CINTA AYAHKU
#Tantamgangurusiana(154).
Pagi ini aku harus menemui ayahku. Untuk menanyakan kabar berita yang kudengar bahwa ayahku memiliki hubungan intim dengan seorang wanita lain.
"Kau kata siapa?" tanya kakakku saat aku sampaikan padanya kabar itu. Kakakku tinggal di kota Bandung. Sementara aku tinggal sekota dengan rumah yang berbeda.
"Bik Inah menemukan sebotol parfum dalam training olahraga ayah, beserta nama seorang wanita," jawabku singkat.
"Jangan terburu berprasangka buruk,"
"Bukannya di masa kita kecil ayah juga pernah selingkuh?" tanyaku khawatir. Kakakku tidak menjawab.
Aku tidak tahu apakah ibuku mengetahuinya atau tidak. Aku tahu ayah dan ibuku tidak harmonis sejak dahulu kala. Tapi meski begitu aku tidak setuju dengan cara yang dipilih oleh ayahku.
"Kalau sekarang Ayah mengulangi lagi, bagaimana kak? Mengapa Ayah setega itu, ya Kak? " tanyaku setengah terisak.
"Hust! Jangan menuduh. Caritahu dulu kebenarannya,"
"Tapi sudah ada yang menyampaikan padaku jika telah bertemu Ayah makan siang dengan wanita lain,"
"Hanya makan siang. Siapapun juga bisa melakukannya. Bukan suatu hal yang luar biasa. Hal yang lain, apa kau juga mendapatkan bukti?"
"Tidak!"
"Jadi jangan berpikir buruk dulu. Caritahu dulu. Bertanyalah lebih dulu," itu pesan dari kakakku yang membuatku pagi-pagi sekali sudah sampai di kediaman orangtuaku.
Saat aku sampai di rumah orangtuaku, ayah sudah berangkat kerja. Ayah memang selalu berangkat pagi-pagi. Sementara kulihat Ibu masih sibuk di rumah. Padahal dia juga guru sama dengan ayahku. Mereka memang berangkat sendiri-sendiri.
Lebih bebas, begitu kata ibu saat kutanya mengapa tidak berangkat bersama ayah. Bebas dalam pengertian tidak harus menunggu dijemput. Ibuku memang paling tidak suka pekerjaan menunggu.
"Tumben kau cari ayahmu. Biasanya juga hanya salim doang. Ada perlu ya?"
"Tidak ada perlu, hanya karena ayah udah berangkat jadi aku nanyain. Ok bu, aku berangkat dulu," jawabku ringan menuju pintu ke luar.
"Meta?"
Sejenak aku berbalik. Menahan napas saat ibu menelitiku lama.
"Hati-hati di jalan," ujarnya sambil mendekat dan mencium pipiku.
Ups!
Aku lupa cium tangan. Ibuku mengingatkanku dengan caranya. Artinya, ibu mampu melihatku yang tidak seperti biasanya. Dengan kikuk kuraih tangannya dan segera berlalu dari hadapannya.
Maafkan aku, Bu, bisikku lirih.
Sepanjang perjalanan menuju kantor aku merasa tidak tenang. Benarkah Ayahku selingkuh lagi? Mengapa dia melakukannya? Mungkinkah dia melakukannya pada saat tahun depan sudah purna tugas? Siapakah wanita itu? Pertanyaan itu silih berganti berdengung dalam pikiranku.
"Tumben mendadak mengajak bertemu. Tidak ada hal buruk dalam rumah tanggamu, kan?" tanya ayah saat menemuiku di kafe tak jauh dari tempatnya mengajar. Setelah tidak mampu mendapatkannya, aku memang meninggalkan pesan untuk bertemu.
Aku menatap wajah ayahku sepenuh mata. Ayah memang selalu ceria dan santai, berbeda dengan ibuku yang serius dan sedikit teratur. Tanpa kusadari aku meneteskan airmata. Prihatin dengan keadaan orangtua.
"Hai hai, mengapa darling ayah menangis?" ujar ayah sambil menjatuhkanku dalam peluknya. Di sana aku semakin menangis tertahan. Aku dapat merasa yang dirasakan ayahku dalam hubungannya dengan ibuku, hampa.
"Katakan apa yang ingin kau katakan. Jangan disimpan sendiri. Kau belum mampu untuk menahannya seorang diri," aku mengangguk lirih dalam pelukannya. Berusaha menata emosi.
"Ayah, aku dan kakak minta maaf jika sampai hari ini belum mampu menjadi kebahagiaan orangtua," kataku terbata. Tak urung airmataku kembali berebut ke luar. Sejenak ayahku mengubah ekspresi. Tak ada lagi senyum.
"Aku selalu berharap Ayah dan Ibu selalu berjalan di jalan Allah sesulit apapun perjuangannya...,"
"Aamiin..," bisik Ayahku. Sejenak tampak terpekur. Sepertinya dia menungguku menumpahkan seluruh sampah dalam hatiku.
"Jika aku bertanya, mungkin terasa tak layak. Tapi itu semua dorongan kecintaanku kepada ayah dan ibu?"
"Apa yang ingin kau ketahui, tanyakan saja. Itu hak mu sebagai anak. Ayah akan mencoba menjawab sebaik mungkin. Meski bukan berarti sejelas mungkin,"
Aku mencoba mencerna apa maksud dari kalimat Ayahku. Dan mengangguk sepakat.
"Aku tahu Ayah. Ada hal yang mungkin tetap tidak selayaknya aku ketahui,"
"Sebagai seorang Psikolog, pasti dapat kau dapat memahaminya. Sekarang Ayah siap menjawab,"
"Jangan salahkan Bi Inah jika laporan ke aku...,"
Aku menggantung kalimatku. Kulihat ekspresi ayah yang tidak menampakkan keterkejutan sama sekali.
"Dan aku juga mendapatkan laporan tentang pertemuan ayah dengan seorang wanita lain," aku menyelesaikan kalimat seolah menelan sekepal onak dan duri. Sakit dan perih di dalam hati. Juga di mata saat ayah menunduk dalam.
"Kau sudah semakin dewasa dan santun. Caramu bertanya tak menghakimi sama sekali,"
"Aku menyayangi Ayah," berkata demikian aku tak mampu untuk tidak kembali menangis. Aku memang lebih dekat kepada Ayah. Tapi bukan berarti aku jauh dengan Ibu.
"Ayah tahu itu. Rasa sayangmu itu yang membuat Ayah tidak ingin menghancurkan rumah masa kecilmu,"
Sejenak Ayah meneguk kopi yang mulai terasa dingin. Dan menerima makanan dari pesanan yang kami order. Kami menikmati tanpa semangat.
"Yang kau dengar dari Bi Inah dan laporan temanmu memang tidak salah," jawab Ayah tanpa basa-basi. Sejenak aku merasa bagai dikuliti. Perih tak berdaya.
"Ayah mencintai wanita itu?" pertanyaan itu ke luar dalam ketidakberdayaan.
Sejurus Ayah menatapku, dan mengangguk mantap. Aku menelan ludah yang seolah berubah menjadi air keras. Panas dan membakar.
"Tapi semua sudah berakhir. Dia tak ingin berada diantara aku dan Ibumu. Lebih-lebih tak ingin berada diantara aku dan anak-anakku. Dia hanya ingin melihatku merasa bahagia dengan apa yang saat ini sudah kumiliki,"
Aku tercenung. Sungguh wanita yang terhormat dengan pemikiran seperti itu.
"Apakah Ibu tahu?"
"Untuk apa? Kami berkenalan dengan cepat. Dekat dengan cepat, dan mengakhirinya dengan cepat pula. Ayah merasa tidak melakukan hal yang jauh kecuali hanya sekali makan bersama, dan mengakhiri kemudiannya,"
"Mengapa Ayah tak ingin memilikinya?"
Sejenak Ayah menatapku luruh.
"Karena Ayah tak mampu melihat bangunan yang kalian tempati roboh dan menimpah kalian. Ayah tak mampu melihat luka pada mata kalian,"
"Jika aku membolehkannya?"
"Benarkah ada seorang anak yang merelakan itu di saat Ibunya masih ada? Bahkan seburuk apapun Ibunya?"
Aku terdiam. Kutatap wajah Ayahku dengan penuh terimakasih. Tidak semua pasangan mendapat kemudahan untuk memahami pasangannya. Tapi jika itu sudah ditakdirkan, pasti ada kebaikan atas hubungan itu. Meski hanya sekadar sebuah tanggung jawab yang menjadi landasan untuk selalu bersama.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren selalu bunda... Ada pemisah antara suka dan tanggung jawab ,dan landasan tanggung jawab itu lebih kokoh...
Angkat jempol deh mbak! Kalimatnya indah
Hehehe...tq say...
Cerita yang bagus. Sukses selalu
Terimakasih...