Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
IBU TIRIKU

IBU TIRIKU

Tantangangurusiana(161)

Sejak awal ayah menunjukkan fotonya padaku, sejak itu pula aku mulai tidak menyukainya.

"Mengapa kau tidak suka padanya? Bertemu juga belum?"

"Aku tidak suka Ibu tiri. Aku tidak ingin Ayah menikah lagi!" berkata demikian aku langsung tidur dengan selimut kutarik sepenuh badan. Perlahan ayah mengelus tungkaiku.

"Baiklah kalau seperti itu maumu," jawabnya lirih dan bangkit pergi dari kamarku.

"Ayah!" aku memanggilnya keras. Aku tak mungkin tidur dengan beban seperti ini. Ibuku mengajari seperti itu. Aku harus menyayangi ayah, demikian pesannya sebelum tiada, saat aku kelas dua SMP.

Aku berlari padanya. Memeluknya erat.

"Aku sayang ayah, tapi aku tak ingin ibu tiri. Tidak bisa kah kita hidup berdua saja. Bukankah aku sudah bisa mengerjakan semua pekerjaan ibu?"

"Baiklah jika seperti itu keinginanmu. Asal kau bahagia," bisiknya lembut. Dan aku bahagia dengan janjinya.

Tetapi keputusan itu akan menjadi keputusan yang paling kusesali seumur hidup.

Ayahku jatuh sakit. Saat itu aku kelas tiga SMA, saat sibuk-sibuknya persiapan ujian dan mencari perguruan tinggi. Untung nenekku mau datang untuk sekadar menemani ayah saat aku sekolah. Tapi aku tak mampu merawat ayah sebagaimana ibu melakukannya.

Saat itu aku terlambat pulang sekolah. Pukul lima baru sampai rumah. Aku akan mengucap salam saat kudengar nenek menyebut namaku dalam pembicaraan dengan ayah.

"Kau belum mengenalkannya pada Hanum?"

"Aku sudah tunjukkan fotonya, dan Hanum menolaknya. Dia tak menginginkan hadirnya ibu tiri,"

Sejenak suasana hening.

"Aku yang akan menjelaskannya pada Hanum,"

"Jangan, Bu. Disisa usiaku yang kata dokter hanya tinggal empat bulan ini aku hanya ingin membuatnya bahagia!"

Deg!

Serasa sesak napasku mendengar ayah berkata begitu. Jantungku berdetak kencang. Airmata berlompatan ke luar. Sakit apakah ayahku?

"Mengapa kau tidak mau oprasi?"

"Sudah menyebar, Bu. Aku sudah capek,"

"Seandainya Nastiti bersamamu, kau pasti berjuang untuk sembuh,"

"Aku sudah tidak memikirkannya, Bu,"

"Kau juga berhak bahagia, Luk. Dulu ibu tak merestuimu menikahinya. Mengapa sekarang ganti anakmu yang melakukannya? Maafkan ibu, ya?" kudengar nenekku menangis. Sejenak suasanan menjadi hening.

Meski yang kudengar sepotong-sepotong, tapi aku dapat memahaminya. Maka kuputuskan mencari rumah Ibu Nastiti. Untung waktu itu ayah meninggalkan fotonya di meja belajarku dan kusimpan dalam tas.

"Assalamualaikum...," kataku setelah menemukan alamat rumah yang tertulis di balik foto.

"Waalaikum salam...," kudengar jawaban itu bersamaan dengan berdirinya sesosok wanita cantik di depanku. Tak kuasa aku langsung memeluknya meski aku belum mengenalnya.

"Maafkan aku, Tante. Menikahlah dengan ayahku. Maafkan aku yang pernah menolakmu,"

"Hanum, ya?" tanyanya sambil membelai rambutku dan menuntunku masuk.

Tersendat-sendat dan dengan suara yang timbul tenggelam aku bercerita tentang ayahku yang terkena getah bening dan hanya mampu bertahan empat bulan ke depan.

"Hanya Tante yang bisa menyuruh ayahku untuk operasi. Ayah sangat mencintai Tante...,"

Wanita itu menatapku lembut. Bibirnya tersungging sebuah senyum.

"Aku akan menyuruh ayahmu operasi. Dia tidak harus menikahiku untuk itu,"

"Tidak, Te. Aku mohon sudihlah kiranya menikah dengan ayahku. Hanya Tante yang dibutuhkan ayah saat ini. Ibuku hanya wanita pilihan nenek..," aku berlutut menyembah. Aku hanya ingin menyatukan cinta keduanya yang telah tertunda puluhan tahun. Oleh nenek dan olehku.

Pernikahan yang kuinginkan terjadi. Tapi ayahku tetap tidak mau operasi. Hari-harinya semakin lemah. Tapi aku melihat sorot matanya yang tampak sangat bahagia. Di depannya aku tetap berpura-pura tak tahu apa yang terjadi padanya. Demikian pula dengan ibu tiriku. Kami berdua bekerja keras untuk membahagiakannya.

Semakin hari ayahku semakin susah bernapas. Bahkan kesehariannya tidur dengan duduk, karena tidak bisa bernapas lancar. Aku terus menangis di kamarku. Ibu tiriku merawat ayahku dengan penuh kecintaan.

Hingga suatu malam ayahku harus dilarikan ke rumah sakit. Ayahku pingsan. Sepanjang perjalanan ibu tiriku memelukku erat. Aku tahu dia menahan diri tidak menangis, saat aku menangis keras dalam pelukannya. Esoknya ayahku sudah berpulang tanpa sempat siuman. Ayahku meninggal dakam waktu lebih panjangbdari yang diperkirakan.

Malam ini adalah malam keempat puluh hari selamatan untuk ayah. Aku bergelung tangis di kamarku, saat ibu tiriku datang.

"Jangan terus bersedih. Ikhlaskan apa yang terjadi. Saat ini hanya doa yang dibutuhkan ayahmu," kata ibu tiriku lirih.

"Hanum, aku rasa tugasku juga sudah selesai. Terimakasih telah memberiku kesempatan menjadi istri ayahmu. Terimakasih sekali. Kini saatnya bagiku pergi dari rumah ini,"

Aku tersentak mendengar ucapannya. Tapi tak tahu harus berkata apa. Dalam perasaanku memang belum sepenuhnya menerima sebagai pengganti ibuku, jika saja ayahku tidak sakit.

"Aku tetap menganggapmu sebagai anak. Karena ayahmu telah menitipkanmu padaku. Sesekali aku akan menjengukmu. Saat ini nenekmu yang akan mengurusmu," berkata demikian ibu tiriku memelukku erat. Airmatanya jatuh membasahi bahuku. Sebentar kemudian dia sudah menuju pintu, ke luar dari kamarku.

"Ibu..., apa aku tidak bisa menjadi anakmu yang sebenarnya?" teriakku memanggilnya ibu. Aku menubruknya dari belakang dan memegang erat langkah kakinya.

"Maafkan aku yang pernah menolakmu. Tapi sekarang aku membutuhkanmu. Anggaplah aku sebagai anakmu. Aku hanya seorang diri di dunia ini...,"

Aku menangis sejadinya. Tiba-tiba aku merasa telah menyayanginya. Dan tak ingin berpisah dengannya.

Ibuku tiriku mengangkatku berdiri. Dan memelukku erat-etat. Kami merasa saling membutuhkan dan saling menyayangi.

"Alhamdulillah...," kudengar suara nenek ketika masuk ke kamarku katena teriakanku, dan melihat kami saling berpelukan.

Tuhan telah mengatur segalanya. Juga membuka pintu hatiku untuk mebetima ibu tiriku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap, Bu.

07 Aug
Balas



search

New Post