COMPETITIF ADVANTAGE & COMPARATIVE ADVANTAGE
Tantangan hari ke-8
Istilah Comparative Advantage (Keunggulan Komparatif) dan Competitive Advantage (Keunggulan Kompetitip) pernah saya dengar dijelaskan dengan sangat sederhana dan menarik oleh Prof. Dr. Usman Pelly, MA. Saat itu Guru besar Antropologi UNIMED yang mengambil MA dan Ph.D di University of Illinois, Amerika Serikat, sedang memberikan ceramah tentang etos kerja di acara Public Relation Training, yang diselenggarakan oleh Jakarta Public Relation di Hotel Tiara Medan, sekitar tahun 2005. Kebetulan waktu itu saya menjadi moderatornya, jadi saya ingat betul apa yang disampaikannya. Di depan sekitar 50 orang peserta yang sebagian besar adalah para Pimpinan Humas dan Public Relation perusahaan-perusahaan di Kota Medan, Prof. Usman menyampaikan tentang perbedaan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif itu dengan menceritakan kisah kehidupannya sehari-hari.
Ia memulai paparannya dengan mengatakan bahwa dulu sekitar tahun 80an, saat dia pulang kerumah, rumah beliau di Jl. Gedung Arca Gg. Jawa, dia selalu perlu membunyikan klakson mobilnya, karena banyak sekali anak-anak yang bermain di Gg Jawa itu pada sore hari. Keluarga-keluarga disekitar itu, memiliki banyak anak, satu keluarga paling sedikit memiliki 4 sampai 5 anak, banyak keluarga yang memiliki 6 sampai 8 anak. Sebagai Guru besar Antropologi ia kemudian mengaitkannya dengan falsafah suku jawa dan batak. Orang jawa memiliki banyak anak, tak perlu takut soal rejeki, mangan ora mangan yang penting ngumpul. Orang batak disebut sukses kalau memiliki banyak anak, baranak sapuluh pitu, dan seterusnya. Keluarga-keluarga miskin maupun kaya, saat itu dimanapun, memilki banyak anak, karena ada pendapat banyak anak banyak rejeki, walaupun mungkin kenyataannya berbeda.
Lalu sebagai Pembantu Rektor I IKIP (UNIMED waktu itu) Prof. Usman mengaitkannya dengan sekolah sebagai institusi pendidikan. Sekolah mana yang paling diminati masyarakat, yang paling disukai dan paling ramai, negeri atau swasta. Maka pasti jawabannya adalah sekolah negeri. SD Inpres penuh dengan siswa, begitu juga SMP dan SMA Negeri. Di Medan waktu itu sekolah swasta masih belum banyak, mungkin ada Josua, Prayatna, Imanuel dan Harapan, tapi sekolah-sekolah itu sangat elite, siswa yang masuk adalah anak-anak orang kaya saja. Mengapa SD Inpres penuh dan hampir tidak cukup menerima siswa, jawabanya tentu, karena keluarga-keluarga di Indonesia waktu itu memiliki banyak anak. Mereka menyekolahkan anak ke sekolah yang gratis, atau murah uang sekolahnya. Banyak anak yang harus disekolahkan, maka dicarilah sekolah yang murah. SD Inpres hidup dan eksis, diminati, karena disana uang sekolah gratis, murah. Keunggulan SD Inpres merekrut siswanya itu, disebut keunggulan komparatif, Comparative Advantage, begitu Prof. Usman menyebutkannya.
Lalu pemerintah mencanangkan Keluarga Berencana, gerakan ini sangat masif, bahkan BKKBN dijadikan sebuah Institusi yang bekerja di seluruh Indonesia. Target gerakan BKKBN cukup 2 anak, laki-laki dan perempuan sama saja, berhasil. Kelurga-keluarga di Indonesia kini sebagian besar hanya memiliki 2 atau 3 anak saja. Jarang sekali kita menemukan ada keluarga yang memiliki anak sampai 6 atau 8 orang anak. Keluarga-keluarga di Indonesia menjadi keluarga yang kecil dan ramping. Prof. Usman tidak perlu lagi menekan klakson mobilnya saat pulang ke rumah, karena kini jalanan sudah sepi. Lalu bagaimana dengan sekolah, sekolah yang diminati bukan lagi sekolah yang murah, tapi sekolah yang berkualitas. Karena dengan 2 anak, ekonomi keluarga cukup untuk menyekolahkan anak kesekolah yang bagus meskipun uang sekolahnya mahal. SD Inpres mulai surut, bahkan banyak yang malu menyekolahkan anaknya ke SD Inpres, SD Negeri, padahal banyak juga SD Negeri yang bagus. Sekolah yang diminati adalah sekolah yang memiliki banyak fasilitas, banyak program, dan mampu mendidik siswanya dengan baik. Sekolah swasta bermunculan, ada Al Azhar, Sutomo, Methodis, Syafiatul Amaliyah, dan seterusnya. Keunggulan sekolah yang memiliki fasilitas yang baik dan program yang menarik ini disebut keunggulan Kompetitif atau Competitive Adventage.
Politeknik LP3I Medan, sebuah studi kasus.
Politeknik LP3I Medan adalah Politeknik swasta terbaik di Kota Medan, bahkan di Sumatera Utara. Pada tanggal 13 Desember 2019, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Sumatera Utara (LLDIKTI) mengundang seluruh Pimpinan Perguruan Tinggi di Sumatera Utara. Pada pertemuan tersebut diumumkan pencapaian yang diperoleh PT tersebut dalam hal pengelolaan mutu PT. Politeknik LP3I Medan meraih tempat terbaik disemua standart pengelolaan mutu tersebut, mulai standar I, Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, serta Strategi Pencapaian. Standar II, Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan dan Penjaminan Mutu. Standar III, Mahasiswa dan Lulusan, dan seterusnya. Politeknik LP3I Medan memperoleh gelar sebagai juara umum dalam pengelolaan mutu PT pada level Politeknik di Sumatera Utara.
Pertanyaannya kemudian, apakah keunggulan Politeknik LP3I Medan itu (LPM) merupakan keunggulan komparatif, keunggulan karena sesuatu yang ada pada PLM tapi tidak dimiliki oleh PT lain, atau keunggulan Kompetitif, keunggulan karena PLM memang meiliki nilai lebih baik dalam berbagai sektor pengelolaan PT tersebut. Keunggulan Komparatif terjadi ketika orang tidak memiliki pilihan lain yang harus diambil. Sekolah gratis dan murah harus dipilih karena anak banyak uang tak ada. Sejelek apapun SD Inpres, tapi karena gratis atau murah, itulah pilihannya, mau tak mau. Sebaliknya, Keunggulan Kompetitip adalah ketika kita lebih unggul dari yang lain dalam memberikan pelayanan, fasilitas, program dan seterusnya. Ada banyak pilihan, tapi kita dipilih karena kita lebih baik dari yang lain, jelas bedanya.
Samudra Biru atau Samudra Merah
Seperti dalam buku Blue Ocean Strategi, dengan ide penempatan kerja, maka dimasa lalu Politeknik LP3I adalah pionir dan lokomotif yang tak tertandingi. Belum ada atau belum banyak Perguruan Tinggi yang mampu menjanjikan penempatan kerja dengan siklus, sistem serta program yang teruji mampu mewujudkan janji tersebut. Para pendiri LP3I adalah orang yang sangat cerdas dan brilian dalam memunculkan, mengemas dan memasarkan ide penempatan kerja ini. Maka berduyun-duyun para calon mahasiswa datang ke PLM yang memang mampu mengantarkan lulusannya menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan ternama. Disamping belum memiliki kompetitor yang berarti untuk isue penempatan kerja ini, saat itu perguruan tinggi swasta juga belum banyak dan berkembang seperti saat sekarang. Keunggulan PLM saat itu adalah keunggulan Komparatif, jika ingin kuliah dan langsung kerja pilihannya hanya satu Politeknik LP3I Medan.
Tapi kini kompetitor mulai muncul, banyak perguruan tinggi yang juga menjanjikan lulusannya untuk segera bekerja. Sebagian mendirikan Pusat Jasa Tenaga Kerja. Banyak event atau kegiatan untuk mempertemukan lulusan dengan perusahaan. Pemerintah juga mendorong agar perguruan tinggi bertanggung jawab terhadap lulusannya, tidak hanya menghasilkan out put tapi juga out come. Sebuah Perguruan Tinggi dinyatakan berhasil kalau lulusannya banyak yang terserap ke dunia kerja. Dan seiring dengan perkembangan waktu, bermunculan pula banyak Perguruan Tinggi Swasta di Medan dan berkembang pesat. Ada Pancabudi, UMSU, UMA, Nomensen, Al Azhar, UNPRI, UPU, dan seterusnya. Begitu juga Politeknik swasta yang membawa isue penempatan kerja juga menjadi kompetitor PLM. Kini, jika calon mahasiswa ingin segera bekerja setelah lulus kuliah, dia tak mesti ke PLM, ada dan banyak perguruan tinggi lain, bahkan Universitas dengan gelar Sarjana juga memberikan dukungan pada lulusannya untuk segera bekerja. Universitas saat ini memiliki divisi Promosi dan Jasa Penempatan Kerja.
PLM dulu unggul karena masih sendiri, samudra masih biru. Kini PLM tidak sendiri lagi dalam isue penempatan, sudah menjadi samudra merah, berdarah-darah. Jika perguruan tinggi lain melengkapi divisi penempatan kerja dengan fasilitas kuliah yang lebih baik, maka kini PLM harus juga melengkapi fasilitas kampus dengan fasilitas yang lebih canggih untuk memenangkan kompetisi ini. Jalan satu-satunya, jika masih ingin bertahan di samudra merah adalah memiliki perahu yang canggih, dengan alat tangkap yang unggul, kompas dan peta elektronik yang mumpuni. Para nakhoda dan pelaut serta tukang pancingnya juga harus orang-orang yang terlatih, sebab lawan-lawan PLM juga memiliki perahu dan pelaut-pelaut yang handal dan jaring yang kuat dari baja runcing yang meski keras tapi lentur dan mencengkram.
Jika tak sanggup bersaing di samudra merah, tak punya kapal dengan fasilitas yang canggih dan pelaut yang cekatan dan berpengalaman, sebaiknya mundur dari persaingan, karena jika tidak alamat kapal akan tenggelam. Jika anda mundur dan menyingkir, kini yang bisa kita lakukan adalah mencari samudra biru kembali, agar kita bisa berenang sepuas hati dan menangkap ikan sesuka PLM saja, yang mana PLM mau, karena PLM sendiri disitu, seperti yang pernah dilakukan para perintis LP3I dulu. Mungkinkah PLM menemukan samudra biru kembali, kuncinya hanya satu “Inovasi”. Isue penempatan kerja, adalah inovasi para pendahulu.
Politeknik LP3I Medan kini juga harus berinovasi, segera, mampukah PLM, semoga.
Demikian, semoga bermanfaat, tetap semangat.
Wassalam,
#TantanganGuruSiana

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar