Dunia Begitu Cepat Berubah, Guru Harus Bagaimana? (tantangan #24)
Dunia saat ini tengah berada pada masa perubahan yang begitu cepat dan massal. Perubahan terjadi dalam semua aspek kehidupan. Tampaknya perubahan akan terus terjadi secara lebih masif. Informasi akan lebih mudah diperoleh dan kemajuan teknologi akan lebih cepat terjadi, yang kemudian bisa mengakibatkan perubahan budaya. Sementara itu, tuntutan akan kebutuhan hidup semakin kuat. Kondisi ini berpotensi menghasilkan masyarakat yang gagap dan gugup menghadapi perubahan. Masyarakat yang didera ketakutan, stres berkepanjangan, dan tidak bisa menikmati hidup.
Nah, sebagai sebuah lembaga yang mempunyai tanggung jawab untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan secara lebih baik, sekolah sudah seharusnya melakukan usaha yang terstruktur dengan visi yang jelas. Visi yang dibangun haruslah sesuai dengan tuntutan masa depan. Ini sangat penting, pendidikan harus visioner. Pendidikan yang visioner berarti menyiapkan anak untuk hidup dan berkembang di masa depan, dengan membekali anak keterampilan belajar sepanjang hayat dengan tetap berpijak pada kodrat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus selalu terhubung dengan orang lain.
Manusia sukses di masa depan bukanlah yang paling banyak hafalannya. Yang dituntut adalah kemampuan beradaptasi, berpikir positif dan kreatif, manajemen diri, kemampuan belajar (how to learn), bekerjasama, dan menentukan pilihan. Semua kemampuan tadi tidak akan datang begitu saja. Perlu usaha sungguh-sungguh dan terstruktur. Artinya, sekolah harus mampu membekali anak dengan kemampuan-kemampuan tersebut.
Di era revolusi teknologi informasi seperti saat ini, berbagai informasi begitu mudah diperoleh. Bukan saatnya lagi sekolah menjejalkan berbagai informasi. Alangkah lebih baik kalau sekolah mengajarkan anak bagaimana menyaring dan memilih informasi agar tidak tersesat.
Ketika semua kemudahan ―sebagai ekses kemajuan teknologi― tidak disertai kesadaran bahwa ada sisi lain yang siap menggerus kemampuan potensial manusia, maka sebenarnya kita sedang menggali kuburan untuk diri sendiri.
Katanya, manusia baru menggunakan sekitar 10% kapasitas kemampuan otak. Itu dulu, belasan dan puluhan tahun yang lalu, masa ketika manusia belum dimanjakan dengan dunia digital. Saat di mana segala informasi masih mengandalkan otak sebagai tempat penyimpanan utama. Saat dimana otak sangat diandalkan untuk merimajinasi dan mengkreasi hal-hal baru.
Sekarang, kita lebih sangat tergantung pada koneksi internet, baik untuk mengakses informasi, menyimpan data, atau pun mencari ide (baca: lihat ide yang sudah ada sebelumnya). Jelas sudah, otak semakin kita kurangi bebannya. Maksudnya kapasitas otak yang kita pakai semakin berkurang. Celakanya, otak bukan barang buatan manusia yang kalau sering dipakai akan semakin aus atau usang. Otak semakin sering dipakai ia akan semakin kuat dan cemerlang. Sama dengan otot.
Kita pun semakin terlena dan kian manja. Sedikit-sedikit googling. Banyak solusi di sana, kenapa harus capek-capek mikir? Tanpa disadari, cara bertindak seperti ini membuat kita menumpulkan kemampuan (potensi) berpikir kreatif yang kita punya. Ketika menulis ini saya juga sadar, bahwa dunia virtual juga membuat orang terpacu untuk berpikir kreatif.
Apakah berpikir kreatif itu? Berani keluar dari kebiasaan atau cara berpikir yang kita miliki selama ini, itulah kemampuan berpikir kreatif. Intinya adalah keberanian berpikir bebas dan mengambil risiko. Sama sekali bukan masalah tentang mainstream atau anti mainstream.
Pada masa mendatang, tingkat stres kemungkinan juga akan lebih tinggi. Di sinilah perlu kemampuan untuk keluar dari rasa penat. Menikmati hiburan secara lebih pasif bukanlah jalan keluar yang terbaik. Anak perlu dibiasakan kegiatan-kegiatan kreatif untuk menikmati hidup. Daya kreatif harus dikembangkan di ruang-ruang kelas, di semua sekolah. Sekolah semestinya menjadi lahan subur tumbuhnya ide-ide kreatif. Bila sudah demikian, sekolah merupakan tempat yang dipenuhi dengan kegairahan dan selalu bergerak dinamis.
Sudah bukan masanya lagi sekolah menjadi sumber stres bagi anak, orangtua, dan guru. Sekolah adalah tempat yang menyenangkan, tempat menghidupkan hati dan pikiran. Sekali lagi ini perlu usaha serius. Bisa jadi usaha tersebut kontradiktif atau revolusioner karena bertentangan dengan arus, tidak sesuai dengan paradigma berpikir sebagian besar masyarakat, bahkan para guru sekalipun.
Pada tataran praktik, perlu adanya perubahan. Proses pembelajaran yang teoritis dan kurang berwawasan lingkungan (kontekstual) pada akhirnya menghasilkan mutu sumber daya manusia yang rendah. Jika keberhasilan belajar semata didasarkan pada nilai, ternyata banyak lulusan dari sekolah terbaik yang terpuruk di dunia kerja.
Ini lebih banyak terjadi karena tidak ada kemampuan menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk memcahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Mengapa sampai terjadi hal seperti ini? Sebagian besar (mungkin hampir semua) sekolah lebih mengedepankan hafalan dan mementingkan hasil. Kemampuan berpikir kreatif dan analitis, memecahkan masalah dengan beragam cara, membangun kerjasama dan kesadaran sosial, komunikasi positif, mengambil keputusan, dan kepemimpinan tidak menjadi bagian penting program pembelajaran. Kondisi ini diperparah dengan praktek pembelajaran yang tidak ramah.
Muara dari semua hal di atas adalah belajar diibaratkan mengisi kertas putih atau mengisi wadah yang kosong. Belajar menjadi aktivitas pasif. Anak hanya menerima dan menerima. Tentu saja ini mengingkari sisi kemanusiaan anak, yang seharusnya mendapat kesempatan menjadi aktif dan berinteraksi secara intensif. Apalagi kalau bersifat dogmatis, makna belajar akan benar-benar hilang.
Dalam era perubahan secara global di semua aspek kehidupan, ternyata bukan kemampuan menghafal yang memegang kendali. Keterampilan berinteraksi dengan orang lain, negosiasi, mengambil keputusan, fleksibilitas, berpikir dan bertindak kreatif, serta kemampuan mengembangkan diri merupakan kunci sukses.
Semua itu hanya akan didapat bila belajar dibangun dengan proses yang tepat. Pengetahuan bukan sesuatu yang ditransfer, tapi dibangun. Belajar terjadi ketika ada kegiatan yang menambah atau meningkatkan keterampilan belajar (learn how to learn).
Pikiran yang positif adalah modal utama. Dr. John Langrehr mempunyai formula untuk berpikir positif dengan akronim FIRST. F adalah fantasi. Anak kecil umumnya lebih kuat daya fantasinya dibandingkan dengan orang dewasa. Kenapa? Salah satunya karena orang dewasa sudah terkontaminasi oleh pendidikan formal yang kurang menghargai fantasi.
Selanjutnya adalah I: inkubasi. Orang yang kreatif itu tidak buru-buru. Ia akan membiarkan ide-idenya mengendap untuk beberapa waktu, sambil memikirkan solusi kreatif lainnya yang bisa jadi lebih baik. Kalau Anda terbiasa menggunakan mind mapping, sangat mudah memahami bahwa satu ide akan memantik ide-ide lainnya.
R adalah risiko. Bisa jadi ide kreatif akan mengalami kegagalan atau tidak diterima orang lain. Orang yang kreatif harus berani mengambil risiko. Sesuatu yang hebat tidak tercipta begitu saja, ia akan menempuh masa kegagalan dan perbaikan. Dan yang pasti sesuatu tidak akan pernah menjadi kenyataan kalau tidak pernah dibuat, baik itu benda atau ide pemikiran.
S, sensitivitas. Seorang pemikir kreatif sering mengamati benda, baik yang dibuat manusia atau yang alami. Ia selalu mengajukan pertanyaan kenapa bentuk, bahan, desaainnya seperti itu. Mengapa susunan huruf di keyborad seperti itu? Kenapa tulisan hurufnya tidak di tengah, tapi di sisi kiri atas? Mengapa tombol hurufnya berentuk persegi yang sudutnya tidak tajam? Biasakan menganalisa desain kreatif yang ada di sekitar kita.
Terakhir T: titillate (bergairah). Ide kreatif akan mengalir saat kita dalam kondisi penuh semangat. Otak memerlukan suasana yang rileks agar dapat berpikir kreatif secara efektif. Dalam keadaan rileks, gelombang yang mengalir dalam otak adalah gelombang theta, dan otak menghasilkan endorfin (molekul bahagia). Dua faktor ini diperlukan saat kita konsentrasi tinggi untuk menghasilkan pemikiran kreatif.
Kelima hal tersebut dibangun bukan hanya untuk kita sendiri. Ketika kita bekerja sebagai sebuah tim atau kita sedang melatihkan pemikiran kreatif kepada anak-anak kita. Maka, jadikan kelimanya sebagai pondasi kokoh bagi berdirinya bangunan kreatif.
IG @suhudrois
#TantanganGurusiana
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Betulbetul mantap
Mantaff..
FIRST,