Tertawa Sungguh Indah
Aku datang ke desa ini hampir tiga puluh tahun yang lalu. Dengan berbekal tekad dan selembar surat tugas aku menapakkan kaki memasuki desa . Sebuah desa terpencil, di pinggir hutan.Ya, aku datang sebagai pengajar di sekolah dasar desa ini.
Ketika itu listrik belum masuk. Kami masih menggunakan lampu minyak untuk penerangan di malam hari. Air bersih pun, harus kuambil beberapa puluh meter dari rumah tempatku tinggal.
Hari berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tahun demi tahun kulalui. Aku mulai terbiasa, bahkan betah tinggal disini. Berbaur dan bergaul dengan masyarakat desa yang kental dengan kegotongroyongannya. Berbagai kegiatan sosial kuikuti. Menghadiri undangan warga yang hajatan, takziah bila ada yang berpulang, juga ikut hadir pada acara keagamaan di desa.
Aktivitas rutinku adalah bersama siswa di sekolah. Selain belajar mengajar, aku suka bercengkrama dengan mereka di kala jam istirahat. Menyaksikan wajah dan tingkah bocah yang polos dan lugu. Alangkah bahagianya mereka. Bercanda, berceloteh saling menggoda, saling mengolok, tapi tak ada yang marah. Inilah dunia bocah. Benar kata orang bijak, “bila ingin mengenal anak-anak, maka masukilah dunia mereka”. Banyak pengalaman lucu dan berkesan ketika bersama mereka.
Ada sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagiku. Peristiwa yang selalu membuatku tersenyum setiap mengingatnya. Waktu itu hari Sabtu. Selesai pelajaran olahraga, pelajaran berikutnya adalah Bahasa Jawa. Kebetulan materi hari itu adalah “cangkriman” yaitu tebak-tebakan dalam Bahasa Jawa. Anak-anak sangat antusias ketika aku memulai pelajaran. Aku pun memberikan beberapa cangkriman dan meminta mereka menebaknya.
“ Bocor malah kebak, apa batangane?”, tanyaku.
“ Prau bocor, Bu!” jawab mereka.
“ Diketok malah dhuwur, apa?”
“ Clana!!”
“ Cebloke ing ngisor, digoleki ing dhuwur, apa batangane?”
“ Gentheng bocor !” jawab mereka penuh semangat.
Aku pun tersenyum melihat antusias mereka. Aku berpikir, mencari cangkriman yang mungkin sulit dan tak tertebak oleh mereka. Setelah berpikir beberapa saat aku bertanya kembali.
“ Burnaskopen, apa batangane?” tanyaku yakin mereka tak akan mampu menjawab. Tak kusangka meraka kompak menjawab dengan lantang. “ Bubur panas kokopen !!!” Aku terkejut dan spontan menjawab “ Kokopen dhewe !!!” Geerrrrrrrr!!!! Kami pun tertawa bersama.
Randegan, 26 Juni 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar