Percik Cinta Revolusi
“Edan! Kenapa harus si Jami?” gerutu Imah kepada Laras.
“Sungguh tidak ada yang pernah membayangi aku dalam setiap tidurku selain senyuman lelaki Batavia itu.” Jawab Laras sekenanya.
“Tapi, tentu kau sudah tahu jika calon istrinya telah menunggu kepulangannya ke Batavia dan siap kawin dengannya jika revolusi telah menang.” Kini nada bicaranya tinggi.
Laras hanya bisa diam dan terus menatap kosong Sungai Klawing yang semakin tenang saja alirannya. Setenang alunan lagu lir ilir yang dinyanyikan ibu-ibu yang sedang menjejehkan cucian mereka diantara bebatuan kali. Setenang tawa polos mereka yang menunggu kabar kemenangan negeri ini atas revolusi yang belum lagi selesai. Nampaknya aliran tak setenang hati Laras yang bercampur baur dan tak pernah muncul kepermukaan dengan jelas rasa apa yang tengah dirasanya. Kosong dan hambar tak bisa lagi terasa, dan aneh jika ia telah bertemu dengan Jami rasa itu hangat terasa.
“Kau gila Laras!” Imah memecah keheningan. “Lupakan dia Laras, aku tak ingin kau menjadi… Ahh! Persetan dengan kekata ‘sebelum janur kuning melengkung’. Persetan dengan itu Laras!”
“Andai aku bisa mengaturnya, mah.” Matanya tetap saja nanar menatap kosong aliran Sungai Klawing.
“Halah, sejak dulu kau memang batu!” Imah meninggalkan Laras yang masih saja duduk di pinggir sungai, menatap kosong aliran sungai yang tak lagi ramai oleh ibu-ibu. Suasana petang mulai terasa hingga dunia berganti baju waktunya menjadi gelap dan Laras masih saja menatap kosong aliran sungai. Berteman angin malam yang menyapu rerumputan tempat Laras termenung.
***
Menikmati sepoi angin Sungai Klawing memang menjadi kebiasaan yang seolah tabu untuk dihilangkan Laras dalam menjalankan hari-harinya. Tidak hanya mampu menetralkan bau anyir luka para tentara republik yang ia geluti sepanjang hari, namun tepian sungai ini menjadi tempat menemui seseorang yang selalu ditunggunya, Jami. Memang menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) menuntut Laras tak kalah tangguh dengan para tentara laskar. Laras dan kawan-kawannya yang senantiasa mendampingi perjalanan para laskar pejuang dalam menegakkan kembali revolusi.
Sejak negeri ini menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, perang kemerdekaan terus saja terjadi, pergolakan revolusi akan sebuah negeri yang berdaulat belum lagi tuntas diselesaikan, dan Laras memutuskan turut menuntaskannya. Sejak Bapaknya dibawa paksa ke Deli untuk menjadi pekerja di perkebunan tembakau hingga tak terdengar lagi kabarnya membuat Ibu Laras menemui Sang Ilahi dengan membawa rasa rindu yang teramat sangat, meniggalkan Laras hidup berteman revolusi dengan dendam yang tiada matinya terhadap kumpeni kulit putih itu. Dendamnya ia balut rapi dengan senyum dan doa yang tiada hentinya.
Mendampingi tentara Laskar membuat Laras menjalin hubungan baik dengan Jami, lelaki asal Batavia. Witing tresno jalaran soko kulino, pepatah yang dipercaya Laras dengan apa yang ia rasakan terhadap pemuda yang selalu ia panggil ‘abang’.
“Tidak baik melamun dipinggir kali, karena kudengar dunia sudah mulai mendesak Belanda untuk menyelesaikan masalah ini ke Konferensi Meja Bundar.” Jami segera duduk disamping Laras membuyarkan lamunannya.
“Hanya menetralkan bau darah, bang.” Melontarkan senyuman berbalas.
“Apa itu artinya revolusi akan segera menang bang?” tanya Laras menanggapi.
“Tuhan selalu bersama kita, kuharap dapat secepatnya kita berdaulat.” Senyum Jami mengembang penuh harap.
“Ahh, itu artinya kau akan segera kembali ke Batavia dan….” Laras urung menyelesaikan kata-katanya.
“Rupanya kau takut berpisah denganku, heh.” Jami terkekeh. “Aku ingin mengajakmu ke Batavia, tentu kau telah banyak mendengar tentang ‘Ratu dari Timur’ itu. Aah lama sekali aku meninggalkan kota itu.” Jami menerawang langit yang gelap, kemudian menoleh mata Laras. Cahaya obor yang teramat sederhana masih cukup membuat Jami menikmati kemolekan paras Laras yang membuat hatinya berdesir. Sejak pertemuan pertamanya di barak, saat Laras mengobati lengannya yang terkena peluru tentara Nippon saat Indonesia belum merdeka.
Hening beberapa saat mereka larut dalam pandangan yang semakin tak terdefinisikan.
Segera Jami memusatkan pandangannya pada sebilah bambu runcing yang ia peruncing dengan belati kesayangannya. Srek srekk srekk bambu wulung keungu-unguan semakin tajam dan cukup membuat kulit manusia terkoyak saat menyambarnya.
“Mengapa kau selalu merampingkan dan meruncingkan bambu itu?” Tanya Laras memecah keheningan.
“Agar aerodinamis.” Tak lupa untuk kembali menatap Laras.
“Ah, kata-katamu seperti para kumpeni itu. Sekarang jelaskan kata yang kau ucapkan tadi?”
“Hahaha, kau takkan mengerti dan lagipula aku tak pandai menjelaskan.” Jami tertawa ditemani senyuman Laras.
“Kau tahu Laras, Batavia itu kota yang indah. Rasanya aku tak sabar mengajakmu jalan-jalan di kotaku itu. Aku ingin mengajakmu berkeliling di taman Balai Kota, bangunan terindah di Batavia. Bangunan dua lantai yang konon selesai dibangun pada 1720-an dan dihiasi menara kubah. Dulu taman itu ramai dilihat orang untuk melihat orang yang dihukum gantung, kini taman itu tetap ramai untuk melihat keindahan bangunan itu. Gedung-gedung disekitarnya adalah arsitektur Belanda lama, konon dulu mereka ingin membuat Batavia menyerupai Amsterdam, kota para kumpeni.. Satu-satunya kompromi arsitektur terhadap iklim tropis yaitu atap dengan kemiringan tajam yang menjorok keluar dari lantai atas, jadi seperti serambi. Kau harus melihatnya Laras, tampilannya sederhana, dinding-dinding bukan lagi dari gedhek tapi dari tembok polos yang diselingi jendela-jendela tinggi berbentuk persegi. Biasanya pintu bangunan merah dipahat secara elegan dari batu yang diimpor sebagai penyeimbang kapal pantai dari India, sedangkan bagian kusen pintu terdapat panel kayu yang diukir gaya barok dan bersepuh emas. Dilengkapi dengan indahnya pelabuhan Sunda Kelapa dengan perahu-perahu pedagang menghinggapinya. Juga kanal-kanal kali-kali Batavia seperti di Eropa. Indah dan romantis.” Cerita Jami dengan bangga.
“Aku akan mengajakmu naik kereta kuda, bendi atau kalau kau mau akan kuajak kau naik palanquin, Ahh, pasti itu sangat menyenangkan. Atau kau ingin ke Weltevreden, disana pemandangan hijau yang menutupi rumah-rumah putih, rumah orang-orang Eropa. Atau kau ingin melihat pasar Tanah Abang, disana tempat berkumpul berbagai etnis yang dapat dengan mudah kau kenali dengan melihat pakaiannya. Cina, Arab, Eropa, Eurasia hingga pribumi, khususnya Jawa.” Sambung Jami.
“Aku selalu membayangkan kita naik kreta dan turun di Stasiun Beoz, kemudian melihat De Javanesse Bank, yang katamu termasuk bangunan megah di Batavia. Berjalan bersama menikmati arem-arem. Aku ingin sekali naik kuda bang, bersamamu. Heem, kuharap revolusi segera menang.” Laras menanggapi.
“Tapi, jika revolusi menang, pastilah kau akan pulang ke Batavia dan menikah dengan kekasihmu.” Tiba-tiba rona pada paras Laras meredup.
“Menikah itu bukan untuk setahun dua tahun, Laras.” Jawab Jami dengan pandangan kosong menatap aliran sungai Klawing.
“Laras, benarkah kau ingin naik kuda bersamaku?” Pandang Jami ingin memastikan. Laras mengangguk.
“Aku jadi teringat kudaku, kuda jantan nan hebat. Dia perkasa dan sehat, dia menemaniku sejak masih kecil, ia selalu ku angon. Ku beri nama ia Beton, kuda kuat kesayanganku. Lantas aku memberikannya pada lelaki paruh baya yang pengangguran, agar ia bisa menjadi kusir. Ternyata aku merindukan Beton meski aku telah mengikhlaskannya.” Cerita Jami.
“Mengapa kau memberikan Beton pada lelaki itu?” Laras cukup kaget. Karena untuk masa seperti itu seekor kuda cukuplah berharga, karena bernilai jual tinggi. Cukup untuk makan satu tahun pada masa krisis.
“Kata Guru ngajiku, jika kita menyayangi sesuatu dan kita mengikhlaskannya, maka akan bertemu nanti di alam kematian. Aku berharap bertemu Beton di alam setelah kematian nanti.” Ucap Jami menerawang.
Laras mengangguk paham.
Mengikhlaskan yang disayang? Satu-satunya yang masih kusayang saat ini adalah dirimu bang, haruskah aku mengikhlaskanmu agar kita bertemu di alam setelah kematian? Ucap Laras dalam hati.
“Semoga saja, Beton masih ingat padamu di alam setelah kematian nanti.” Laras mencoba meledek. “Kau lelaki baik bang, ku dengar kau juga prajurit yang tangguh. Tapi aku tak begitu percaya dengan rumor itu.”
“Apa maksudmu, Laras?” tanya Jami heran
“Untuk menguji ketangguhanmu aku ingin menantangmu, heh.” Kata Laras menantang.
“Apa itu?” Jawab Jami
“Aku ingin menantangmu seminggu tak menemuiku, baik di barak maupun di tepi sungai atau dimanapun.”
“Tabu bagiku sehari tanpa bertemu denganmu, Laras. Pastilah aku tak bisa tidur dan makan.”
“Hahaha, maka dari itu aku menantangmu untuk sebuah hadiah yang telah aku siapkan untukmu, bang. Kau tak boleh menemuiku ataupun mencari tahu tentangku, bagaimana wahai prajurit tangguh? Setuju?” tantang Laras.
“Siapa takut.” Jami tersenyum penuh keyakinan.
***
Ia masih saja terus terisak dan menutup penciumannya, mengingat anak kambing yang menumpang sebuah kereta kuda bersamanya tak henti-hentinya mengeluarkan kotoran baru. Ia teringat ini adalah hari ke tujuh tanda berakhirnya sebuah tantangan yang Laras berikan kepada Jami. Hari ini bertepatan dengan menangnya revolusi, 19 Desember 1949 Jami akan membaca surat yang ia titipkan pada Imah. Jami akan memenangkan revolusi atas dirinya dan negeri yang ia bela.
Abang Jami
Maafkan aku yang tak pandai berkata-kata, ini adalah hari ke tujuh atas tantanganmu. Kau adalah prajurit tangguh. Kau mampu melewati hari-harimu tanpa aku, kini lakukanlah itu setiap hari.
Semoga kita dipertemukan di alam setelah kematian.
Laras
Dan kereta kudapun terus berjalan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar