#Tantangangurusiana(171)

Tito kembali terlambat datang ke sekolah. Ini yang ketiga kali dalam dua pekan. Sejenak aku menatapnya lurus. Mencoba mengajaknya tersenyum. Dia membalas dengan kikuk. Aku melewatinya tanpa bertanya apapun.

Selesai mencatat siswa yang terlambat, eksekusi kembali pada tim ketertiban. Aku tinggal merekap dan mengevaluasi tindakan yang sudah pernah diberikan. Dan sejauh mana siswa melakukan perubahan.

Melewati ruang guru aku menuju ruanganku, saat Bu Fika menghadangku. Bu Fika adalah wali kelas Tito.

"Saya tadi melihat Tito kembali terlambat, benar ya bu?"

Aku hanya mengangguk. Tito adalah pemecah rekor keterlambatan siswa di sekolah.

"Terus bagaimana, Bu? Siswa tampak tak memiliki itikat berubah?"

Aku menghela napas panjang.

"Kita buat santai aja, Bu. Biar dia tetap bersekolah di sini. Prosentase anak-anak semacam itu tidak banyak kan?"

"Tapi mampu menguras seluruh energi,"

"Makanya kita buat santai. Jangan sampai kondisi siswa semacam membuat kita capek. Kasihan siswa lain,"

Aku menepuk bahu Bu Fika dan kembali melanjutkan langkahku.

Tito bukan anak bodoh. Secara akademik dia berada pada kelompok sedang. Artinya dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Tetapi permasalahannya memang cukup kompleks. Melibatkan kesungguhan peran dari orangtua. 

Tapi jika orangtua divorce dan keduanya tak mampu menyelesaikan konflik internal diantara mereka? Anak-anak adalah korban yang tak terencana.  Aku hanya mampu membantu siswa memberi kesempatan untuk tetap menyelesaikan pendidikan, hingga pada jenjang yang ditempuhnya. Cepat atau lambat anak akan belajar untuk memperjuangkan hidupnya. Saat anak menyadari keadaannya, semoga bukti berpendidikan berguna untuknya.