SEBAIT PINTA PADA PEMILIK ( TAGUR-176)
SEBAIT PINTA PADA PEMILIK
Oleh: Suesilowati Sukirman
Nunik baru saja selesai menyeka keringat yang mengucur deras dari keningnya, saat pintu diketuk dengan kencang tak terkira “buka…buka jangan lari kau” teriakan suara di luar membuat Nunik bergidik.
Entah sudah berapa kali dalam sebulan ini, penagih itu datang ke rumah, hutang yang dibuat oleh mantan suami Nunik menjadi momok baru bagi diri dan anaknya. Air hangat yang awalnya hendak diteguk Nunik urung terminum, dengan langkah pasrah Nunik membuka pintu sebelum preman-preman tak berperasaan itu mendobrak dan merusak pintu rumahnya.
“bayar utangmu” bentak preman itu pada Nunik.
“belum ada bang” lirih Nunik menjawab, yang diiringi dengan tendangan keras preman ke pintu rumah sambil mendorong Nunik keluar rumah.
Tak ada pilihan lain bagi Nunik, jangankan untuk membayar utang mantan suaminya untuk sekedar makan malam ini saja ia masih harus menunggu bayaran dari pekerjaannya sebagai buruh cuci. Uang hasil penjualan keripik dan peyek, yang dia kumpulkan juga sudah untuk membeli obat Tono; putra kecilnya yang sedang sakit.
Dengan linang air mata, Nunik hanya bisa menerima umpatan dan pukulan dari para preman-preman itu. Paha dan kakinya memar tiap kali si penagih tak berhati itu datang.
Mungkin kadang terasa hidup tak adil, suami tak bertanggung jawab yang telah membuat hidupnya menderita, setelah kepergiannya masih juga menyisakan beban utang.
Nunik mengenang masa sepuluh tahun lalu, saat itu kehidupan mereka sangat baik dan bahagia. Usaha laundry yang merupakan peninggalan orang tuanya, ia kelola dengan kesungguhan dan menjadi penopang hidup Nunik dan kedua adiknya. Sampai pada suatu hari Nunik bertemu Parman, laki-laki yang membuatnya terbuai cinta dan rayuan hingga akhirnya menjadi suaminya. Janji-janji indah yang Parman ucapkan ternyata zoank, Parman yang mengaku perjaka pun ternyata adalah lelaki beristri dan beranak.
Nunik terpuruk, disaat yang sama kandungan yang telah membesar membuatnya seperti memakan buah simalakama.
Sekuat tenaga Nunik bertahan, dibawah perilaku buruk suami dan juga istri pertama suaminya ia melewati hari-hari berat yang tidak hanya membuat ia lelah secara fisik tapi juga batin. Tak cukup menggerogoti kebahagian hati Nunik, Parman dan istri serta anak-anaknya juga menjadi beban baru bagi Nunik, hingga akhirnya karena keburukan perangai Parman, toko laundry mereka tergadai dan Nunik melantung ditinggalkan sendiri hingga saat ini tanpa ada sepucuk kepastian dan harapan.
Perlahan Nunik bangkit dari tanah, memasuki rumah dan meneguk segelas air yang sedari tadi ingin diminumnya, dengan linang air mata yang belum henti Nunik beringsut kekamar mandi untuk berwudhu dan sholat.
“aku tak punya apa dan siapa-siapa lagi duhai Allah”, “hanya Engkau saja yang ada…jangan tinggalkan aku” lirih dalam derai air mata doa Nunik terpanjatkan.
“bukankah…Engkau teman bagi yang sendiri”, “penghibur…bagi yang sedih”, “dan penolong setiap yang kesulitan” lanjut Nunik masih dengan air mata berurai.
“ampuni aku…tolong aku…, aku mengharap belas kasih dan ampunan-Mu ya Allah” Nunik mengakhiri doa dan mengusap wajahnya.
“mbak…mbak Nunik” tiba-tiba sebuah suara hadir di depan pintu rumahnya. Suara khas milik wak Karti pemilik warung nasi di ujung jalan.
“ya wak…sebentar” sahut mbak Nunik sambil membereskan perlengakapan sholatnya.
“ini ambil…ada sedikit makanan” kata wak Karti sambil menyodorkan seplastik makanan ke mbak Nunik.
“ badanku capek..” sambung wak Karti,
“pengen pulang cepat… mau istirahat” lanjutnya menjelaskan
“ sayang…ini nasi dan sayur serta lauk kalau dibawa pulang, gak ada yang makan” panjang lebar wak Karti menjelaskan
“iya wak…terimakasih” sambut mbak Nunik sambil tersenyum dan bersyukur membayangkan sepulang sekolah nanti Tono tidak akan kelaparan.
“ ya sudah…aku pulang” lanjut wak Karti.
“ oh iya Nik” panggil wak Karti tiba-tiba.
“ kamu itu… kesibukannya apa?”
“ apa mau…bantu-bantu aku di warung” ucap wak Karti menawarkan pekerjaan pada mbak Nunik.
“ mau…mau banget wak” ucap mbak Nunik dengan semangat.
“ ya sudah…besok kamu jam 7.00 ke warung ku ya” ucap wak Karti sambil menepuk-nepuk bahu mbak Nunik
“upahnya tidak seberapa…tapi aku akan kasih kamu makanan” jelas wak Karti
“bantu-bantu aku memasak, mencuci piring dan berbenah yaa” wak Karti menjelaskan apa yang menjadi tugas mbak Nunik
“ iya wak…insyaallah” sahut mbak Nunik sambil mengangguk.
Pikiran mbak Nunik melayang, ia bersemangat dan hatinya merona harap sambil tak henti berkomat kamit berucap syukur pada setiap rezeki dan takdir kehidupan yang Allah beri.
Hidup itu seperti air mengalir, kemana laju dan derunya hanya bisa kita ikhtiarkan tapi tak bisa kita tentukan. Karena ada sang sutradara agung pemilik dari panggung kehidupan ini, Dia mengatur semua epik dan ritme, menghadirkan tawa dan tangis, membuka luka dan menyembuhkannya.
Dalam dentang-dentang irama nadi keinsanan, sadarlah kita bahwa segala ketergantungan harus dipulangkan pada sang pemilik, penguasa alam dan jagat semesta dalam bait-bait doa dan pasrah.
Jakarta, 28 Juli 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerpen keren
alhamdulillah, terimakasih bunda. salam sehat selalu bun