SRI WAHYUNI

Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 22 Batanghari, Jambi. Mengajar sejak 1 Desember 1995....

Selengkapnya
Navigasi Web

BERSYUKUR

BERSYUKUR

Sejak diberlakukannya presensi dengan aplikasi SIKEPO di kabupaten Batanghari, Jambi membuat semua ASN mau tak mau harus hadir untuk melaksanakan tugasnya. Hujan deras pun ditempuh. Jika terlambat, maka akan berpengaruh pada e-kinerja bagi ASN tersebut. Pagi tadi, ketika kubuka whatsapp di gawaiku, kulihat di grup MKKS seorang temanku, Bu Dian, mengirimkan foto-foto jalan menuju sekolahnya. Beliau seorang kepala sekolah di daerah yang agak jauh dari ibukota kecamatan Muaro Sebo Ilir, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Wah, luar biasa. Melihat foto-foto yang dikirimnya, aku jadi mengaguminya. Wanita hebat. Dengan mengendarai sepeda motor ia menuju sekolah yang dipimpinnya. Kalau kondisi jalan yang dilaluinya mulus, beraspal atau sekurang-kurangnya jalan tersebut tidak becek dan licin saja, mungkin hal itu menjadi berbeda. Tapi, jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang masih tanah merah. Kondisi jalannya licin, becek, bahkan seperti bubur. Apalagi semalaman diguyur hujan. Tak bisa kubayangkan jika aku yang menempuh jalan tersebut. Seandainya ia tidak pandai mengendarai kendaraan di jalan yang memang berbahaya itu, tentu akan berakibat kepada dirinya sendiri.

Langsung saja di WA itu banyak komentar-komentar yang memberikan dukungan kepada Bu Dian.

“Semangat Bu Dian,” komentar Pak Sar’i

“Hebat Bu Dian,” komentar Bu Herlina

“Jangan pikirkan SIKEPO, keselamatan yang utama,” komentar Bu Salimi.

“Semangat Bu. Ini membuat saya lebih bersyukur,” komentarku.

Ya, aku harus banyak bersyukur karena jalan yang kutempuh menuju ke sekolah tempatku mengabdi lebih baik daripada jalan yang ditempuh Bu Dian. Namun, selama ini kadang-kadang aku mengeluh juga dengan jarak yang cukup jauh dan melihat kondisi jalan ke sekolahku. Walaupun jalannya sudah beraspal tapi kondisinya banyak yang sudah berlubang. Jalanan akan becek jika hujan turun dan air akan tergenang di jalan-jalan yang berlubang itu. Belum lagi semak belukar di kanan dan kiri jalan yang kini sudah mulai memakan badan jalan, membuat kondisi jalan tersebut menjadi semakin sempit. Tapi itu tidak sebanding dengan yang dirasakan oleh temanku, Bu Dian.

Malamnya, saat anakku Sherina pulang dari bimbingan belajar dengan guru bahasa Inggris di tempat bimbingan belajar yang baru dibuka di Muarabulian bercerita tentang kondisi gurunya.

“Ma, kasihan kakak yang mengajar kami tu Ma.” Katanya mengawali cerita.

“Kakak siapa?” tanyaku.

“Kakak Mia, yang mengajar kami tadi,” kata Sherina

“Kasihan karena apa?” tanyaku.

“Ternyata Ma, kakak itu tidak memiliki kaki Ma. Kami selama ini tidak tahu kalau kakak itu demikian. Selama ini, kakak Mia selalu memakai rok panjang saat mengajari kami. Baru tadi kami lihat kakinya berbeda karena Kakak Mia menggunakan celana panjang. Pantas saja selalu ada kruk di dekatnya,” kata Sherina lagi.

“Jadi, kakak Mia tinggal dengan siapa?” tanyaku lagi.

“Selama ini dia tinggal di tempat bimbingan belajar. Hanya Sabtu dan Minggu kak Mia tidak di sana.” Jawab Sherina.

“Mengapa?” tanyaku.

“Karena kakak Mia ternyata mempunyai anak dan suaminya meninggalkannya. Anaknya selama ini ikut dengan nenek atau ibunya kak Mia. Anaknya masih kecil Ma, kalau ikut kata Kak Mia nanti akan mengganggu kalau dia lagi memberikan bimbingan belajar,” Jelas anakku.

“Jadi Sabtu dan Minggu, kak Mia menjenguk anaknya,” jelas Sherina lagi.

“Kok tahu tentang Kak Mia? Memangnya dia cerita?” tanyaku yang heran karena anakku bisa banyak tahu tentang kakak pembimbingnya.

“Kak Mia cerita tadi sambil menunggu kami dijemput, Ma.” Jelas Sherina.

“O… begitu,” kataku mendengar penjelasan anakku.

Selama ini, jika anakku ingin mengikuti bimbingan belajar aku hanya menurut saja. Sejak awal Januari ini, ia ingin menambah belajarnya lagi malam hari dengan mengikuti bimbingan belajar yang lain. Awalnya aku ragu karena waktunya malam hari, setelah maghrib. Pikirku dengan belajar didampingi olehku sudah cukup. Namun karena ada referensi dari adikku dan beberapa tetangga tentang teknik mengajar guru bimbingan belajar di tempat itu bagus, maka aku menuruti keinginannya. Selagi itu masih berkaitan dengan belajar, aku mau menurutinya.

“Makanya Nak, kita mesti bersyukur. Kita dikasih Allah tubuh yang lengkap. Coba bayangkan orang-orang seperti Kak Mia itu, sudah tubuhnya mengalami kekurangan, ia juga harus berpisah dengan keluarganya untuk mencukupi kebutuhannya. Nah, kamu disuruh belajar saja kadang bermalas-malasan. Padahal kamu tidak perlu memikirkan biayanya, tidak perlu memikirkan makan apa hari ini atau besok, tidak perlu memikirkana ada uang atau tidak ada uang. Hanya belajar yang rajin dan lakukan shalat lima waktu saja susah sekali,” nasihatku kepada anakku.

“Jadi, banyak-banyaklah bersyukur ya, Nak,” sambungku lagi.

“Iya Ma, tadi di sekolah Oval dan kawan-kawan iuran membantu kawan Oval yang mamanya di rumah sakit.” Anakku Naufal yang dari tadi diam.

“Siapa kawanmu? Mamanya sakit apa?” tanyaku kepada Naufal.

“Dea namanya Ma. Mamanya yang jualan di SMP tempat mama mengajar dulu.” Kata Naufal menjelaskan.

“Yang mana ya…?” tanyaku lagi karena aku lupa.

“Itu Ma, yang jualan cilok dan bakso bakar,” kata Naufal.

Naufal memang sering main ke SMP tempat tugasku yang lama. Naufal main setelah ia pulang dari sekolahnya di SD. Kalau sudah di SMP tempat tugasku, biasanya ia selalu minta uang jajan karena jam 12.30 jelas perutnya sudah mulai lapar. Jadi dia ingat siapa-siapa yang berjualan di kantin sekolah. Ternyata salah satu dari ibu-ibu yang berjualan di kantin sekolah itu adalah ibu dari kawan sekelasnya yang bernama Dea.

“Jadi, Oval iuran pakai uang dari mana?” tanyaku.

“Dari uang jajan Oval, Ma.” Jawabnya.

“Berarti Oval tidak jajan tadi sekolah ya?” tanyaku lagi.

“Oval kan sudah sarapan makan nasi goreng sebelum sekolah. Jadi Oval tidak lapar.” Jelas anakku Naufal.

“Memangnya mama Dea sakit apa?” tanyaku.

“Sudah beberapa hari di rumah sakit. Kabarnya koma Ma. Kami tidak tahu sakitnya apa. Kami tadi sekelas hanya iuran untuk membantu Dea, Ma. Kasihan dia, keluarganya tidak mampu.” Ujar Naufal menjelaskan.

“O ya, tidak apa-apa. Baguslah kalau Oval ikut membantunya. Maka, sekali lagi mama ingatkan kalian, anak-anak mama, untuk selalu bersyukur. Kalian masih beruntung, masih bisa diurus oleh mama, masih dicukupi keperluannya. Coba kalian bayangkan bagaimana kawan-kawan kamu yang seperti Dea itu.” Kataku mengulang kembali nasihat kepada anak-anakku.

“Iya, Ma. Kami akan selalu bersyukur. Belajar dengan baik dan rajin ibadah,” kata Naufal.

“Iya, Ma. Kami akan menjaga yang sudah Allah SWT berikan untuk kami. Bersyukur karena kami lahir sempurna. Bersyukur karena masih ada mama papa yang menjaga dan membesarkan kami.” Kata anakku Sherina.

Alhamdulillah ya Allah. Hari ini peristiwa demi peristiwa di sekitarku membuatku semakin bersyukur dengan yang Engkau karuniakan kepadaku dan keluargaku. Bersyukur karena telah dipercaya untuk menjaga dan mendidik anak-anakku untuk menjadi orang yang selalu takut pada-Mu. Bersyukur karena Engkau berikan rezeki untukku dan keluargaku. Semoga kami selalu menjadi hamba-Mu yang selalu taqwa dan bersujud pada-Mu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sangat inspiratif, Bu. Terima kash sdh berbgi.

15 Mar
Balas



search

New Post