Penulis St. Chadidjah

Entah kenapa, hari ini, seolah aku kehabisan kata-kata untuk menggambarkan sosokmu. Bukan karena aku tak tahu, bukan pula karena aku tak mampu. Tapi, setiap kata telah kurangkai menjadi selaksa doa.  Kurangkai dalam untaian munajah. Doa yang setiap waktu kusemat dalam setiap shalatku. Doa yang tak henti-hentinya kugaungkan dalam qalbu bathinku.

Ibu. Tiga bulan kepergianmu menyisakan perih. Perih akan kerinduan yang tak berkesudahan. Rindu belaianmu. Rindu sapaan lembutmu. Rindu petuah dan nasihatmu. Rindu celoteh dan canda tawamu. Namun, semua itu kini tinggal kenangan. Kenangan yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hayatku.

Ibu. Aku tak pernah menyangka. Jika lebaran dua tahun lalu, adalah lebaran terakhir bersamamu. Andai kutahu kala itu. Mungkin setiap waktu bersamamu akan kuhabiskan hanya untuk memandangi wajahmu, memegang tanganmu. Berbagi cerita bersamamu. Namun, semua kini tinggal kenangan semata. Sampai akhirnya pandemic datang. Sang virus merentang jarak yang sangat jauh denganmu. Kutak dapat menjengukmu saat lebaran tiba. Ribuan sesalku tak berguna. Sejuta kata.”andai” pun tak dapat menjadi pengobat rindu. Kuhanya dapat berharap dan berdoa. Semoga kudapat bertemu denganmu.

Di tengah mewabahnya pandemic, tiba-tiba terdengar kabar. Engkau masuk rumah sakit. Aku pun segera berkemas untuk menemuimu. Dan Alhamdulillah, Allah memudahkan jalan bagiku untuk berjumpa denganmu. Aku pun tiba di rumah sakit, namun, aku tak pernah menyangka, jika kondisimu sudah sangat lemah. Napasmu tinggal satu-satu. Kucoba menyapamu, namun, tak ada jawaban. Tak ada respon. Kumasih beruntung, bisa menatap wajahmu, memegang tanganmu. Dan berdoa disampingmu. Sampai akhirnya, tiga malam berlalu. Di saat azan maghrib berkumandang, Sang Ilahi Rabbi pun memanggilmu. Menjemputmu. Selamat jalan Ibu. Semoga amal ibadahmu mendapat jannah-Nya. Afatihah untukmu, Ibu. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

Malino, 22 Desember 2020

#TantanganGurusiana

#TantanganMenulisHari_280

#HARIIBU