Meila bergegas meninggalkan ruang kuliah, berlari kecil menuruni anak tangga, gaun melambai mengikuti irama gerak tubuhnya, setangkai mawar di genggaman diperuntukkan untuk hari jadi mereka, “25 September”.

Meila menuju pelataran parkir, dengan wajah berseri mendekati kendaraan berwarna putih, Langkah Meila terhenti, perlahan mundur, agar kehadiran dirinya tak diketahui oleh Yoga.

“Yoga!, sampai kapan kamu memberi kepastian yang semu, apakah aku kurang sabar menunggumu?”. “Apakah Meila lebih berarti bagimu daripada aku yang sekian tahun kamu beri harapan tak pasti?”.

Yoga menggenggam erat jemari Siska seakan ingin meyakinkan, “Siska aku ingin kamu lebih bersabar lagi, Meila tak berarti bagiku, Meila aku anggap sebagai adikku dan teman, beri aku kesempatan untuk mengatakan yang sesungguhnya kepada Meila”.

Dada Meila terasa sesak, tubuhnya terasa lumpuh, tangisannya sekuat tenaga ditahan agar tak terdengar, langkahnya tak tertahan lagi dengan senyum sinis menghampiri Yoga, telapak tangan yang mungil dan lembut menjatuhkan setangkai mawar dan refleks menampar wajah Yoga.

“Yoga!, 25 September 2 tahun silam, setangkai mawar sebagai saksi, kamu meminta aku, mendampingimu sebagai kekasih menerimamu apa adanya, bukan sebagai adik atau teman”.

“Yoga, kuping aku masih normal, malah aku sering mendengar ucapan dari bibirmu I love you, Miss you, apakah itu bukti kalau aku sebagai adik atau teman”.

“Hal yang terbodoh dalam hidupku adalah mencurahkan kasih sayang kepada orang yang munafik sepertimu, dan sekarang tanpa kamu beri penjelasan saya yang akan memutuskan, hari ini 25 September, mataku telah terbuka untuk meninggalkan orang yang tak patut dicintai”.