285. Khusnudzon Kepada Allah Swt
Diantara kebiasaan manusia yang harus diwaspadai tingkat tinggi adalah selalu berprasangka kepada semua pihak. Kebiasaan ini sangat mengkhawatirkan jika selalu diturut. Pasalnya,kebanyakan prasangka adalah bohong,tidak ada faktanya,dan cenderung mengarah kepada hal negative terhadap pihak yang menjadi obyek. Kebiasaan prasangka ini kurang produktif bagi kehidupan seorang muslim,capek,melelahkan,dan tidak ada pahala atau kebaikan yang akan didapat. Jika benar apa yang disangkakan tidak ada pahala darinya, justeru dosa menjadi kepastian manakala prasangkanya tidak benar alias bohong.
Suka berprasangka kepada manusia hendaknya ditinggalkan mengingat tidak adanya faidah yang akan diperoleh. Jika terpaksa harus melakukan,maka berprasangka baik menjadi solusi aman menjauh dari dosa. Namun, kepada Allah Swt,seorang muslim harus bahkan wajib untuk selalu berprasangka baik terhadap apa pun kejadian yang menimpanya. Kejadian yang baik menyenangkan,maupun musibah yang sedang menimpanya. Semua harus diyakini bahwa Allah Swt sedang melakukan sesuatu yang terbaik untuk dirinya. Dari Anas bin Malik ra secara marfu', Nabi saw bersabda.
قالَ اللهُ تعالى : عبدي أنا عندَ ظنِّكَ بي، و أنا معكَ إذا ذكرتَني
Allah Ta'ala berfirman: Wahai hamba-Ku, Aku sesuai persangkaanmu kepada-Ku, dan Aku bersamamu jika engkau ingat kepada-Ku. (HR. Al Hakim ). Sebuah informasi sekaligus perintah penting agar seorang muslim tidak salah langkah dalam menjalani hidupnya.
Keyakinan dasar seorang muslim bahwa Allah Swt adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan serba maha lainnya menjadi modal untuk bisa selalu berbaik sangka kepada-Nya. Allah Swt Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan,tidak mengantuk apalagi tidur,dan selalu sibuk mengurus makhluknya. Lebih meyakinkan lagi bahwa semua yang terjadi dalam rangka dan demi kebaikan seorang hamba. Kewajiban seorang muslim adalah selalu berusaha menata hatinya agar tidak pernah dibelokkan setan untuk buruk sangka kepada Allah Swt. Hadis diatas dijelaskan oleh Imam Nawawi ra bahwa:
قَالَ الْقَاضِي قِيلَ مَعْنَاهُ بِالْغُفْرَانِ لَهُ إِذَا اسْتَغْفَرَ وَالْقَبُولِ إِذَا تَابَ وَالْإِجَابَةِ إِذَا دَعَا وَالْكِفَايَةِ إِذَا طَلَبَ الْكِفَايَةَ
Al Qadhi mengatakan: Maknanya Allah akan memberikan ampunan jika hamba beristighfar, dan Allah akan terima taubat jika hamba bertaubat, dan Allah akan kabulkan doa jika ia berdoa, dan Allah akan berikan kecukupan jika ia meminta kecukupan. (Syarh Shahih Muslim, 17/2). Ketika seorang muslim beristighfar mohon ampun atau bertaubat dengan mengakui dosa dan kesalahan yang sempat diperbuatnya,atau pun tatkala sedang berdoa meminta sesuatu agar hidupnya dipenuhi dengan kecukupan, maka semua itu wajib dilakukan dengan keyakinan tinggi bahwa semua itu pasti akan Allah Swt kabulkan. Entah dengan disegerakan di dunia,atau disimpan untuk diberikan di akhirat kelak. Jika keduanya tidak Allah Swt berikan, maka tetap berbaik sangka bahwa semua usahanya tersebut akan dikompensasikan dengan hilang atau mengecilnya musibah yang seharusnya menimpanya. Karena semua yang diminta seorang hamba,sudah pasti Allah Swt sanggup untuk mengabulkan tanpa mengurangi perbendaharaan Allah Swt sedikitpun. Masalahnya, yakin apa tidak seorang hamba dalam meminta. Semakin yakin dengan berbaik sangka semakin dekat realisasinya. Ibnu Hajar ra menjelaskan bagaimana Allah Swt akan mengabulkan sesuai persangkaan hamba-Nya.
أَيْ قَادِرٌ عَلَى أَنْ أَعْمَلَ بِهِ مَا ظَنَّ أَنِّي عَامِلٌ بِهِ
Maksudnya Allah mampu untuk mewujudkan sesuai apa yang dipersangkakan oleh hamba tentang Allah. (Fathul Bari, 13/385).
Husnudzhan atau berprasangka baik kepada Allah Swt merupakan adab kesopanan seorang hamba kepada Penciptanya. Sudah seharusnya dilakukan karena memang demikian adanya. Semua yang ia miliki adalah anugerah yang datang dari Sang Pencipta tersebut. Andaikan ada sesuatu yang kurang cocok di hatinya,maka sabar menjadi sikap yang tepat. Sabar sembari meyakini semua dalam rangka kebaikan dirinya sendiri. Jika Allah Swt menetapkan musibah baginya, ia tetap berprasangka baik kepada Allah Swt bahwa dibalik musibah tersebut ada hikmah yang agung. Ia berprasangka baik kepada Allah dalam semua takdir yang Allah Swt tetapkan baginya, dan dalam semua aturan syariat yang Allah Swt tetapkan melalui lisan Rasul-utusan-Nya. Bahwa semua baik dan merupakan kebaikan bagi semua makhluk. Allah Swt tidak pernah ingin mencari keuntungan atau mengambil manfaat dari setiap peristiwa,kejadian,atau pun takdir yang ada. Semua itu akan kembali kepada manusia sendiri sesuai sikap yang diambilnya. Berprasangka baik kepada Allah Swt akan mendapat banyak kebaikan dunia juga pahala di akhirat. Sedang kebalikannya, dengan berburuk sangka,maka kerugian diri dengan sempitnya hati pasti akan menderanya. Masalah pun tidak akan membaik tanpa ada campur tangan dari Allah Swt.
Selalu berhusnudzon kepada Allah Swt seharusnya menjadi gaya hidup seorang muslim. Tidak ada waktu sesaat pun tanpa berhusnudzon kepada-Nya. Jangan sampai ada sedikit celah bagi setan untuk memasukkan rasa tidak puas kepada takdir Allah Swt dengan memunculkan buruk sangka. Namun yang harus diperhatikan adalah jangan sampai rasa husnudzon tersebut membuat diri meremehkan setiap kemasiatan atau dosa yang telah dilakukan dengan alasan Allah Swt pasti mengampuninya. Atau dengan alasan husnudzon bahwa Allah Swt Maha Pengasih tidak mungkin akan menyiksanya kelak sehingga malas beribadah atau beramal salih. Semua itu adalah tipuan setan yang perlu diperhatikan. Ibnul Qoyim ra pernah menjelaskan yang demikian.
وقد تبين الفرق بين حسن الظن والغرور, وأن حسن الظن إن حمل على العمل وحث عليه وساعده وساق إليه: فهو صحيح, وإن دعا إلى البطالة والانهماك في المعاصي: فهو غرور, وحسن الظن هو الرجاء, فمن كان رجاؤه جاذبا له على الطاعة زاجرا له عن المعصية: فهو رجاء صحيح ، ومن كانت بطالته رجاء ورجاؤه بطالة وتفريطاً: فهو المغرور
Sangat jelas perbedaan antara husnudzan dengan ghurur (tertipu). Husnudzan kepada Allah yang mendorong dirinya untuk beramal, menggiringnya beramal, maka ini husnudzan yang benar. Namun jika husnudzan menyebabkan dirinya menjadi pengangguran, atau bahkan tenggelam dalam maksiat, ini ghurur (tertipu). Karena husnudzan adalah membangun harapan. Siapa yang harapannya menyebabkan dirinya semakin taat dan menjauhi maksiat, ini harapan yang benar. Malah, jika penganggurannya menjadi harapan dan harapannya menyebabkan dia pengagguran dan gila syariat, maka ini tertipu. (Al Jawab Al Kafi, 24). Semoga kita selalu bisa berhusnudzon kepada Allah Swt dengan benar, dan bersuudzon kepada setan dengan tepat pula. Amin []
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ulasan yang keren dan mencerahkan makasih pak ilmunya
Trims,Bu Sofi. Sama2