Sri Widowati

Asalamualaikum.... Sahabat, kenalkan nama saya Sri Widowati, seorang guru Matematika di salah satu SMA di Banyuwangi Saya lahir di kota Brem, Madiun Matemati...

Selengkapnya
Navigasi Web
LANTAI EMPAT part 2

LANTAI EMPAT part 2

Aku masih berjalan hingga melewati meja tempat Akhtar menikmati kopi.

“Wita, do you like fotographic?” tanya Akhtar sambil berdiri mendekatiku.

Yes, I like it. But I’m not expert. Just my hobby not more,” jawabku sopan, dengan bahasa Inggris aksen khasku. Medok.

“Ini hari Sabtu keduamu di Yangzhou. Tidakkah kamu ingin berjalan-jalan keluar kampus? Banyak obyek menarik di luar sana yang bisa kamu potret,” kata Akhtar sambil menyejajari langkahku yang akan kembali ke kamarku 405.

Belum sempat aku menjawab, Akhtar berkata lagi, “selama dua belas hari ini, aku melihat rombongan dari Indonesia, hanya pergi kuliah dan bermain pingpong di ruang olahraga. Paling jauh hanya bermain bola voli atau jogging di lapangan barat dormitory.

“Tentu saja, aku ingin jalan-jalan keluar kampus. Hanya saja, Sabtu dan Minggu yang lalu kami mengikuti ceremonial dari kampus. Upacara pembukaan lalu mengunjungi SMA di dekat kampus. Sorenya medical cek up di rumah sakit. Lanjut malamnya, menghadiri jamuan makan malam dengan para dosen di gedung pusat. Hufft! Sungguh melelahkan. Hari Minggu belanja bahan makanan di minimarket dalam kampus,” jawabku nerocos.

Akhtar menoleh padaku sambil berkata, “Wita, aku siap mengantarmu ke mana saja. I’ll guide you everywhere.

Everywhere!” ulang Akhtar.

Woow! Sound nice!” kataku dengan ekspresi tersenyum sambil setengah berteriak.

“Yah, cuman sayangnya, sekarang sudah siang ya. Di luar panas sekali. Aku belum terbiasa berjalan di luar ruangan di atas jam 10 pagi. Rasanya malas saja,“ kataku lagi.

“Mungkin nanti sore?” kata Akhtar.

“Waah, boleh juga ya,” jawabku.

Would you like to give me your phone number?” tanya Akhtar meminta nomer hpku.

Ooh…of course, Why not,” jawabku sambil melanjutkan mendiktekan angka-angka pada Akhtar.

Sambil terus berbincang-bincang, tak terasa langkah kaki kami telah sampai di depan kamar 405, kamarku. Aku berhenti dan Akhtar melanjutkan langkah ke kamarnya.

Kuambil kartu dari saku celanaku dan kugesekkan ke pintu. Begitu pintu terbuka, ternyata Devi teman sekamarku masih tetap asyik di depan laptopnya. Cess ... sejuknya embusan AC kamar menyentuh kulitku.

Sambil menoleh padaku, Devi berkata, “mbak Wit, aku tadi ke dapur ambil mie instanmu. Pinjam dulu ya.”

“Oke,” jawabku cuek.

“Mbak, tadi waktu di dapur, aku lihat Akhtar ya,” kata Devi.

“Aku juga liat. Emangnya kenapa?” jawabku santai.

“Aku liat, Akhtar ngeliatin mbak Wit terus. Gak noleh-noleh, gak berkedip malah,” kata Devi sambil ketawa.

“Halah! Prettt!” jawabku sambil ngakak juga.

Devi diam sejenak. Lalu sambil mematikan laptopnya bicara lagi, “beneran mbak. Akhtar ngeliat mbak Wit terus, sampai-sampai aku yang masak mie dan makan di dekatnya aja lo, gak disapa.”

Aku tidak jadi merebahkan diri di kasur. Lalu kuberjalan ke kursi di sebelah Devi. Sambil duduk, aku berkata pada Devi, “Dek, aku ini sudah berumur 31 tahun, punya anak dan punya suami. Akhtar juga tahu itu waktu kita perkenalan awal masuk ke sini. Jadi… gak usah mikir macem-macem lah dek.” Kuakhiri pembicaraan sambil mentowel hidung teman sekamarku gemas.

Ya, umur Devi enam tahun di bawahku. Dia cute banget, dan juga masih single. Kadang-kadang aku gemes kalau melihat dia bicara. Polos dan tanpa tedeng aleng-aleng.

“Aku gak mikir macem-macem mbak. Tapi liat macem-macem. Hahaha!” Kata Devi sambil ketawa.

Mosok yo mbak, ngeliatin sampean terus gak noleh-noleh. Beneran. Sumpah!” Lanjut Devi penuh semangat.

“Walah dek, Akhtar itu kan seumuran kamu. Umurnya baru 25 tahun. Cocoknya ya sama kamu. Mosok sama ibu-ibu kayak aku,” kataku membela diri lagi.

“Eh, nanti sore mau jalan-jalan keluar kampus kah?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatiannya.

“Ya, maulah mbak. Mumpung di sini. Emangnya mau ke mana mbak?” tanya Devi penuh semangat.

Sambil membaringkan badanku di kasur berseprai putih, aku mengajukan ide “Gimana kalau ke Dong Guan Jie?”

“Tempat apaan tuh mbak? Tanya Devi sambil ikut-ikutan membaringkan tubuhnya di dipan sebelahku.

“Loh, belum browsing-browsing kah?” Tanyaku.

“Belum mbak, aku masih menikmati bisa facebookan setelah cukup lama tidak tahu caranya keluar dari protect. Hahaha.” Jawab Devi.

Ya, aku maklum dengan jawaban Devi, sebab memang akses internet di China, tak semudah di Indonesia. Situs-situs yang bisa diakses adalah situs milik China saja. Termasuk media sosial. Hanya milik China yang bebas kita akses, semisal QQ, Wechat, Weibo maupun Renren. Sedangkan media social dari luar semacam facebook dan Friendster yang terkenal di Indonesia kala itu, tak bisa kami mengaksesnya jika menggunakan sambungan proxy lokal.

Sambil leyeh-leyeh, aku menjelaskan “Dong Guan Jie, itu kalau kita terjemahkan Jalan Guan timur. Di situ tempat pusat kerajinan tradisional dek. Mulai kain, lukisan, keramik, pernak pernik hiasan hingga makanan. Semua serba etnik, bisa kita buat oleh-oleh. Kalau di Indonesia, seperti jalan Malioboro di Jogja atau seperti Pasar Sukowati di Bali.”

“Jauh mbak?” tanya Devi

“Kata Akhtar sih dekat dek. Cuman naik bis 8 di utara kampus atau naik taksi patungan 3 orang biar irit.” Jawabku.

“Cie-cie…cie-cieee…yang ngobrol sama Akhtar” goda Devi sambil cekikikan.

“Hadeh!! Kamu ini aneh dek. Buka saja hapeku. Liat kontak di hp ku. Lebih banyak nomor kontak laki-laki daripada perempuan,” jawabku sebal.

Semenjak kecil, aku memang tomboy. Jarang dandan dan sahabatku lebih banyak laki-laki daripada perempuannya. Apalagi setelah lulus kuliah S1, aku ketrima PNS dan langsung berdinas di sebuah SMK Teknik. Murid-muridku yang berjumlah 1800 an itu, 90%nya adalah laki-laki. Demikian juga teman-teman kerjaku. 200-an guru dan karyawan di sekolahku juga, 75 % nya adalah laki-laki. Jadi jangan heran kalau suatu ketika bertemu wanita tomboy, yang ketawanya ngakak, duduk-duduk di pinggir selokan bersama bapak-bapak berpakaian keja bengkel sambil bersuit-suit karena ada cewek cantik lewat. Ya, itu aku.

“Jangan lebay ah. Mau ikut nggak? Kalau mau, nanti diantar Akhtar,” ulangku menawarkan kesempatan lagi.

“Jangan mikir macem-macem dan aneh-aneh. Tak ngajak kamar sebelah biar bisa rame-rame. Nanti ya, setengah lima sore, selepas sembahyang Ashar,” sambungku lagi.

“Hmmm…ya deh mbak, aku ikut” jawab Devi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap. Renyah dan lincah alurnya. Mungkin perlu penguatan setung saja. Saya belum bisa membayangkan lorong dan kamar khas di Chinanya.

04 Feb
Balas

Ya Allah...rasanya terharu bisa dikoment sama bunda idolaku

04 Feb

Satu lagi, bakal calon novelis dari negeri The Sunrise of JavaGelora Semangat Literasi!

05 Feb
Balas

Aamiin..salam literasi :)

05 Feb

Mantaf bisa bercerita setting tempatnya LN wah keren sambil baca sambil membayangkan... Saran ringan ada kesalahan menulus nama akhtar menjadi askharLanjutan ku tunggu selali

04 Feb
Balas

Terimksh, bunda jeli sekali. Moho ijin sy edit :)

04 Feb

Kereen certianya, lnjut.

04 Feb
Balas

Terimakasih :)

04 Feb

mantab ceritanya Bu. lanjutkan bu

04 Feb
Balas

Terimakasih :)

04 Feb

Keren bun ceritanya salam literasi dan ijin follow

04 Feb
Balas

Monggo ibu. Dg senang hati

04 Feb



search

New Post