Rendezvous Jelaga Kalbu....
Hujan yang turun tiba-tiba ini tlah membuyarkan lamunanku.....
Lamunan yang telah membawa ingatanku pada kisah beberapa bulan yang lalu. Tanpa terasa air mata ini mengalir membasahi pipiku. “Maafkan aku ....”, begitu jelas kata-katanya kudengar. “Aku tidak bermaksud merusak rumah tanggamu”. Ya....peristiwa itu menjadi awal bagi perubahan sikap ku padanya.
Aku mengenalnya pada sebuah forum diskusi sebuah organisasi kemasyarakatan dimana aku menjadi anggotanya. Dia sosok lelaki yang care pada sesama. Hari-harinya diabdikan bagi kepentingan masyarakat. Pemahaman agamanya yang tinggi serta filosofi hidupnya, membuatnya disegani oleh semua anggota organisasi tempat kami berkiprah. Darinya aku mengenal makna “khoirunnas anfauhum linnas” sebaik-baik manusia adalah yang memberi banyak kemanfaatan bagi sesama, begitu selalu dia katakan manakala aku mempertanyakan maksud dari perbuatan yang dia lakukan. Baginya hidup di dunia yang hanya sementara dan cuma sekali ini, sebaiknya digunakan untuk mencari sebanyak-banyaknya bekal bagi kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Kebersamaan kami semakin hari semakin rekat, adanya kesamaan visi misi dan kepentingan membuat hubungan yang pada awalnya lahir karena kekaguman kemudian tumbuh menjadi hubungan yang saling mengisi kelemahan masing-masing serta saling mendukung peran bersama demi kemajuan organisasi tempat kami bernaung. Tiada satu haripun kami lalui tanpa kegiatan bersama. Bahkan untuk sekedar mengisi “perut” kami lakukan bersama. Jika salah seorang diantara kami tidak makan, maka kami semua juga tidak makan. Kami sudah sangat mengenal karakter dan pola pikir masing-masing, sehingga kadangkala belum sempat terucapkan sudah saling faham apa yang akan dilakukan atau akan terjadi. Demikian kuat empati ini berlaku sepanjang perjalanan persahabatan kami.
Ya....persahabatan. Hubungan yang kami jalin tidak lebih dari sebuah persahabatan semata. Satu hal yang selalu kujaga adalah kepercayaan pada pasangan kami masing-masing. Sejauh tidak melanggar batas-batas norma dan etika maka syah-syah saja aktivitas kemasyarakatan kami lakukan bersama. Namun ternyata kebersamaan kami harus menuai kontroversi manakala ada segelintir orang yang tidak menyukai kedekatan diantara kami berdua. Entah karena adanya unsur terdzolimi atau karena faktor kecemburuan, aku tak menyadarinya. Beberapa minggu belakangan kulihat wajah-wajah teman seorganisasiku yang seperti mencibir, bergunjing bahkan menggunakan bahasa-bahasa sindiran seringkali ditujukan pada kami. Sampai pada suatu ketika, ada salah seorang sahabat kami yang menyampaikan berita tak sedap itu. Mereka telah menyebar fitnah dan tuduhan tak berdasar pada hubungan persahabatan kami.
Sejak berita itu menyebar, wajah ini rasanya tak mampu terangkat, dada rasa sesak, dan air mata terus deras mengalir tanpa dapat dibendung. Aku tak mengerti mengapa mereka berfikir serendah itu pada hubungan persahabatan kami. Kadang muncul keinginanku untuk mengklarifikasi pada semua orang yang terlanjur menaruh curiga padaku, namun hati ini menahan keinginan tersebut. “untuk apa......?”, tidak ada pentingnya memperdebatkan sesuatu yang tidak penting. Bahkan mereka akan bersorak kegirangan ketika gosip itu makin santer ???.
Sejak kuketahui pandangan sinis orang terhadapku, hari-hariku menjadi tidak bergairah. Mendung seolah-olah memayungi langit hidupku. Kemanapun aku melangkah, seolah wajah-wajah penuh curiga menatap nanar dan seolah ingin menerkamku hidup-hidup. Aku kini lebih memilih menyendiri, menjauh dari dia yang belum juga menyadari adanya fitnah yang berkembang dalam organisasi tempat kami bernaung.
“Wahai sahabatku, bagaimana caraku menyampaikan masalah ini ? engkau yang tak jua menyadari adanya perubahan sikapku justru malah makin mendekatiku dan makin penasaran terhadap perubahan kebiasaan yang telah kami jalani bersama. Haruskah aku menyampaikan masalah ini sedang aku memahami jikalau engkau mengetahuinya tentulah akan sangat menyakitkan bagimu ?”. Penolakan ajakan makan bersama, penolakan ajakan pulang bersama dan penolakan-penolakan lainnya tak cukupkah bagimu tuk memahami ini semua ? Haruskah kusampaikan kata-kata perpisahan demi menjaga kebaikan bersama ? Kelak suatu ketika, kau pasti khan menyadarinya.....
Oh..... lagi - lagi air mata ini meleleh membasahi pipiku tanpa kusadari. Air mata yang menjadi peluruh segala gundah gulanaku, semoga damai itu khan hadir bersama hadirnya sang waktu di ufuk timur.
(Cilincing, Mei 2017)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Persahabatan dengan lawan jenis memang sering menjadi fitnah. Apalagi jika batasan-batasannya samar. Sabar ya bu.
ya betul pak yudha, ini terjadi pada sahabat sy. kadang dibutuhkan ekstra kehati-hatian dalam bergaul dg orang lain