suesilowati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
DARI PINTU KE PINTU (3) 'SAAT GAJAH DAN HARIMAU AJA BISA' ( TAGUR-189)

DARI PINTU KE PINTU (3) 'SAAT GAJAH DAN HARIMAU AJA BISA' ( TAGUR-189)

SAAT GAJAH DAN HARIMAU AJA BISA

Oleh: Suesilowati Sukirman

***

Pasti ingatkan, pepatah orang-orangtua kita

“Gajah mati meninggalkan gading”

“Harimau mati meninggalkan belang”

Kiranya pepatah ini tak sekedar bumbu bagi cerita atau dongeng sebelum tidur.

Cerita tentang gajah dan harimau, sering menjadi bahan cerita yang banyak dipakai oleh pendidik dan orangtua untuk menyemangati, agar jadi pribadi yang baik dan bermanfaat.

Sadar atau tidak, cerita ini mempengaruhi kita. Orang baik itu harus punya sesuatu untuk ditinggalkan, yang bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Salahkah pemikiran seperti ini? tentu saja tidak. Bukankah melalui cerita ini banyak orang tersugesti, terinspirasi menjadi pribadi yang lebih baik. Kalau sudah begini artinya gajah dan harimau menang banyak dong ya...hahaha.

Kesadaran, keselarasan dan kemampuan untuk hidup berdampingan dengan alam, akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa setiap makhluk hidup harus memiliki kontribusi, hal berharga yang menjadi keutamaannya dan bisa ditinggalkan untuk orang lain.

Semangat inilah kiranya yang menjadi sebab, bagaimana dalam semua keterbatasan yang ada di zamannya, nenek moyang kita tetap menjadi pribadi yang penuh kreatifitas untuk memberikan sebuah peninggalan yang membuat mereka terus bisa dikenang dan diingat oleh keturunannya. Saat itu tiada pikiran pragmatisme dalam diri mereka, tiada keinginan untuk mendapatkan pujian.

Kesadaran melahirkan peninggalan adalah kesadaran akan kewajiban untuk melestarikan nilai-nilai kebaikan yang mereka pahami saat itu. Ingin anak keturunannya mendapatkan semua kemudahan dan kebaikan serta jauh dari kesulitan, itulah motif terbesar yang mendorong nenek moyang kita meninggalkan karya, dan inilah yang menjadikan peninggalan mereka abadi, di hati dan ingatan kita.

Dulu, saat cerita ini disampaikan di depan kelas oleh guru, aku sering membatin. Mengapa gajah dan harimau yang menjadi contoh? Kenapa bukan yang lain? dan mengapa juga motivasi menjadi baik dan bermanfaat itu harus diwakili oleh (mohon maaf) binatang? Bukankah mereka tidak berakal? Pikir nalar sempitku saat itu.

Tapi bersama jalannya sang waktu, aku mulai menyadari kita butuh contoh untuk menjadi pemicu, dan pemacu terbaik adalah yang datang dari sesuatu yang lebih “rendah” dari diri kita, dalam cerita ini gajah dan harimau seekor binatang tak berakal.

Rasa malu yang terkelola secara baik membuat kita menyadari, bila yang memiliki keterbatasan saja mampu menghadapi tantangan dan melakukan hal yang bermanfaat, mengapa diri kita yang (mengaku) sempurna dan berakal tak bisa melakukannya?

Aku tak tahu, cerita gajah dan harimau itu bagimu bermakna apa?

Namun seperti apapun reaksimu atas cerita ini, mari kita terjemahkan secara jujur… semoga kita sampai pada sebuah kesimpulan yang membangkitkan semangat untuk berkarya.

Jakarta, 12 Agustus 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren ulasannya

13 Aug
Balas

alhamdulillah, terimakasih untuk supportnya selalu bunda. salam sehat dan bahagia selalu bunda ku

13 Aug



search

New Post