CALON SUAMI ADIKKU
#Tantangangurusiana(190)
Aku adalah anak pancingan, demikian orang mengatakan.
Sejak bayi aku ada di panti asuhan. Tak tahu siapa orangtuaku. Hingga umur satu setengah tahun aku ada yang menginginkan. Diangkat sebagai anak pancingan karena mamaku belum juga hamil di usia tujuh tahun pernikahannya.
Mamaku adalah wanita terhebat untukku. Dia cantik, lembut, dan tak pernah marah padaku. Setiap hari selalu tak lupa menciumku. Seolah aku adalah aroma kehidupannya.
"Nuning sayang...," begitu katanya setiap meraihku dalam pangkuannya. Di sana aku dipeluknya berlama-lama. Aku sangat menyukai perilaku itu. Bahkan aku mampu menghafal irama detak jantung mamaku. Detak jantung yang laksana sebuah orkestra cinta. Aku bangga pernah menjadi bagian dari kecintaannya.
Papaku juga mencintaiku. Tapi tidak seluas cinta mama. Aku juga terbiasa bermanja padanya. Itu saat belum kuketahui jati diriku yang sebenarnya.
Satu-satunya orang yang sangat membenciku adalah nenek. Setiap hari secara sembunyi-sembunyi selalu mencari cara bagaimana bisa menyakitiku. Mencubitku di mana saja dia mau. Tentu saja keras tangisku karena sakit perihnya cubitan. Dan aku selalu ketakutan setiap bertemu dengannya.
Hingga akhirnya ketidaksukaan nenekku terjawab, saat aku memecahkan guci keramik di ruang tamu.
"Dasar anak panti. Kau tidak tahu berapa harga guci dari China itu ya. Nyawamu gak sepadan, tahu!"
Aku ketakutan, saat nenek melayangkan tangannya padaku. Aku memejamkan mata, hingga kudengar teriakan itu.
"Mama!" Mama telah berdiri di depanku menghalangi gerakan tangan yang sebentar lagi mendarat di mukaku. Saat itu mama sudah mulai hamil. Wanita mulia itu berdiri di antara kami laksana malaikat. Aku berlari pada pelukannya.
"Anak panti itu apa, Ma?" tapi mamaku tidak menjawab. Dia memelukku sambil menangis. Dan aku tidak tega mencari tahu. Tapi sejak saat itu nenek selalu memanggilku dengan sebutan anak Panti. Tentu saja itu diucapkan dengan lirih dan saat mama tidak mampu mendengarnya.
Hingga aku semakin besar dan paham dengan arti panggilan nenek kepadaku. Tetapi aku hanya mendapatkan tangis yang keras saat aku bertanya tentang jati diriku yang sebenarnya. Saat itu aku sudah kelas lima EsDe.
"Tidak cukupkah cinta mama bagimu. Tidak bisakah kau menganggapku sebagai wanita yang melahirkanmu, meski itu bukan yang sebenarnya?" pertanyaan itu beruntun terucap dengan nada yang mengiris sembilu.
Hingga adikku lahir dan aku merasa semua terampas dariku. Sebenarnya itu hanya perasaanku saja. Mama tak pernah berkurang cintanya padaku. Demikian pula nenek yang tak berkurang memanggilku dengan sebutan gadis panti. Hal yang merasuk dalam otakku dan mengubahku sebagai gadis pendiam dan pelamun.
"Sayang..., cium dong adiknya," ujar Mama saat mengunjungi kamarku. Aku melalukannya untuk membuat Mama bahagia. Tetapi yang sebenarnya aku menyukai adikku. Tapi nenek membuatnya tidak demikian.
Sejak adikku masih kecil nenek selalu berupaya membuat adikku membenciku. Aku dapat merasakan itu. Hingga adikku benar-benar jauh dari hatiku. Adikku juga membenciku dan memanggilku sama seperti nenek melakukannya.
Kebahagiaanku adalah saat aku menempuh pendidikan tinggi. Bisa jauh dari nenek dan adikku. Tetapi aku selalu menangis pilu jika rindu pada mama. Untung hadir seorang pemuda kakak kelas, Seno. Dia empat semester di atasku. Seno menjadi pencerah hidupku.
Tetapi takdir masih terus mengujiku. Saat itu Seno juga sudah menjadi dokter di rumah sakit swasta dan aku sudah mulai koas.
"Ning, aku dijodohkan Mama dengan anak sahabat ibunya," ujarnya lirih tapi mampu membuatku terbeliak. Aku tak mampu berkata-kata sedang airmata mulai deras menetes. Seno sibuk menenangkanku tapi aku sudah tak mampu berpikir.
Hingga sejurus kudengar dia berkata.
"Ning, bersediakah kau menikah denganku sebagai istri kedua?"
Aku tercengang.
"Bagaimana mungkin kau melakukan itu padaku? Apa karena aku gadis panti?"
Seno memang telah paham asal-usulku. Bagiku cinta adalah tentang sebuah kejujuran. Sebab itu aku bercerita apa adanya.
"Gadis itu telah tahu aku telah memiliki kekasih. Dan aku akan menjadikan itu sebagai syaratnya. Menikahinya juga dirimu. Tapi apakah engkau bersedia? Aku sangat mencintaimu," berkata begitu Seno memelukku erat. Aku bahkan merasa wajahku basah oleh airmatanya.
Keadaan yang kacau membuatku ingin bertemu Mama. Aku ingin menangis di pelukannya. Hanya dia yang manpu membuatku lega.
"Hei..., anak Mama. Tumben pulang tidak bilang-bilang," sambut mamaku mesra. Saat itu kulihat ada kesibukan di rumahku. Seperti akan ada tamu.
"Ada apa ini, Ma?" tanyaku celingukan. Mamaku tersenyum manis.
"Kau dilangkahi adikmu. Tapi ini perjodohan dari nenek. Dan Asti menyetujuinya,"
"Bukannya Asti masih semester empat, Ma?"
"Ini hanya perkenalan antar keluarga. Kalau Asti dan Eno setuju maka segera bertunangan. Hanya penjajagakan. Nenekmu sangat ingin Asti menjadi dokter. Tapi sayang dia tak sepandai dirimu. Maka menjadi istri dojter juga tak apa. Begitu kata Nenek,"
Saat mama menjelaskan semuanya tetiba ada perasaan tak enak yang mengepungku.
"Mana pacarmu. Kenalkan pada mama. Minta untuk segera melamarmu," ujar Mama membuatku tersadar. Aku hanya tersenyum kecil. Saat itu nenek melewati kami. Tatapannya nanar. Lirih dia menyeretku di pojokan dapur saat aku mencium tangannya.
"Awas kalau kau berani menggoda calon suami Asti!" tekannya dengan mata melotot. Aku mencoba tersenyum untuk menenangkan hatinya. Memang layak nenek ketakutan. Aku memang lebih segalanya dibanding dengan Esti.
"Jangan khawatir, aku tidak akan muncul sampai selesai acara, nek,"
"Itu lebih baik. Kehadiranmu tidak dibutuhkan. Kau bukan siapa-siapa. Kau hanya gadis pancingan. Kau hanya gadis panti," desis nenekku mengingatkan statusku. Satu hal yang sangat menyakitkanku.
Akhirnya malam itu aku melakukan perintah nenek. Tentu saja dengan membohongi mama.
"Badan Naning demam. Biar di kamar saja, ya?"
Mendengarku demam mama mendadak menjadi sibuk.
"Mamaaa, aku ini dokter. Tahu bagaimana menyembuhkan diri sendiri. Jadi gak perlu repot," jawabku sambil bergelanyut manja.
"Oh iya lupa. Sepertinya mama semakin pelupa...hahaha...," kami tertawa bersama.
Malam itu aku benar-benar mengurung diri. Aku tak ingin membuat nenek ketakutan saat calon suami adikku melihat perbedaan diantara kami. Tetapi dugaanku salah. Mama menyusulku.
"Ning, dokter Eno mengenalmu. Dia kakak kelasmu,"
"Bagaimana mungkin. Aku tak memiliki teman bernama Eno. Lagipula darimana dia tahu aku?"
"Dari foto keluarga di ruang tamu. Nama lengkapnya Senoaji. Tetapi orangtuanya lebih suka memanggil dengan Eno. Cepat ke luar, ya?" mamaku terus berkata-kata tanpa mampu nelihat perubahan wajahku.
Duniaku seolah berputar-putar. Makin lama makin kencang dan melemparku pada dunia lain. Kali ini aku benar-benar sakit. Tak mungkin aku menyetujui usulan Seno menjadikanku istri kedua. Bagaimana mamaku mampu menghadapinya?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen konflik cerpennya, Bunda. Sukses selalu. Salam literasi
Terimakasih...
Semakin lezaaat... Bunda... Keren.. Barokalloh...
Terimajasih mbakkk...
Semangat berliterasi, semoga sukses selalu Bu Sulis.
Terimakasih yaa...
baguuss.. kereeen. Cerita dan diksimya mengalir. Sukses selalu
Terimakasih mbak...
ceritanya mantul
Terimakasih pakk
salam kenal sukses selalu bu
Terimakasih...
Hebat bu...
Terimakaasih yaa...