Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
GERIMIS API

GERIMIS API

#Tantangangurusiana(193)

Perasaan sedih dan airmata yang tak kunjung kering membuatku tertidur. Aku tak tahu berapa lama telah tertidur, terbangun karena belum menjalankan sholat Isya. Kulihat jam beker di meja belajarku. Waktu menunjuk pada angka 23.47 Wib. Rumah terasa senyap. Tak terdengar suara apapun.

Pelan aku duduk pada ujung pembaringan. Kepalaku terasa sedikit berat. Mungkin karena tangis yang begitu lama. Saat terduduk, wajahku mematul pada cermin rias di de depanku. Kutatap wajah yang tampak kuyuh dan sembab.

Pelan aku berdiri menuju daun pintu. Perlahan kuputar anak kunci agar tidak bersuara, dan tidak membangunkan yang lainnya.

"Clik!"

Perlahan aku melangkah pada daun pintu yang telah terbuka. Tepat di depanku ada sebuah sofa tempat Nenek biasa mengerjakan kruistiknya. Tapi bukan Nenek yang saat ini ada di sana, melainkan Mama. Kulihat Mama tertidur di sofa dengan posisi menghadap kamarku seolah sedang menungguku. Oh iya, bukannya mama semalam merayuku untuk membuka pintu. Mama menungguku membuka pintu hingga tertidur?

Sejenak hatiku merasa bersalah. Aku melangkah mendekati Mama yang tertidur dengan sebuah amplop di samping sofa. Sepertinya amplop itu terjatuh dari genggaman Mama dan tergeletak di samping sofa.

Sejenak kuambil amplop dengan isi yang mengintip. Aku penasaran untuk melihatnya, tapi tidak berani. Aku merasa bukan milikmu.

"Ayo kita jamaah, setelah itu kita bicara di kamarmu," ujar Mama yang tak kuketahui sejak kapan terbangun.

Aku mengangguk. Beriringan kami menuju mushollah. Mama membereskan amplop yang terjatuh dan meletakkannya di kamarku. Aku makin penasaran. Mengapa Mama meletakkannya di kamarku? Aku sholat dengan tanpa kekhusukan. Tapi tak berani beranjak meninggalkan Mama yang masih melanjutkan dengan beberapa rekaat sholat sunnah.

"Assalamualaikum, Ma," ujarku sambil mencium tangannya saat Mama menyelesaikan sholatnya. Mama mengangguk. Mencium keningku dan memelukku tanpa bicara.

"Maafkan Nuning jika semalam tak membuka pintu untuk Mama. Nuning dalam kondisi marah dan tak ingin Mama menjadi sasarannya,"

"Mama mengerti. Kita bicara di kamarmu saja, ya?"

Beriringan kami menuju kamarku. Mama menguncinya.

"Bukalah amplopnya. Itu titipan untukmu. Itu milikmu,"

Sejenak aku menatap ragu dengan rasa penasaran yang makin menggoda. Dadaku tetiba berdetak kencang. Seolah amplop itu ada hubungannya denganku.

"Kau ingin tahu jati dirimu, bukan? Ada di dalam amplop itu. Bukalah. Kau memang berhak untuk mengetahui semuanya. Tak perlu menjadikannya sebagai syarat. Satu hal saja yang perlu kau tahu, aku sangat menyayangimu,"

Aku mengernyitkan alis. Mengapa Mama mengubah panggilan untukku. Mengapa menyebut dirinya sebagai aku?

Dengan segenap rasa penasaran yang menggoda, aku meraih amplop lusuh di depanku. Begitu kubuka tampak beberapa lembar foto yang mulai tampak buram. Kuperhatikan satu persatu. Foto seorang wanita menggendong bayi dengan wajah ceria.

"Apakah ini foto ibuku dan aku?" tanyaku bergetar. Tanganku gemetar. Dadaku berdebar.

"Aku bukan anak Mama?"

"Benar, kau bukan anakku. Kau adalah adikku!"

"Adik? Bagaimana bisa?"

"Perhatikan satu foto yang lain. Foto seorang lelaki yang memeluk ibumu,"

Bergegas kuturuti perintahnya. Satu persatu lembaran foto aku balik. Hingga akhirnya kutemukan foto sebagai yang dimaksud Mama.

"Ini?" tanyaku sambil mengacungkan satu-satunya foto seorang lelaki memeluk ibu yang menggendong aku.

Aku memperhatikan dengan cermat dan terbeliak kaget. Seiring dengan itu telingaku menangkap bunyi genting yang disentuh gerimis. Gerimis yang rancak.

"Bukannya ini kakek?" tanyaku dengan napas memburu.

"Yang kau panggil kakek adalah ayahmu. Kau anak dari istri kedua ayah dengan seorang gadis panti. Pernikahan yang tak direstui Mama...,"

Aku terpaku pada kedua bibir Mama yang ternyata adalah kakak tiriku. Dari bibirnya Mama bercerita dengan halus. Sehalus suara gerimis yang jatuh membelah dini hari. Namun bagiku meski itu hanyalah rintik gerimis, tetapi mampu menusuk-nusuk hatiku. Perih. Laksana jarum peniti yang ujungnya dibakar api dan ditusukkan pada kulitku, saat Mama melakukan operasi pada bisul di kuku jempol kakiku. Aku merasa sakit tanpa mampu untuk menjerit!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya. Sukses selalu. Salam literasi

08 Sep
Balas

Terimakasih yaa...

09 Sep

Alur ceritanya menarik diikuti hingga selesai. Sukses Bu.

08 Sep
Balas

Terimakasih pak..

09 Sep

ooh, keren bunda. salam kenal ya, salam santun

08 Sep
Balas

Terimakasih buu...

09 Sep



search

New Post