Di masa pandemi covid 19 ini, laptop dan smartphone adalah salah satu senjata yang diperlukan bagi seorang guru, termasuk saya tentunya. Dengan menggunakan laptop, saya bisa membrowsing materi, menggali ide-ide pembelajaran, melihat berbagai video pembelajaran, mencoba berbagai macam LMS, mulai kanvas belajar, Google Classroom, hingga yg terbaru saya pelajari adalah Microsoft Teams.

          Hai...hai..hai...tiba-tiba saja, hari-hari saya diwarnai oleh aktivitas yang melibatkan laptop dan smartphone. Misalnya, mula-mula membuat kuis dengan Google form, tidak puas lagi, menggunakan microsoft form. Mengapa memilih microsoft? Karena saya guru Matematika, mengetik soal dengan lambang-lambang dan rumus-rumus, lebih enak dengan microsoft form. 

            Eh, tapi jangan salah sangka ya... Saya juga bukan maniak microsoft. Saat meeting daring dengan siswa, Google Meet masih jadi pilihan saya. Kenapa begitu? Karena menurut saya, Google Meeting adalah yang paling mudah digunakan. Cukup buka Google Classroom, klik tugas, klik kalender, atur waktu dan judul pertemuan, copylink, share ke siswa. Gratis, tidak dibatasi waktu, jumlah audience maksimal 100. Sangat berlimpah untuk sebuah kelas yg maksimal berisi 35 siswa. Apalagi di google for education, dilengkapi Google Jamboard yg bisa kita fungsikan sebagai papan tulis virtual. Seperti yang saya lakukan siang ini, dari meja kerja di ruang guru sekolahku.

             Setelah asyik menyapa siswa, mempelajari modul bersama dan mencorat-coret papan tulis virtual, pembelajaran ditutup dengan doa bersama dan salam. Kukeluar dari Google meet, kututup semua jendela browser yang terbuka. Kumatikan, lalu kututup laptopku, ven tablet dan penanya kumasukkan ke dalam kantongnya, kubersihkan meja  dan bersiap-siap untuk pulang.

              Tiba-tiba saja, laptopku yang tertutup, diketuk-ketuk seseorang. Eh, ternyata temanku, guru Bahasa Indonesia. Lalu beliau berkata, "wah, besar sekali laptopnya? Apa gak berat? Keluaran tahun berapa ini? Apa masih enak digunakan?"

             Saya menjawab dengan santai, "hahaha...laptop ini sudah 10 tahun ikut saya pak. Pernah bolak-balik ikut saya Banyuwangi Malang tiap Minggu. Pernah nemani ke Surabaya, ke Jember, ke Madiun, ke Jakarta, ke Bogor, bahkan laptop ini juga pernah menemani saya ke China 70 hari. Laptop ini, singgah dari satu hotel ke hotel yang lain. Dari satu gedung ke gedung yang lain."

             "Di dalam laptop ini,  pernah terinstal slims dan ddc 23 karena mengelola perpustakaan. Dengan laptop ini pula, saya mengerjakan berbagai jenis laporan hingga neraca koperasi untuk RAT. Berkali-kali presentasi dan juga menyelesaikan tesis serta kenaikan pangkat."

             Saya masih melanjutkan dengan tenang, " jadi pak, chasing laptop saya memang jadul.. tapi saya mampu mengoperasikannya dengan baik. Memorinya juga masih tersisa banyak karena data-data saya titipkan ke onedrive. Masih nyaman dipakai." Saya menutup percakapan dengan senyuman semanis mungkin.

              Dari laptop ini, saya belajar satu hal. Bukan seberapa canggih piranti yang kita miliki, namun seberapa canggih kita sebagai pemilik mengeksplore penggunaannya. Betapa banyak kita lihat, teman-teman kita memegang piranti yang canggih terkini, namun tidak mampu mengoperasikannya. 

             Laptopku adalah laptop tua, tapi ia berjiwa muda. Sama seperti aku, yang mungkin juga sudah tidak muda lagi. Sebagai generasi milenial angkatan pertama (baca = kelahiran tahun 1980), saya ingin selalu mengupgrade ilmu. Jangan sampai kalah dengan murid-murid kita hanya karena alasan usia. Usia boleh tua...tapi jiwa dan semangat, harus selalu muda. SEMANGAT !!