Dadang terengah. Berlarian. Dia sampai di pinggiran sungai kecil di pinggir kampung. Berani juga dia sendirian datang ke tempat itu. Tiba-tiba nyalinya ciut melihat sekitar yang sudah gelap, hanya diterangi bulan separo. Dia beringsut mendekati gubug kecil satu-satunya di situ. Suasana ngeri-ngeri sedap mulai merayap, membuat bulu kuduknya merinding.

“Masuklah, waktunya hampir tiba!” suara berat itu membuat Dadang gelagapan menggapai pintu gubug. Dadang tak berani menoleh. Ia sedikit menyesal. Kalau saja tak ia dengarkan kata orang-orang untuk berlomba menjahit rembulan, tentu ia tak akan pernah datang ke tempat ini. Tetapi hadiah untuk orang yang berhasil menjahit rembulan, membuatnya tergiur dan bertekad menjadi pemenangnya, LATRI. Ya, jika ia berhasil, maka LATRI akan menjadi miliknya selamanya. Ia akan bebas bermain apa saja dengan LATRI. Betapa banyak orang di kampung ini yang sudah sedari dulu memperebutkan LATRI. Baginya, mendapatkan LATRI adalah sesuatu yang membanggakan. Sangat, bahkan lebih dari sekadar dunia seisinya. Ciyehhh...

Rembulan sudah beranjak condong. Dadang duduk di pinggir sungai di belakang gubug. Ah, dia sudah mendapat ide menjahit rembulan yang tak terpikirkan oleh orang lain. Memadukan sungai dan cermin. Tentu akan menjadikan rembulan utuh, tak lagi separo. Ia bergegas mengambil ponsel di sakunya. Memotret cermin dan sungai. Terbentuklah bulan yang utuh. Demi LATRI. Dia rela. Oh... LATRI... LAPANGAN SANTRI!

#Tantangan Menulis Hari ke-8

#Hadiah Non Remidi