adalah kegiatan atau cara yang ditujukan untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi pendidikan adalah ruhnya pendidikan, Fungsi evaluasi pendidikan adalalah untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar lewat nilai kognitif, psikomotor dan afektif. Jika evaluasi dijejali berbagai macam kepentingan maka ruh pendidikan itu sudah hilang.

Lalu apa hubungan sepak bola gajah dengan evaluasi atau penilaian dalam bidang pendidikan ?

Sejak penilaian evaluasi akhir siswa untuk menetukan kelulusan siswa, dengan cara nilai UN digabung dengan nilai sekolah, sekolah-sekolah sudah mulai tidak realistis dengan evaluasi . Nilai-nilai yang semula berKKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) rendah sesuai dengan kemampuan anak didik, diubah menjadi nilai berKKM tinggi, semisal dari 60 menjadi 75. Tidak hanya itu, untuk kepentingan UN nilai raport sejak kelas 1 sudah di mark up sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai sudah tidak rasional lagi, tidak ada bedanya nilai antara siswa yang pandai dan kurang. Bahkan beberapa sekolah memaksa guru-guru untuk memberi nilai minimal 85, walaupun berKKM 70. Tidak peduli kalau siswa itu berperilaku kurang, seperti sering membolos dan melanggar tata tertib sekolah, justru guru yang mendapat teguran dengan alasan “ sudah dapat sertifikasi , nilai pada anak juga harus menyesuaikan, untuk menandakan keprofesionalan guru”. Semua hanya puas pada hasil akhir, tak peduli bagaimana cara meraihnya, termasuk melalui pencitraan dan kemasan (gincuisme). Orang tak peduli pada kedalaman isi dan kelanggengan prestasi.

Walaupun UN sudah bukan lagi penentu kelulusan, praktek pemberian nilai tinggi tanpa memperimbangkan proses masih terus berlangsung, antara lain untuk kemudahan bagi siswa untuk menembus jalur SNMPTN. Begitu juga dengan produk baru berupa USBN (ujian sekolah berbasis nasional) yang notabene pengoreksiannya dilakukan oleh pihak sekolah, menimbulkan ketidakpercayaan akan hasil evaluasi.

Di Indonesia tidak ada soal yang dibuat sulit, karena setiap pertanyaan disediakan jawaban. Setiap soal disediakan kunci, dan kalau inipun masih kurang disediakan bocoran. Jangan takut nilai buruk karena ada teknik penambahan. Ilmu harus dijauhkan dari seluruh kesulitan, karena ia telah menjadi barang dagangan. Semuanya harus dibuat mudah, karena menyangkut kepuasan pelanggan.

Lulus 100% dengan nilai yang tinggi menjadi sebuah cita-cita yang selalu menjadi prioritas dari setiap lembaga sekolah. Selain dianggap sebagai sebuah tolok ukur keberhasilan cemerlang bagi setiap sekolah, juga dianggap sebagai pemicu untuk mempromosikan sekolah tersebut.

Maraknya praktek pemberian nilai tinggi tanpa mempertimbangkan proses bisa membuat kwalitas pendidikan menurun dalam masa mendatang. Sebab, nilai merupakan cerminan hasil daya serap siswa dalam proses pembelajaran. Begitupula aspek lain yang mengiringinya seperti motivasi belajar dan kompetisi akan sirna jika pemberian nilai tidak menggunakan kaidah yang sebenarnya.

Lewat tulisan ini , sebenarnya yang paling diharapkan adalah setiap aspek yang memiliki tanggung jawab pada pendidikan, meliputi orangtua, guru, dan pemerintah harus mulai mencoba untuk lebih menitik beratkan nilai kejujuran pada semua proses. Singkatnya, menjadi tantangan besar dan berat terhadap kita semua sebagai orang yang bergerak di bidang pendidikan untuk menanamkan nilai ini pada anak didik atau siswa. Terlebih-lebih kepada pemegang kendali pendidikan, untuk merubah paradigma baru, yaitu mencapai target jujur 100% dan bukan lulus 100%. Karena setiap kejujuran akan membawa pada usaha maksimal, sementara kelulusan dan target duniawi tidak jarang menghalalkan berbagai macam cara yang lebih mengedepankan kecurangan.

Jangan sampai kita sebagai guru bernasib seperti Mahaguru Dorna dalam kisah mahabarata, inilah potret mahaguru yang paling memilukan, habis-habisan membela murid-murid yang dicintai, dan untuk itu tak segan-segan menabrak palang kejujuran, namun diujung usia senja dia justru harus memetik dusta yang secara tak langsung telah ditanamkannya .

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Uhuiiiii analognya bagus.

27 Mar
Balas

terima kasih sudah mampir, salam literasi

31 Mar

dicerca, dicaci, dilakukan

31 Mar
Balas

iya pak, keprihatinan dan ketidakberdayaan

04 Apr

Mantap

27 Mar
Balas

makasih apresiasinya bu, salam literasi

31 Mar



search

New Post