Kisah Arya&Difa (Kabar Skripsi dan Cafe Kenangan)
Pagi yang cerah di Jakarta, kota yang tidak pernah tidur dari segala aktivitas gerak manusia. Dari pagi hingga malam bahkan berganti pagi lagi, berbagai kesibukan menghiasi the J- Town atau New York City nya Indonesia ini. Saat itu Arya sedang berada di Jakarta Selatan dan sedang duduk santai sambil menyeruput the panas di balkon lantai 36 apartemennya. Kebiasaan bangun pagi yang ditanamkan oleh neneknya sejak masih hidup, kini telah menjadi kompas dalam permulaan aktivitas sehari-harinya. Sesibuk dan selelah bagaimanapun juga itu, Arya pastikan ia harus bangun lebih awal dan berolahraga secukupnya di ruang fitness pribadinya.
Sebuah nada dering telepon terdengar dari atas meja samping tempat tidurnya. Arya bergegas berjalan masuk dan mengangkat handphone itu. Ibu, gumamnya dalam hati.
[Arya, gimana keadaan kamu nak?]
Terdengar suara seorang wanita dari balik telepon yang tak lain adalah dokter Sherly ibu kandung Arya.
[Aku baik-baik saja ibu. Perusahaan terkontrol dengan baik. Bagaimana dengan keadaan ibu sendiri?]
[Ibu sangat sibuk akhir-akhir ini. Banyak pasien yang harus ibu layani dengan berbagai problematika dalam hidupnya]
Nampak dokter Sherly sedikit curhat ke anaknya itu.
[Ibu jangan lupa jaga Kesehatan juga di sana ya. Oh ya, apakah pekan ini ibu telah menelpon dek Difa?]
Arya tiba-tiba mengalihkan pembicaraan via telepon itu ke topik lain.
[Kamu tak usah khawatirkan mengenai hal Itu. Sudah jadi rutinitas ibu setiap malam minggu untuk menyapa calon mantu ibu meskipun hanya melalui telepon]
Nampak eskpresi tersenyum terdengar dari warna suara yang dikeluarkan oleh dokter Sherly.
[Syukurlah. Terima kasih ibu]
[Oh ya, sepertinya ini kabar gembira buat kamu nak]
[Kabar apa gerangan ibu?]
[Pekan lalu, Difa mengabarkan ke ibu bahwa akhir bulan depan ia sudah akan maju ke meja skripsi]
[oh, betulkah itu ibu?]
Arya nampak berdiri dari springbed yang sejak tadi didudukinya saat mendengar kabar itu.
[iya. Itu artiinya, keinginanmu untuk memperistrinya juga semakin dekat nak. Ibu bisa prediksi, sebulan setelah ia ujian, Difa bisa langsung wisuda karena waktunya itu bertepatan juga dengan jadwal wisuda kampus]
[Aku sangat bahagia mendengarnya ibu]
[Iya. Ibu juga nak]
Kedua ibu dan anak itu nampak tersenyum bahagia dari tempatnya masing-masing berada. Kecanggihan teknologi komunikasi telah memuat jarak pemisah keduanya bukan penghalang lagi untuk mengekspresiakan perasaan masing-masing. Dokter Sherly sedang duduk dengan anggun di ruang kerjanya, di pusat kota London, Inggris, sedangkan Arya di kamar apartemen mewahnya di Jakarta Selatan.
Tiga bulan lalu, atau sehari setelah tiba kembali di Jakarta, dokter Sherly langsung balik ke London. Karirnya sebagai dokter psokolog di kota tersebut mengharuskannya untuk segera kembali. Ia tidak hanya sendiri, bersama dengan 5 dokter seprofesi lainnya, ia membangun klinik bersama di pusat kota London itu sejak 8 tahun yang lalu. Aktivitasnya yang padat cukup membantunya melewati hari-hari sepi sejak berpisah dari ayah Arya belasan tahun silam.
Kita kembali lagi ke Arya. Sesaat setelah ia menutup teleponnya. Arya langsung menghabiskan tegukan teh terakhir yang masih tersisa di cangkir putihnya. Hari ini ia ada janji khusus untuk bertemu dengan seorang pengusaha yang akan melakukan kontrak pembelian peralatan property rumah padanya. Pak Deni sekretaris kepercayaann Arya, baru saja mengingatkan bosnya itu tentang jadwal pertemuan di salah satu café siang ini.
[Ok, silahkan pak Deni booking beberapa meja di café tersebut. Sekitar pukul 10 pagi ini aku sudah akan berada di sana]
Perintah Arya dari balik telepon.
[Baik, pak] Jawab pak Deni sambil menutup telepon genggamnya.
Nampak Arya segera bergegas mengenakan pakaian resmi yang telah tergantung rapi di lemari gantung. Sebagai seorang Chief Exeecutive Officer (CEO) di perusahaan milik keluarganya, segala fasilitas telah tersedia untuknya. Saat tiba di lantai dasar apartemen, nampak pak Maman sang sopir setia telah menanti dan membukakan pintu mobil untuk sang majikan muda.
“Saya ada janji makan siang dengan seorang klien di cafe. Kita akan ke sana pak.”
Terdengar Arya memberikan instruksi kepada pak Maman saat mobilnya bergerak keluar dari halaman apartemen.
“Kita akan ke Café itu nak Arya?” Tanya pak Maman Balik, ada sedikit keraguan di sana.
“Iya, kita akan ke sana.” Jawab Arya sambil tersenyum dan mencoba meyakinkan pak Maman.
“Baik, nak Arya! Jawab Pak Maman. Sepertinya masih ada sedikit trauma atas kejadian 3 tahun lalu yang menimpa sang majikan saat mobil yang dikemudikannya putar balik ke café itu.
Tiga puluh menit setelah itu, nampaklah sebuah baliho besar terpampang di sisi kiri jalan kompleks pertokoan bertuliskan Café Arya DIfa. Yah, saat Arya balik dari Surabaya ia langsung mengubah nama café yang menjadi tempat pertemuan pertamanya dengan Difa. Hal tersebut mudah saja ia lakukann karena ternyata café tersebut adalah miliknya sendiri.
(Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi!
Terima kasih pak Dede, Salam Literasi!
Cerpen nan keren bu. Izin follow bu
Terima kasih bu Syafrineri, dengan senang hati bu.