Hijrah Perdana
Hijrah Perdana
Oleh Sri Sugiastuti
“Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah. Niscaya mereka akan mendapat di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rejeki yang banyak…..
(QS.An-Nisa 4:100)
Akhir akhir ini kondisi Ibu di desa sering sakit. Sebagai anak tunggal suamiku dituntut bisa mengurangi penderitaan Ibu yang sedang sakit. Keadaan ini sangat mengganggu konsentrasi kerja suamiku. Dia ingin merawat Ibu. Seandainya Ibu mau diajak tinggal di kota kami, tentu keadaannya tidak akan serunyam saat ini.
Ketika telegram datang atau ada telpon dari desa, suamiku langsung berkemas-kemas dan segera menengok Ibu di desa. Padahal kondisi kami tidak selalu dalam keadaan “siaga”, profesi guru sangat tidak menjanjikan. Kadang baru sepuluh hari kami sudah tidak memegang uang. Demi tanggung jawab kepada orangtua, langkah apa pun kami ambil yang penting Ibu segera sembuh.
Terpaksa dia pamit meninggalkan tugasnya. Dalam 3 bulan ini dia sudah 2 kali izin sekedar ngurusi Ibunya yang sakit. Lama kelamaan terlalu banyak izin membuatnya sungkan, kerja pun tidak tenang karena pikirannya terbagi pada Ibunya yang ke luar masuk rumah sakit. Belum lagi berusaha mencari pinjaman agar semua keperluan kami bisa tercover.
Sambil menikmati makan malam suamiku mengutarakan niatnya. Dia berniat pindah tugas. Dia ingin fokus mengurusi Ibunya yang sedang sakit. Selain itu dia merasa jenuh tinggal 29 tahun di Jakarta. Aset yang dimiliki cuma anak istri, SK pegawai negeri sebagai guru. Kami belum punya rumah, selama ini kami tinggal di “Pondok Mertua Indah”.
“ Dik, bagaimana kalau kita sekeluarga pindah ke desa? Aku rasa jadi guru di kota maupun di desa sama saja,” pinta suamiku.
Aku yang merindukan kehidupan desa, membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang asri mengamini usul suamiku. Tidak ada yang aku beratkan meninggalkan Ibukota, selain berpisah dengan Bunda. Apalagi setelah menikah kami tinggal di rumah Bunda. Aku yang meminta agar aku bisa tetap dengan Bunda dan belajar menjadi seorang ibu yang baik darinya.
Walau kami sempat punya sebidang tanah dekat rumah Bunda, asset itu kami lepas, lumayan untuk biaya pindah ke desa dan ngurus pernak pernik kepindahan kami, terutama mutasi antar propinsi yang cukup rumit dan melelahkan. Akhirnya kami sepakat intuk boyongan pulang ke desa.
Kami menempati rumah orangtua yang letaknya 15 km dari Solo. Alhamdulillah kami bisa mutasi bersama. Aku mendapat SK pindah di STM sedang suamiku Di SMEA swasta juga. Semangat hijrah kami mewarnai kepindahan kami. Kami berangkat dari nol. Jati menduduki kelas 6 SD, Wahyu klas 3SD dan si Aji masuk TK B.
Bunda ikut mengantar kepindahan kami. Ini kedatangan Bunda pertama kali ke rumah besannya. Begitu melihat rumah besannya dengan fasilitas yang terbatas. Bunda tidak ikhlas dan tidak rela aku tinggal di rumah yang dianggap tidak layak di mata Bunda. Bunda sempat bersumpah dan mengultimatum suamiku:
“Jangan pernah nak Ardani buat hidup anakku menderita, aku tak ikhas dan ridha, kalau nak Ardani tidak bisa membahagiakan anakku,” kata Bunda tegas sambil menggebrak meja.
Aku berusaha menetralkan suasana yang tidak nyaman ini;
” Bunda ingatkan siapa yang menghendaki aku menikah dengan Pak.Ardani ? Aku sudah menuruti kehendak Bunda. Sekarang aku bukan sepenuhnya milik Bunda, kemana suami pergi aku harus ikut” bisikku perlahan di telinga Bunda .
Ku tatap wajahnya sekilas dan sepertinya dia bisa menerima penjelasanku. Tapi dari raut wajahnya jelas sekali terlihat bahwa dia kecewa.
Kami hidup hanya menggantungkan dari gaji guru yang kami terima setiap bulan, padahal beban hidup yang kami tanggung cukup berat, ada Ibu yang punya penyakit menahun, dan anak anak yang perlu biaya banyak untuk segala kebutuhannya. Kalau di Jakarta kami ada penghasilan tambahan dari kursus dan tunjangan tunjangan lain. Di Solo cuma ada gaji.
Kebiasaan anak-anak dengan gizi tinggi dan makanan serba enak, membuat mereka harus beradaptasi dengan menu sederhana yang jarang mereka nikmati. Jelas selera makan mereka berkurang. Biasanya kesukaan mereka ayam digoreng, padahal kalau menu ayam goreng beberapa potong hanya untuk sekali makan. Maka menu ku ganti dengan opor ayam. Tapi apa yang terjadi, mereka tidak suka, dan pilih tidak makan. Siasatku sia-sia. Mereka jadi agak kurus. Malah aku sempat dipanggil Guru BP di sekolah anakku, diminta untuk memperbaiki gizi anakku, tentu saja aku malu, dianggapnya aku seorang ibu yang tidak bisa mengurus anak, dan tidak memperhatikan gizi mereka.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Perjuangan kehidupan guru....penasaran kelanjutannya Bund....ditunggu yaaa....salam sehat dan sukses Bunda Sri
Perjuangan yang pada akhirnya berbuah manis. Semangat dan sehat selalu juga buat Bu marlupi
Ceritanya menghanyutkan perasaan Bun
Hijrah itu memang perlu keberanian. Keluar dari dekapan orang tua yang terlalu over protective
Lagi asyik bsca, loh kok habis, ditunggu lanutannya bunda. Sukses selalu dan barakallah
Siap Bu Siti. Sukses juga buat ibu.
Itu kehidupan saya dulu Bun, hidup di desa. Makan hanya dengan sambel dan tempe. Makan daging ayam kalau di hari raya. Mandi jga di sungai. Tapi karena sudah terbiasa, ya... akhirnya kami tetap senang tinggal di desa
Iya .Dulu saya nikmati juga pulang sekolah naik andong bareng bakul yang kulakan di pasar Kartasura melewati jalan yang kanan kiri sawah dengan padi menguning..
Kisah yang bisa menjadi cerita anak cucu ya Bun...
Insyaallah flash back untuk melawan lupa
Udara desa yg segar,sungai mengalir dan sawah yg hijau suasana yg baik utk membesarkan anak-anak. Solo waktu itu ya, Bun.
Ya begitu lah, bisa menulisnya kembali jadi bagian sejarah hidup kami
Buuuuuuu... Aku terharu