Menimba Ilmu
Pertanyaan yang lazim diterima anak usia sekolah ketika bertemu orang baru atau sudah lama tidak bertemu adalah “Sekolah di mana? Kelas berapa? Senang tidak di sekolah?” Jarang sekali ada yang ditanya “Siapa gurumu? Bagaimana gurumu?”
Kenapa yang ditanyakan adalah sekolahnya, bukan gurunya? Dikotomi sekolah unggulan-bukan unggulan, favorit-bukan favorit, dan bergengsi-tidak bergengsi membentuk paradigma bahwa di sekolah yang yang “unggul” pasti guru-gurunya juga mumpuni. Padahal belum tentu demikian. Dengan demikian, tak perlu mencari tahu siapa dan bagaimana gurunya, cukup tanyakan di mana sekolah.
Banyak guru mumpuni yang mengajar di sekolah-sekolah pinggiran. Wawasan keilmuan, pendekatan pembelajaran, dan pemahaman mereka terhadap tumbuh kembang murid tidak dangkal. Namun, ya itu tadi, masyarakat terlanjur terpukau dengan gemerlap sekolah bergengsi. Banyak yang lupa bahwa dahulu, orang-orang tua mengirimkan anak-anaknya untuk menimba ilmu kepada orang-orang yang kompeten. Murid menimba ilmu untuk memuaskan dahaga belajarnya. Kemudian, dia mencari sumur pengetahuan yang lain, belajar kepada guru yang baru. Gurulah yang selalu dicari.
Mengapa banyak sumur yang ditimba? Ilmu pengetahuan tidak terbatas, sedangkan kemampuan manusia terbatas. Setiap orang mempunyai ciri dan kompetensi yang unik, tidak akan pernah persis sama dengan orang lainnya.
Perjalanan kehidupan tak semakin mudah. Tantangannya kian besar. Anak perlu membekali dirinya dengan “senjata” yang mampu membuat dirinya bertahan dan berkembang di masa depan.
Belum tentu seorang guru mampu memberikan “senjata” tersebut”. Bahkan, sebenarnya anaklah yang menemukan atau membuat “senjata” yang paling sesuai dengan dirinya.
Peran guru adalah memberikan keterampilan dasar agar anak mampu membuat atau menemukan “senjatanya”. Keterampilan dasar itu adalah membaca (reading), menulis (writing), berhitung (arithmetic), dan bernalar (reasoning).
Keempat hal tersebut adalah alat, bukan tujuan. Pisau perlu diasah agar tajam. Membaca, menulis, berhitung, dan bernalar perlu terus dilatih. Gurulah yang berperan menyediakan kesempatan kepada murid-muridnya untuk mempertajamnya. Artinya, mampu membaca, menulis, berhitung, dan bernalar saja belum cukup.
Membaca apa? Membaca untuk apa? Bagaimana setelah membaca? Pertanyaan yang sama untuk menulis, berhitung, dan bernalar.
Jadi, belajar itu dinamis, selalu maju. Belajar tak akan habis. Semakin digali, air dalam sumur semakin banyak.
Peran guru sangat strategis. Orang tua sepatutnya berpikir matang dalam memilih sekolah untuk anaknya. Jangan karena gengsi dan glamour, tapi apa yang bisa guru-guru lakukan untuk anaknya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren tulisannya pak, sangat menginspirasi kami yang juga memiliki visi sekolah peradaban masa depan Ijin contek ilmunya banyak2 yaa pak
Makasih pak inspirasinya tentang sekolah
Tulisan yang membuka pemikiran. Bagaiamana selaku guru untuk terus menjadi sumur yg terus mengalirkan limpahan pengetahuan bagi anak didiknya. Salam sukses.