Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
CINTA FRATERNAL

CINTA FRATERNAL

#Tantangangurusiana(152)

Teti memandang bingung. Leon di depannya.

Satu dua siswa tampak melintas di depan mereka. Sekolah telah usai. Biasanya Teti pulang bersama kelompoknya. Tapi tidak untuk kali ini.

"Mau pulang? Mau aku antar?" tawar Leon manis, menyadarkannya. Senyum lebar dengan wajah cerah. Mata yang hangat seolah menawarkan keindahan.

Teti resah. Di tempat parkir jauh di belakang sekolah, Diaz berjalan menuju motornya dengan perasaan senang. Siang setengah sore ini seorang gadis berkarakter bersedia diantarnya pulang. Ajakannya untuk mengantar pulang diterima, setelah sekian kali ditolak.

"Kok melamun? Kesambet loh...," tetiba seruan itu menyadarkannya.

"Eh.., ah.., kebetulan Diaz udah nawarin. Makasih ya?" jawab Teti sebaik mungkin. Ia tak ingin membuat Leon sakit hati atas penolakannya. Mengapa? Entahlah.

Sejenak tampak Leon merasa sedih. Tapi kemudian dia berkata ramah.

"Ok. Semoga ada lain kali," ujarnya sambil berlalu. Sebagian hati Teti ikut bersamanya.

"Melamun ya? Gak takut kesambet?" Teti terkejut dengan teguran yang sama. Entah berapa lama dia menatap bayang Leon hingga tak menyadari jika Diaz sudah tepat di depannya dan memperhatikannya.

Perlahan Teti duduk di belakang Diaz. Tangan berpegangan pada jok motor. Ada perasaan aneh saat dia sudah duduk di belakang Diaz. Semacam perasaan berdosa. Teti menjadi bingung dengan perasaannya sendiri. Tadi menerima ajakan Diaz dengan sukacita, tapi sekarang merasa sebaliknya.

"Jangan ngebut, ya?" pesan Teti sebelum motor melaju. Diaz menjawab dengan menunjukkan jempolnya. Teti tersenyum. Diaz memang sedikit lebih pendiam dari Leon.

Leon?

Teti tersentak lirih. Mengapa dia masih memikirkannya? Dari kaca spion Diaz melihat Teti yang melamun. Motor meluncur pelan menuju pintu gerbang sekolah. Saat berbelok pada tikungan ke luar dari gerbang sekolah, Diaz lirih melajukan motornya dan membunyikan klakson. Tampak Leon masih bergerombol dengan yang lain, dan melambaikan tangan membalas bunyi klakson Diaz. Teti melihat. Tetiba hatinya merasa sedikit resah.

"Apa kau menyukai keduanya?" tanya Isna saat Teti menceritakan perasaannya. Isna adalah sahabatnya sejak SMP. Meski sekarang keduanya berbeda kelas, tetapi tetap sering bersama pada jam-jam istirahat.

"Aku tidak tahu!"

"Kok bisa?"

"Menurutku keduanya adalah kepribadian yang saling melengkapi. Saat bersama Leon aku serasa bahagia. Dia pandai membuatku tertawa. Lucu!"

Lalu ingatan Teti tertuju pada pemuda jangkung hitam manis dengan tawa yang selalu ada. Mata leon yang jenaka dipadu hidung yang simetris membelah wajah. Hidung yang tinggi dan lancip indah. Teti sering termangu setiap melihat wajah itu.

"Tetapi, saat bersama Diaz aku merasa nyaman dan tenang. Dia itu dewasa dan dapat merabah sensitivitas perasaanku serta harus bersikap bagaimana. Keduanya tuh saling mempesona di hatiku. Bingung gak sih?"

"Enak ya Tet jadi orang cantik itu. Laki tinggal pilih. Kaya aku gini gak ada yang naksir...," gumam Isna.

"Cantik apaan. Kalau situasinya seperti ini, jadi bikin bingung,"

Isna meneliti wajah sahabatnya itu. Gorengan yang ada di depannya tak lagi menggoda. Ia terhanyut dalam permasalahan Teti.

"Perasaanmu condong pada siapa?"

Teti meluruskan tubuh, sebelum menjawabnya. Tembok kelas seakan menghimpitnya.

"Hatiku selalu berdebar setiap melihat wajah Leon. Dia keren sekali. Sedikit tampak cuek, tapi hangat. Tapi Diaz begitu tenang dan matang. Bersamanya aku merasa bagai seorang ratu. Dia tuh pandai sekali mengimbangi moodku. Apa ya istilahnya..."

"Kemistri?"

"Nah itu, Diaz pandai membangun kemistri!"

Terbayang pada benak Teti kedua wajah pemuda itu. Leon dengam ketampanan magisnya. Senyumnya membuatnya susah bernapas. Matanya mampu memacu gairah hidupnya.

Di sisi lain tampak pemuda tegap berkulit putih dengan mata ala Chinese. Sebagai seorang karateka tubuh Diaz tampak proporsional. Gerakannya tampak ringan dan penuh perlindungan. Diaz memperlakukan Teti laksana satu-satunya gadis di planet ini. Teti merasa dimanjakan dengan sangat.

"Keduanya memang keren. Aku tak mampu melihat kelurangannya. Kelebihannya saling melengkapi. Hanya heran mengapa dalam waktu bersamaan mereka sama-sama melakukan pendekatan padamu?" ujar Isna menyimpulkan perasaan Teti.

Teti membenarkan apa pendapat Isna itu. Diaz yang sekelas dengannya, dan Leon yang jurusan Bahasa. Tetapi Teti juga melihat bahwa Diaz dan Leon tampak akrab satu sama lain. Sering melihat keduanya ke kantin bersama dan bercakap-cakap dengan rukun. Saat keduanya bersanding, Teti sering berpikir mengapa keduanya tidak melebur menjadi satu sosok saja.

Dan harapan itu seolah sebuah kenyataan yang menyakitkan.

"Tet, Diaz dan Leon itu aslinya satu,"

"Maksudmu?"

"Mereka fraternal?"

"Fraternal? Apa itu, aku gak paham," jawab Teti bingung.

"Keduanya itu kembar!"

"Kembar bagaimana, orang gak ada miripnya kok. Satu sawo matang, satunya sipit putih,"

"Yaitu namanya kembar fraternal, kembar yang tidak identik!"

"Ha?" Teti kaget luar biasa. Sebagai anak Mipa dia mudah memahami tentang fakta fraternal.

"Darimana kamu tahu semuanya?"

"Gak sengaja ngertinya," jawab Isna sambil bercerita.

Malam itu Isna bersama kelompok kelasnya sedang mengerjakan tugas bersama. Setelah itu mereka makan bersama di sebuah mall.

"Bukannya itu Diaz dan Leon, ya. Rukun sekali ya. Di sekolah bersama, di luar juga. Jangan-jangan homo ya?" tanya Ruri seenaknya saat mereka melihat Leon dan Diaz pada tempat yang sama.

"Gila! Ngomong sembarangan kau. Mereka itu kembar!" jawab Bety sambil memoto keduanya, setelah itu mengirim pada salah satunya. Diaz melambai pada Bety.

"Kembar darimana. Dari Hongkong gitu, heloooo," lanjut Ruri dengan gaya yang membuat semuanya tertawa. Tiba-tiba Leon sudah berdiri di depan mereka.

"Ngomongin, ya?"

"Iya nih, kamu dibilang kembar dari Hongkong. Terangin tuh!"

"Hahaha...," Leon tertawa lebar sebagai biasa.

"Makanya gak usah diberitahu," jawab Leon santai sambil berlalu.

"Setelah itu Bety bercerita tentang keduanya. Mereka kan teman se SMP. Semula yang di sini hanya Leon. Tapi di injury time, Diaz ngikut ke sekolah ini...,"

Teti tercenung dengan keterangan itu. Kepalanya berputar dan dadanya serasa sesak.

"Harapan mereka adalah satu menjadi nyata," desis Teti lirih.

"Maksudmu?"

"Aku pernah berpikir seandainya mereka itu satu orang dengan kepribadian dua orang...," Teti menunduk sedih.

"Tapi rasa adalah rasa, Tet. Cinta adalah cinta...,"

"Sayangnya aku gak bisa berpikir seperti itu. Bagaimana aku harus memilih salah satunya di saat keduanya setiap hari berjumpa dalam rumah yang sama?"

Isna memandang luruh. Sekuat tenaga Teti berusaha tegar.

"Tapi kita masih kelas X, kan. Masih panjang jalan terbentang. Aku akan melupakan keduanya. Kalau memang jodoh Allah akan mengatur jalannya," putus Teti tegas.

Perlahan dia meninggalkan Isna untuk menuju kelasnya. Di persimpangan Leon menyapanya, Teti hanya mengangguk. Di saat masuk kelas, tatapnya bertemu dengan Diaz. Teti melakukan hal yang sama, setelah itu Teti berusaha menenggelamkan dukanya dalam buku pelajaran hari itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow, cerpen yang keren Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

26 Jul
Balas

Terimakasih...

26 Jul

Keren ceritanya, bun. Sukses selalu...

27 Jul
Balas



search

New Post