Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web

DUKA DALAM BISU (7)

Sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya.

Aku membuat catatan kecil hasil diskusi dengan suami semalam. Termasuk laporan kasus dari Pak Il dan satu guru yang lain. Aku mengerjakan dalam diam, saat Pak Il kembali menemui.

“Bagaimana tentang Ilyasar, Bu? Sudah diketahui latar belakangnya?" tanyanya setelah menarik kursi dan duduk tepat di depanku. Wajahnya tampak lebih cerah dari pertama melaporkan tentang kasus Ilyasar. Di tangannya tampak tumpukan tugas siswa.

“Banyak lembar pertanyaan yang tidak dijawab, Pak. Jadi tidak ketemu rekam jejaknya," jawabku pelan.

Aku berharap Pak Il tidak bertanya lagi.

Aku tak ingin menyampaikan bahwa pengisian data yang tidak lengkap dapat menjadi petunjuk siswa sedang bermasalah. Bermasalah yang bagaimana perlu konfirmasi.

Aku lebih senang menyimpan temuan itu untuk diriku sendiri. Informasi yang masih separuh-paruh terkadang dipersepsi negatif oleh orang lain. Akan menjadi masalah baru sebelum layanan bantuan diberikan.

"Jika begitu, selanjutnya bagaimana?" Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Artinya, Pak Il tidak merasa curiga mengapa siswa tidak menjawab dengan lengkap.

"Aku telusuri dulu pada guru yang pernah mengajarnya. Sabar ya, Pak?"

Pak Il mengangguk. Aku melanjutkan pekerjaanku. Pak Il tak beranjak. Sudut mataku menangkap, justru tampak mengkoreksi tugas siswa. Kami bekerja bersama.

Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai jika pada saat pendalaman kasus ada orang di dekatku. Saat pendalaman kasus, aku lebih suka seorang diri dan berpikir sendiri.

/Beberapa anak bermasalah dapat diindikasi dari ketidakmampuannya memenuhi sebuah perintah./

Hal itu tampak pada Ilyasar. Foto profil yang seharusnya berukuran 3x4, tapi siswa memberi ukuran lebih besar, 4x6.

“Kelihatan ya, Bu, kalau anaknya orang kaya,” tanya Pak Il saat aku asyik memperhatikan foto Ilyasar sambil berpikir tentangnya. Aku menjawabnya dengan senyum. Apa yang ada di pikiran Pak Il, berbeda dengan yang kupikirkan.

Foto Ilyasar yang besar cukup membuatku mudah dalam melakukan penilaian atas dirinya. Sebuah wajah agak lonjong dengan dahi lebar dan rambut sedikit ikal. Hidungnya mancung dengan lekuk bibir yang manis. Mata tidak terlalu lebar. Sekilas fotonya tampak tidak berbeda dari foto siswa yang lain.

/Coba teliti ulang, barangkali ada yang berbeda, perintah hatiku./

Aku melakukannya. Aku memang harus mengawali dengan meneliti profil potonya, sebelum melangkah pada pencarian data selanjutnya.

Kembali aku melihat foto Ilyasar. Kulihat tarikan bibir yang tegang, mata yang tampak tidak bercahaya, serta sikap badan yang seolah tidak bersemangat.

Aku juga melihat pemasangan dasi yang tampak tidak rapi, krah baju yang tampak tertarik. Selain itu badge tampak hanya di lem, tidak dijahit. Kesanku sementara, tak ada orang yang membuatnya belajar tentang kerapian.

Semua temuan kurangkum menjadi satu catatan kecil.Terkadang dalam menangani suatu kasus, beberapa catatan kecil yang bergabung mampu membentuk satu informasi penting.

“Apa gambaran awal, Bu?” Mendadak kudengar pertanyaan itu. Aku tersentak dengan keasyikanku. Kusadari masih ada Pak Il di depanku.

“Seorang siswa yang cerdas, tapi tak mampu berkembang sesuai dengan kecerdasannya." Sahutku ragu-ragu.

“Wow, gambaran yang menarik, Bu. Bagaimana mungkin sebuah kecerdasan tak mampu mengatasi masalah yang terjadi padanya, ya?"

"Itu masih temuan awal, Pak. Tunggulah beberapa saat untuk informasi yang lain." Jawabku singkat.

Kulanjut penggalian data lainnya. Kali ini melihat jurnal kehadiran di kelas. Tidak ada masalah. Meski ada keterangan izin dan sakit, batasnya masih bisa ditoleransi. Juga ada ketidakhadiran tanpa keterangan.

“Untuk absensi secara umum bagaimana, Bu?" Pak Il masih mencoba mencaritahu hal lainnya.

“Masih kategori aman, Pak. Tapi bukan berarti nol. Pernah juga tidak masuk tanpa keterangan.”

Kututup buku pribadi Ilyasar. Kubuka galeri ponselku. Kucari foto anak perjakaku. Kemarin dia minta foto resmi di studio. Ada filenya di ponselku.

Saat foto anakku ketemu, kusejajarkan dengan foto Ilyasar. Anakku tampak rileks dan terkesan bersemangat. Keceriaan remaja jelas tercetak di wajahnya.

Kucoba membuka buku pribadi milik teman Ilyasar. Sekali lagi kubandingkan foto diantara keduanya. Tetap kudapatkan perbedaan yang mencolok.

Mengapa foto Ilyasar tampak menyimpan duka?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post