St. Chadidjah

Guru di SDN Centre Malino, Kec. Tinggimoncong, Kab. Gowa Sulawesi Selatan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Maafkan, jika Aku Tak Bisa Belajar Daring (Sepenggal Kisah Rani)
dok. cikimm.com

Maafkan, jika Aku Tak Bisa Belajar Daring (Sepenggal Kisah Rani)

Maafkan, jika Aku Tak Bisa Belajar Daring (Sepenggal Kisah Rani)

Penulis: St. Chadidjah

Seorang anak berlari dengan tergesa-gesa menghampiri seorang ibu yang ada di kebun belakang rumahnya. Wajahnya sedikit pucat sambil menggenggam gawai. Ia kelihatan sedikit panik. Sambil menahan tangisnya, ia berucap.”Ibu, kenapa HP ibu tidak diaktifkan? Kan, saya harus belajar daring. Apa ibu lupa kalau hari ini adalah ulangan harian, Bu?”

Sang ibu dengan bijaknya berusaha menenangkan hati anaknya, “Nak, ibu minta maaf, kita tidak bisa membeli kouta, karena uang kita sudah tidak cukup. Kemarin, ibu hanya bisa membeli 2 liter beras untuk makan. Sejak ayahmu kena PHK karena pandemi, dan ibu tidak bisa lagi berjualan pakaian, membuat penghasilan kita hampir tidak ada, nak.” Dengan mengelus-ngelus punggung anaknya, ia terus memberi pengertian.

Sang anak pun terdiam, hatinya sedikit tenang, namun, batinnya masih berontak. Ia tak ingin ketinggalan ulangan hariannya hari ini. Rani, yah, begitulah panggilannya.  Tiba-tiba saja ia berlari meninggalkan ibunya yang terperangah atas sikapnya. Rani menyambar masker yang terletak di atas meja makan. Ia pun berlari keluar rumah. Sambil berteriak kepada ibunya, seolah-olah takut tertinggal oleh sesuatu, “Bu, maaf ya, saya keluar sebentar. Assalamu alaikum!”  Si ibu hanya bisa terdiam terpaku melihat bocahnya berlalu.

Semenjak Rani pergi, ia tidak habis pikir, dihatinya diliputi tanda tanya. Ada apa gerangan dengan si Rani. Tidak biasanya ia seperti itu. Rani terkenal anak yang sabar dan penurut. Namun kali ini, membuatnya geleng-geleng kepala. Ada rasa cemas terselip dalam hatinya. Namun, tidak lupa ia berdoa untuk keselematan anaknya, serta berharap Rani cepat pulang.

Dua jam sudah ibu Rani menunggu. Jam dinding menunjukkan pukul 11.00 lewat 55.  Ia semakin cemas memikirkan anaknya. Hatinya was-was. Maklum, Rani adalah anak semata wayangnya. Tiba-tiba, pintu diketuk dari luar. “Tok-tok, Assalamu alaikum” Suara Rani terdengar nyaring, namun sedikit terengah-engah. Sang ibu pun spontan membuka pintu, ia sedikit heran, sebab Rani menggenggam selembar kertas dengan wajah tersenyum. Ia pun berujar, “bu, maafkan Rani. Saya tadi ke rumah ibu Sita.” Sambil meletakkan selembar kertas tersebut di atas meja tamu, “tunggu yah, Bu. saya cuci tangan dulu.” Si Ibu hanya tersenyum melihat sikap anaknya. Paling tidak, rasa cemasnya sudah hilang. Rani sudah ada di depan matanya.

Selesai mencuci tangan dan melap tangannya sampai kering, Rani melangkah ke ruang tamu, menyambar selembar kertas yang ia letakkan tadi. Ia mencari ibunya di dapur. Tercium bau sambal terasi yang menggugah selera. Aroma sambal tersebut membuat perutnya keroncongan. Namun, sebelum meminta sepiring nasi. Ia menarik lengan ibunya, “Bu, ini hasil ulangan saya hari ini!” si ibu melirik kertas tersebut.  Tertera nilai 100 serta tanda tangan ibu Sita di samping nilai tersebut.  “Alhamdulillah, kamu memang anak yang pandai, Rani. Ibu bangga sama kamu. Sambil mengernyitkan alisnya, si Ibu melanjutkan kalimatnya, “bagaimana caranya kamu mendapatkan nillai ini, nak. Bukankah rumah ibu Sita agak jauh.”

Rani pun mengajak ibunya duduk di sampingnya, lalu menceritakan kejadian tadi.  Ia buru-buru, berlari ke rumah ibu Sita untuk diberi ulangan harian. Untungnya setiba di rumah ibu Sita, Rani dipersilahkan mengerjakan ulangan hariannya. Ia pun mengerjakan ulangan hariannya dengan penuh percaya diri. Dan setelah diperiksa ibu Sita, ternyata, hasilnya.tidak mengecewakan. Bahkan ia mendapat pujian dari ibu Sita. Dan sebelum Rani pamit, ia sempat meminta kepada ibu Sita, agar dijinkan untuk datang belajar di rumah ibu Sita, tanpa harus daring. Dan sebagai guru yang bijak,  yang sangat paham dengan keadaan perekonomian orang tua Rani, ibu Sita pun mengijinkan muridnya tersebut untuk datang ke rumahnya belajar, namun, dengan syarat harus dengan ijin orangtuanya.

Setelah mendengar kisah anaknya panjang lebar,  tak terasa matanya berkaca-kaca. Ia terharu sekaligus bangga dengan anak semata wayangnya tersebut. ia pun memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang. Rani merenggangkan pelukan ibunya sambil berujar, “Bu, Rani lapar nih. Yuk, kita makan.  Mereka pun makan dengan lahapnya, walaupun hanya berlauk sambal terasi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa

18 Aug
Balas

Terima kasih banyak, atas apresiasinya, Bunda!

19 Aug



search

New Post