Sugih Permono

Sugih Permono lahir di Medan pada tanggal 22 Agustus 1967. Saat ini tinggal di Jl. Ir. H. Juanda No. 47 Binjai. Tugas di Politeknik LP3I Medan....

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGIKUTI LK 1 HMI (Kisah-kisah di HMI ke-7)

MENGIKUTI LK 1 HMI (Kisah-kisah di HMI ke-7)

MENGIKUTI LATIHAN KADER I HMI

HMI memilih perkaderan sebagai fungsi organisasi. Artinya, jenis aktifitas yang dipilih HMI untuk mewujudkan visi dan misinya adalah perkaderan. Seluruh aktifitas yang dilakukan oleh seorang anggota HMI ditujukan dalam rangka memberikan nilai tambah dalam rangka membina dirinya menjadi insan yang memiliki kualifikasi yang disebut dengan Insan Cita HMI, sosok insan kamil dalam perspektif HMI. Insan cita HMI yang merupakan insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam akan memikul tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan Dunia Cita HMI, yaitu masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.

HMI memilih Perkaderan sebagai fungsi organisasi adalah merupakan pengkhidmatan kepada status organisasi yaitu sebagai organisasi mahasiswa. Mahasiswa yang dilihat bukan hanya sebagai sebuah fenomena administratif dan statistika belaka, namun juga harus dilihat dari perspektif sosiologis dan psikologis. Secara sosiologis, mahasiswa sebagai inti kekuatan pemuda memiliki posisi strategis dalam setting kehidupan masyarakatnya. Mahasiswa harus menjadi juru bicara dan penyampai aspirasi masyarakat. Mahasiswa dalam setiap periode sejarah pergerakan kebangsaan, sejak 1908, 1928, 1945, 1966, 1998 telah memainkan peran sebagai agent of social change dan agent of social control. Mereka telah menjalankan tugas kesejarahan untuk meluruskan penyimpangan dan memberikan ide-ide kreatif bagi bangsa ini agar tetap menjaga komitmennya, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk menjalankan peran strategis tersebut mahasiswa harus menjadi kelompok yang independen, merdeka, terbuka, kritis dan berani. Ia harus memiliki sensitifitas terhadap persoalan-persoalan bangsanya, memiliki kemampuan memberikan solusi dan juga keberanian untuk turun dan terlibat langsung dalam upaya membela dan melindungi kepentingan masyarakatnya. Untuk ini semua, mereka harus mendapat pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada penyadaran tentang situasi yang terjadi dan potensi yang dapat mereka kembangkan dalam diri mereka agar mereka mampu bersikap dan berperan dalam ikut serta menentukan dan merubah situasi tersebut. Perkaderan HMI ditujukan untuk memberikan wawasan dan kapasitas intelektual baik dalam perspektif ke Islaman maupun keilmuan, agar mahasiswa sadar akan situasi, potensi dirinya serta tugas dan tanggung jawabnya bagi masa depan agama, bangsa dan negaranya. Perkaderan HMI juga ditujukan untuk memberikan kemampuan organisatoris dan kepemimpinan kepada para anggotanya, agar mereka dapat menterjemahkan wawasan dan kapasitas intelektualnya tersebut dalam kerja-kerja konkrit di masyarakat. Kader HMI meyakini bahwa keimanan harus ditindak lanjuti dengan amal shaleh, keduanya adalah bagian yang solid untuk menuju predikat taqwa. Itulah mengapa dalam dokumen NDP (Nilai Dasar Perjuangan HMI) disebutkan bahwa bagi kader HMI hidup ini sebenarnya adalah rangkaian dari Iman, Ilmu dan Amal. Bagaimana kita beriman, berilmu dan beramal dengan sebaik-baiknya.

Secara psikologis, perkaderan sebagai proses terencana dan sistematis untuk melakukan transformasi nilai-nilai keIslaman dan KeIndonesiaan kepada generasi muda bangsa adalah tepat dilakukan, karena mahasiswa dalam pendekatan psikologis sedang dalam periode usia yang sangat dinamis untuk berkembang dan menyerap berbagai masukan yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Secara psikologis mahasiswa berada dalah fase usia yang sangat bergairah untuk menemukan, mencari dan melakukan berbagai kegiatan yang dianggapnya dapat bermanfaat untuk masa depannya, bangsa dan negaranya. Oleh karena itu gairah mereka ini harus disahuti oleh HMI dengan memberikan berbagai kegiatan yang relevan dengan upaya menemukan jati diri mereka sebagai anak muda bangsa yang memiliki potensi sekaligus tanggung jawab sejarahnya. Perkaderan HMI di desain sedemikian rupa agar mampu membantu mahasiswa membentuk karakter dirinya yang siap untuk berperan sebagai sumber insani pembangunan bangsa.

Jenis, Bentuk dan Skema Perkaderan HMI

Perkaderan HMI terbagi menjadi dua jenis yang sederhana, yaitu latihan dan aktifitas. Latihan adalah proses perkaderan yang dilaksanakan secara terencana, sistematis dan berkesinambungan, baik dalam bentuk camping (bermalam) maupun sekolah (tidak bermalam). Sementara aktifitas adalah seluruh kegiatan yang dilakukan seorang kader HMI untuk mengembangkan nilai-nilai, pengetahuan serta ketrampilan yang didapat selama mengikuti pelatihan. Latihan terbagi dua yaitu latihan khusus yang disebut Latihan Kader I sampai Latihan Kader III, dan latihan umum yang terdiri dari berbagai kursus dan up grading. Latihan khusus atau Latihan kader terutaman Latihan Kader I atau Basic Training memiliki posisi strategis dalam perkaderan HMI, karena dalam latihan kader I tersebut HMI membentuk sikap dan karakter kader-kadernya secara simultan. LK I merupakan forum strategis untuk membentuk karakter kader HMI karena di forum ini kita bisa merancang untuk mengendalikan dan mengelola berbagai variabel yang menentukan dan berpengaruh dalam merubah dan membentuk karakter kader HMI.

Berbeda dengan aktifitas yang dilaksanakan kader HMI seperti diskusi, mentoring, mengelola sebuah kepanitian, menjadi pengurus dan kegiatan mandiri lainnya maka latihan kader di rancang sedemikian rupa secara cermat, detail dan fokus untuk dilaksanakan secara bertahap hari demi hari, melakukan transformasi, membangun dinamika dan convergensi, meniti grafik dan kurva hingga klimaks di ujung hari. Kader HMI yang keluar dari Latihan Kader diharapkan telah mendapatkan pencerahan dan perubahan dalam wawasan, sikap dan perilakunya. Ia diharapkan lebih tekun dan rajin dalam menambah wawasan keIslaman dan keilmuannya, bergairah dalam mengikuti diskusi dan kegiatan-kegiatan keIslaman serta kegiatan ilmiah lainnya. Ia lebih kritis dan siap untuk menyampaikan sikapnya berdasarkan wawasan yang dimiliki terhadap berbagai kasus, fenomena dan problem yang terjadi. Kader HMI setelah keluar dari LK I, lebih kelihatan keberpihakannya terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus dan problem kemasyarakatan.

Dalam berorganisasi, ia kelihatan lebih bersemangat, lebih ingin memberikan ide-ide untuk kegiatan-kegiatan dan program-program kerja serta siap untuk menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan organisasi tersebut. Semua yang dilakukannya kemudian, disamping sebagai bentuk dari implementasi terhadap apa yang ia dapatkan selama mengikuti Latihan Kader sebenarnya juga merupakan kelanjutan dari proses perkaderan yang disebut dengan aktifitas. Dengan demikian, training dan aktifitas adalah sebuah rangkaian perkaderan yang tidak terpisahkan. Namun juga tidak akan bisa saling menggantikan. Karena sifat dan karakternya yang berbeda. Dalam perjalan HMI selanjutnya, ada masa-masa dimana training dan aktifitas ini coba dipertukarkan atau disubstitusikan. Sebagian dari kegiatan training dibuang sehingga training itu menjadi singkat dan disubstitusikan dengan kegiatan pasca training selama beberapa hari. Sertifikat kelulusan hanya diberikan setelah mereka mengikuti kegiatan pasca training (yang dianggap merupakan bagian dari training) beberapa hari tersebut. Ya, kita harus menerima jika ada yang mengatakan bahwa setiap masa dan generasi punya alasan dan argumentasi sendiri dalam melakukan perubahan. Namun yang pasti setiap perubahan tentu memiliki akibatnya sendiri.

Selanjutnya skema perkaderan HMI dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase rekruitmen kader, fase pembentukan kader dan fase pengabdian kader. Fase rekruitmen adalah masa dimana HMI melakukan proses rekruitmen di sumber-sumber rekruitmen, terhadap mereka yang memenuhi kriteria rekruitmen dan dengan strategi rekruitmen yang handal. Setelah masuk ke HMI maka mereka akan berada pada fase pembentukan kader, mereka akan mengikuti training LK I, kemudian aktifitas, LK II, aktifitas, LK III, aktifitas dan setelah itu menjadi alumni HMI. Saat menjadi alumni inilah fase pengabdian kader HMI di mulai. Ada yang masuk dalam dunia politik, menjadi akademisi, birokrat, ilmuwan, pengusaha, profesional, dan seterusnya.

Dalam posisi sebagai alumni ini, diharapkan kader HMI (tetap disebut kader HMI), mampu menjalankan mision HMI, yaitu bagaimana menegakkan ajaran Islam untuk kemashlahatan seluruh masyarakat Indonesia sesuai bidang kerja mereka masing-masing. Di tempat kerjanya mereka dituntut untuk memahami, menggali dan mengangkat kepermukaan serta menegakkan, secara keilmuan dan secara rasional seluruh nilai-nilai dan konsep ajaran Islam. Untuk memajukan lembaga, organisasi dan perusahaan dimana mereka bekerja, yang pada gilirannya akan memajukan dan mensejahterakan bangsa dan masyarakat Indonesia. Oleh karena Islam adalah ajaran yang rahmatan lil alamin, maka tidak ada split atau keterpisahan saat menegakkan ajaran Islam dengan saat kita membangun untuk Indonesia. Hal itu sudah menjadi satu rangkaian saja dalam kerja-kerja seorang kader HMI. Inilah apa yang sering kita sebut rangkaian keIslaman dan keIndonesiaan. Dua variabel yang selalu menjadi arah dan komitmen seluruh aktifitas kader HMI.

Mengikuti LK I di Himpunan Mahasiswa Islam

Aku mengikuti LK I di HMI Cabang Medan pada tahun 1987, setelah mengikuti seleksi yang kedua kali. Pada saat seleksi yang pertama kali ku ikuti, HMI Komisariat FPMIPA IKIP Medan mengirimkan dua orang calon peserta, yaitu aku dan senior ku, kalau tidak salah namanya Bang Dian dari Matematika juga. Beliau lulus dan aku tidak. Barulah pada seleksi yang ku ikuti kedua kalinya aku dinyatakan lulus. Mungkin karena waktu itu hanya aku yang menjadi utusan komisariat.

Memang begitu sistem seleksi latihan kader yang dilakukan di HMI Cabang Medan. Kelulusan bukan saja dilihat dari keunggulan atau kecerdasan serta berbagai kriterian objektif lainnya yang dimilki calon peserta latihan. Tapi kelulusan juga harus mempertimbangkan seluruh peserta dari komisariat yang ada di HMI Cabang Medan. Hal ini disebabkan dua hal. Yang pertama demi mempertahankan regenerasi di setiap komisariat, sehingga komisariat diwajibkan mengirimkan kadernya satu atau dua orang (yang telah di nilai oleh pengurus komisariat), dan akan diterima untuk jadi peserta latihan kader, tentu dengan syarat harus memenuhi standart minimal yang telah ditentukan. Kedua, karena memang sistem dan ruh perkaderan di HMI memakai konsep ICO (input convergensi output). Dimana peserta yang masuk (input) adalah mereka yang memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda dan sangat beragam. Dari hukum, kedokteran, MIPA, Sastra, Tarbiyah, Syariah, FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan), Perbanas, Teknik, Fisipol, Ekonomi dan seterusnya.

Nah, dalam medan training latihan kader, seluruh disiplin ilmu ini akan dikonvergensikan, akan di aduk, dan kemudian di sinergikan sehingga setiap peserta kemudian memiliki tambahan kekayaan pengetahuan. Ego keilmuan peserta akan ditantang ketika dalam mendiskusikan dan memahami persoalan ia tidak bisa tidak juga harus mempertimbangkan perspektif disiplin ilmu lainnya yang mungkin saja memiliki urgensi dan kajian yang lebih tepat dan mendalam. Pada akhirnya dari dinamika yang dibangun untuk mengconvergensikan berbagai disiplin ilmu peserta ini, akan lahir seorang matematikawan yang faham soal ilmu politik. Dalam bahasa HMI, perkaderan HMI ingin melahirkan intelektual yang ulama atau ulama yang intelektual.

Bayangkan jika seorang mahasiswa Dakwah di IAIN SU bisa bicara manajemen dan ekonomi secara fasih karena di picu oleh diskusi dalam LK I, maka ia tentu akan menjadi dai yang up date dan relevan. Tidak aneh di HMI kita temukan anak-anak hukum yang fasih bicara ayat-ayat Quran, dan anak-anak syariah yang fasih bicara tentang sistem pembangunan nasional. Itulah mengapa peserta LK I harus berasal dari banyak komisariat dan disiplin ilmu. Jika kemudian sistem seleksi ini diubah karena ketidak fahaman terhadap latar belakangnya tersebut, maka yang terjadi adalah kerancuan belaka.

Jika hanya calon peserta yang unggul berdasarkan standart tertentu yang telah ditetapkan yang diluluskan maka yang terjadi adalah krisis kader di satu komisariat dan penumpukan kader di komisariat lain. Yang terjadi adalah pengelompokan dan kesombongan berdasarkan disiplin ilmu di beberapa komisariat tertentu. Kita tidak tahu apakah hal ini telah terjadi pada generasi HMI hari ini. Namun jika hal itu terjadi, itu adalah konsekuensi logis saja dari penyimpangan yang terjadi. Jika ada calon peserta yang telah mengikuti seleksi beberapa kali tetap tidak lulus, atau ada saat seorang kader HMI yang tidak memiliki sahabat atau teman dari fakultas atau komisariat lain, maka kemungkinan besar, sistem seleksi itu telah berubah saat ini.

LK I HMI Komisariat FMIPA USU

Ya, LK I yang ku ikuti dilaksanakan oleh HMI Cabang Medan dengan pelaksana HMI Komisariat FMIPA USU. Dilaksanakan di Student Center HMI Cabang Medan, Jl. Adinegoro 15 Medan. Aku masih ingat, yang menjadi ketua panitianya adalah Bang Edi Fitri dan Ketua Umum Komisariatnya adalah Bang Chairul Azhar. Dengan Bang Edi Fitri, setelah selesai LK I aku tidak pernah bertemu lagi. Namun dengan Bang Chairul Azhar kami sering sekali bertemu. Beliau adalah aktifis masjid Dakwah USU dan sekarang menjabat sebagai Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Sumatera Utara. Bang Chairul juga aktif di kegiatan-kegiatan KAHMI sehingga pada masa sebelum ini kami sering sekali bertemu.

Ada satu keberuntungan, aku tidak lulus pada LK I sebelumnya. Istilah sosiologisnya kegagalan yang membawa rahmat. Mengapa aku mengatakan demikian, karena di LK I HMI Komisariat FMIPA USU ini, aku bertemu dengan instruktur-instruktur senior yang sudah lama tidak hadir mengelola LK I. Mereka tidak mengelola LK I sebelum-sebelum ini, karena ada satu masalah, ada aturan yang menurut mereka prinsip yang dilanggar oleh pengurus HMI Cabang Medan. Pada proses rekonsiliasi tengah dilakukan oleh Pengurus HMI Cabang Medan periode berikutnya, mereka diminta untuk mengelola LK I HMI Komisariat FMIPA USU dan mereka bersedia. Bang Ilyas Siagian, Syaiful Amri, Zahrin Piliang, AR Piliang, Zunaidi Nasution (Alm), Darwis Nasution, Chairul Syam dan Kak Murnilawati Mahmud adalah instruktur senior yang hadir mengelola training ini. Mereka dibantu oleh instruktur-instruktur muda yang kapasitasnya tidak diragukan seperti Amir Hamzah Pane, Syarifuddin S. Malem, Syahruzal Yusuf, Syarifuddin Syas (Alm) dan Kakanda Rahmat (Alm).

Sebuah keberuntungan karena mereka-mereka mencurahkan seluruh wawasan dan kapasitas mereka untuk mengelola LK I ini. Kami-kami para peserta juga mencoba mengimbangi tantangan yang mereka berikan dalam setia sesi pemberian materi, diskusi, debat, brain storming, game, role playing dan sebagainya. Ada banyak materi yang diberikan selama LK I dilaksanakan, mulai dari Sejarah Perjuangan HMI, Konstitusi HMI, Tafsir Tujuan HMI, Independensi HMI, Perguruan Tinggi Kemahasiswaan, Pengantar Ideologi, KeIslaman, Management Organisasi, Kepemimpinan, Problem Solving Methode, Memimpin Rapat dan Mengelola Persidangan, KeKohatiaan, Retorika dan Protokoler, dan banyak lagu-lagu serta game-game yang dibawakan saat peserta sedang pasif dan lesu.

Tapi lebih dari materi-materi yang berisikan wawasan keilmuan yang dipadukan dengan wawasan keIslaman, yang lebih menarik dari LK I ini adalah methodologi training yang dipergunakan. Disamping menggunakan prinsip-prinsip andragogi dan parsipatory training, LK I juga menggunakan apa yang disebut dengan Group Dynamic System. Lama setelah kelak aku juga mengikuti kursus senior dan menjadi instruktur HMI, aku mencoba memahami dan mendalami apa yang disebut dengan GDS ini. Jika Andragogy dan Parsiaptory Training diberikan di Senior Course dengan sejumlah makalah dan tulisan tentangnya, maka GDS yang justeru menjadi inti dari methodologi LK I, hanya dipraktekkan saja secara langsung, ditambah penjelasan teoritis disana-sini secara sangat sedikit dan sederhana.

Alasan yang mengemuka sehingga landasan teoritis dan basis keilmuan dari GDS ini tidak disusun dan didokumentasikan secara tertulis adalah kekhawatiran manakala hal ini ditemukan dan dicontoh oleh pihak-pihak lain. Alasan ini masih berlaku sampai saat ini, dan disepakati oleh para instruktur HMI. Namun aku sendiri kemudian merasa penasaran, karena menurut hematku, pembelajaran methode GDS ini dari satu generasi instruktur ke generasi instruktur berikutnya, jika hanya di praktekkan secara langsung tanpa penjelasan tentang basis teoritis keilmuannya, dapat menjadi bias dan menyimpang. Hal ini dapat terjadi karena daya serap dan ingatan setiap orang, meskipun sudah menyandang jabatan sebagai instruktur tetap saja berbeda-beda. Maka kemudian secara pribadi aku mencoba mencari dan mempelajari konsep GDS ini. Dan alhamdulillah, aku menemukannya sebagian dibuku-buku tentang dinamika kelompok, sebagian di buku-buku psikologi sosial dan sebagian lagi di buku-buku eksperensial learning. Tapi meskipun aku menemukan landasan teori dan basis keilmuan GDS ini dibuku-buku tersebut, sesungguhnya penerapan GDS di Latihan Kader I HMI tetap khas HMI, secara praktis implementasi yang dilakukan di LK I sangat unik dan menarik dan sekali lagi sangat khas HMI. Tentu setelah menemukan semua ini, aku kemudian sangat menaruh hormat dan apresiatif sekali dengan generasi-generasi awal kader HMI yang merancang LK I seperti ini. Aisyah Amini, Ismail Hasan Metareum, Dahlan Ranuwiharjo dan senior-senior generasi awal HMI lainnya. Tentang pemahamanku terhadap methode Group Dynamic System itu sendiri, saat ini sedang aku upayakan untuk dituliskan. Siapa tahu suatu saat berguna bagi kebaikan HMI.

Tetap berguru pada Instruktur pasca LK I

Latihan Kader I yang berjalan selama seminggu, akhirnya selesai ku ikuti. Alhamdulillah, LK I telah memberi banyak manfaat buat diriku. Banyak wawasan yang didapat dan motivasi untuk berbuat. Persahabatan dengan teman-teman dari banyak fakultas dan hubungan yang terus kurajut dengan para instrukturku.

Dengan Bang Ilyas Siagian, Bang Zahrin dan Bang AR, Bang Darwis, dan Syamsul Rivai (sewaktu LK I masih menjadi instruktur magang) sampai hari ini kami masih sering berkomunikasi. Beberapa tahun sebelumnya, kami berlima memiliki komitmen yang kemudian kami implementasikan untuk menjaga, merawat dan melakukan kaderisasi instruktur di luar HMI Cabang Medan. Dalam usia yang sudah tidak muda lagi kami ikut turun memberi contoh dan membimbing para instruktur muda HMI di HMI Cabang Labuhan Batu, Padang Sidempuan sampai Mandailing Natal. Dipenghujung tahun 2019, kami masih juga turun memberikan bimbingan saat LK II dilaksanakan di HMI Cabang Sibolga.

Dimasa lalu, training-training di HMI Cabang di luar HMI Cabang Medan, masih dikelola oleh instruktur-instruktur HMI Cabang Medan. Bahkan training-training di Aceh juga dikelola oleh instruktur HMI Cabang Medan. Aku sendiri mengikuti program magang menjadi instruktur HMI Cabang Medan dengan ikut mengelola training-training di Pematang Siantar dan Lhokseumawe, bersama Bang Zunaidi Nasution (Alm) dan Bang Syamsul Rivai. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa HMI Cabang Medan memiliki pengaruh yang besar sekali di hadapan Cabang-Cabang lain. Saat Musda dan Kongres HMI, biasanya Cabang-Cabang lain, mengikuti apa yang diputuskan HMI Cabang Medan tentang siapa yang dipilih menjadi ketua umum misalnya. Tapi kini tidak lagi, instruktur-instruktur di HMI Cabang Medan tidak mengelola training-training di HMI Cabang lain. Malah saat LK I HMI Cabang Deli Serdang kemarin, yang mengelola LK I itu, sebagian adalah instruktur HMI dari Cabang Kisaran dan Padang Sidempuan.

Dengan Bang Chairul Syam kami pernah sama-sama mengelola Pesantren Kilat di Masjid Agung Binjai. Saat beliau menjabat sebagai kabag di Kanwil Depag Sumatera Utara, organisasi yang aku pimpin pernah diberi kepercayaan oleh beliau untuk menjadi konsultan hukum bagi seluruh Kandepag di Sumatera Utara. Divisi hukum kami dipimpin oleh teman-teman alumni dari HMI Komisariat FH USU, seperti Sdr. Idris yang pernah menjadi Sekretaris Yayasan UISU dan Sdr. Muslimin yang pernah menjabat Komisioner di KPAI Sumatera Utara. Saat Bang Chairul Syam menjadi Kakandepag Labuhan Batu Selatan, kami sering bertemu di stasiun kereta api Medan. Beliau akan berangkat ke Labusel dan aku baru sampai dari atau sedang menunggu kereta api ke Binjai. Terakhir kami bertemu saat Bang Chairul Syam menyelenggarakan resepsi pernikahan putranya di Gedung Aceh Sepakat Iskandar Muda.

Dengan Bang Rahmat Nasution, aku berteman bahkan kami masih sempat bertemu di KFC Ring Road beberapa hari sebelum Bang Rahmat menghembuskan nafasnya yang terakhir. Peristiwa sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu itu terjadi saat Bang Rahmat memberika tulisan-tulisannya yang telah dijilid menjadi buku sederhana tentang schizoprenia yang pernah di alaminya di masa lalu. Tulisan itu masih kusimpan sampai hari ini dan akan menjadi kenangan tentang Bang Rahmat yang cerdas dan baik hati ini. Terakhir kami pernah bersama-sama mengelola kegiatan di Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Bang Rahmat punya senior dan junior di Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.

Begitulah kedekatan dengan para instrukturku, dengan almarhum Bang Syas kami juga sangat dekat dan sering meluangkan waktu minum kopi bersama. Bahkan kami pernah sama-sama bekerja di PAB (Persatuan Amal Bakti) sekitar tahun 1993. PAB adalah Yayasan Pendidikan yang mengelola sekolah-sekolah yang berada di seluruh areal PTPN IX (sekarang PTPN II). Bang Syas menjadi guru di SMA PAB Helvetia dan menjadi salah seorang pengurus di Pimpinan Umum PAB Sumatera Utara. Aku bekerja menjadi staf Sekretaris Umum PAB, Bapak Mahiddin Esmuda (Alm). Bang Syas dan aku juga pernah aktif disebuah organisasi kepemudaan yang menjadi sayap sebuah Partai Politik. Bersama dengan Bang Zahrin Piliang, kami membentuk organisasi kepemudaan ini di seluruh Sumatera Utara.

Terakhir, dengan Bang Syarifuddin S. Malem, salah satu instruktur yang sering kuceritakan kemampuannya mengelola medan training kepada para instruktur muda HMI. Beberapa bulan yang lalu aku terhubung kembali lewat fb dan WA. Beliau telah menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah di Aceh. Bang Syarifuddin S. Malem yang berasal dari komisariat FMIPA USU ini kembali kekampung halamnnya di Aceh untuk menjadi pendidik dan akhirnya kini telah menjadi seorang kepala sekolah. Kemarin aku masih sempat mengirimkan dalam bentuk soft copy, majalah KGB (Komunitas Guru Belajar) yang diterbitkan oleh Kampus Guru Cikal, salah satu komunitas yang menjadi inspirator dan penggerak gerakan merdeka belajar. Saya membayangkan, bagaimana Bang Syarifuddin mengelola sekolah yang dipimpinnya. Insya Allah menjadi sekolah yang berbudaya dan berkarakter.

Kalau dengan Kak Murni, instruktur yang paling banyak menemani kami selama di LK I, aku hanya bisa menyampaikan salam lewat suaminya, Kakanda Manimbang Khariyadi yang kini menjadi Sekjen KAHMI Nasional. Kak Murni adalah Kader HMI dari FPBS IKIP Medan, sementara Bang Manimbang dari Nusa Teanggara Barat, mereka bertemu di HMI dan kini bertempat tinggal di Jakarta. Bang manimbang relatif dekat dengan kami, beberapa kader HMI di Medan. Beberapa kali Bang manimbang datang ke Medan membawa paket seminar dan pelatihan dari lembaga pelatihannya "JPR (Jakarta Public Relation)". beberapa seminar yang dilaksanakan dimana aku dilibatkan dalam pengelolaannya adalah seminar Public Relation di Tiara Convention Hall, dan Pelatihan untuk Sekretaris Eksekutif di Garuda Plaza Hotel. Menarik ketika Bang Manimbang menghadirkan Ninik L. Karim, seorang artis untuk menjadi narasumber di acara itu. Tentu kita akan senang menjadi moderatornya.

Inilah cerita tentang LK I yang ku ikuti, banyak sekali wawasan dan pencerahan yang aku dapatkan baik selama di LK I itu sendiri maupun saat berguru terus kepada instruktur-instruktur ku tersebut di luar dan pasca pelaksanaan LK I. Setelah mengikuti LK I, aku melanjutkan mengkuti LK II pada tahun 1988 di Medan dan mengikuti Senior Course di Pematang Siantar pada tahun 1990. Training-training di HMI memberikan motivasi untuk terus belajar, belajar dan terus belajar untuk meningkatkan kapasitas diri, wawasan dan ketrampilan organisasi agar tugas-tugas dapat dikerjakan di masa depan, tugas untuk terus membina diri menjadi lebih baik lagi. Seperti yang disebutkan filsosof dan cendekiawan muslim Iqbal, bahwa manusia adalah makhluk terbengkalai, ia harus terus berproses untuk mewujudkan dirinya yang sebenarnya sebagai puncak ciptaan Allah. In the becoming proses, proses menjadi yang terus berlangsung sepanjang masa, life long education, kaizen, continue improvment.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post