JUJUR KEPENTHUNG
"Tantangangurusiana(158)
Kejujuran itu penting. Jangan dimanipulasi.
Aku baru saja ke luar dari kelas, saat kulihat Bu Sasa, tim tatib, menyongsongku.
"Bu ada kasus pencurian sejak kelas X," ujarnya langsung pada konten.
"Sekarang siswa kelas berapa?"
"Kelas XII,"
"Lama sekali. Apa dilakukan secara rutin?"
"Tidak. Kelas X tiga kali, kelas XI dua kali dan kelas XII baru sekali,"
"Yang diambil apa, Bu!"
"Uang saja!"
"Berarti laptop aman, ya. Padahal nominalnya lebih tinggi,"
Bu Sasa tidak menjawab. Dia merasa bahwa aku tidak sepenuhnya menyalahkan siswa.
"Bagaimana cara menemukan kasus ini, Bu?"
"Saat siswa kelas X dan XI kelas tidak memiliki CCTV. Baru kelas XII, kita memilikinya. Jadi tim tatib menemukannya sedang operasi mengambil uang teman, terus dikembangkan,"
"Dikembangkan bagaimana?"
"Ya, kita interograsi begitu. Terus siswa mengaku,"
"Yang kelas XII ada bukti dari CCTV. Yang kelas X dan XI bagaimaba caranya kok anak bisa mengaku?" selidikku.
"Yah kita interograsi. Kita tanyakan apakah kejadian saat kelas X dan XI juga dia pelakunya?"
Aku terdiam sebentar. Kasus pengambilan di sekolah, aku tidak sepakat jika itu disebut pencurian. Anak seusia sekolah tidak memiliki pemahaman tentang mencuri. Lagipula tidak dilakukan secara prifesional sebagaimana orang dewasa disebut pencuri. Pasti ada salah suai pada kasus pengambilan di sekolah.
"Bagaimana, Bu?" tanya Bu Sasa menyadarkanku.
"Apanya?"
"Siswa kembali pada orangtua ya?"
"Saya home visit dulu,"
"Tapi aturan tatib itu skor maksimal, Bu. Ketentuannya adalah kembali pada ortu,"
"Tidak perlu home visit. Berarti saya tidak perlu membuat berita acara kembali pada orangtua, ya. Kan sudah diputuskan!"
Sejenak Bu Sasa terdiam. Aku membiarkannya berpikir. Kalau hanya sekadar kembali pada orangtua memang mudah. Tapi itu bagiku sekolah laksana bersifat sebagai mesin cuci saja. Jika mesin cuci tak mampu membersihkannya, dikembalikan saja kepada pemiliknya. Apa iya sekolah hanya sesederhana itu?
"Jika sudah home visit, apa siswa kembali ke orangtua, Bu?
Aku terdiam sebentar sebelum menjawab.
"Apakah siswa melakukan tindak pengambilan dengan cara profesional, Bu? Menggunakan peralatan untuk menunjang aksinya?"
Bu Sasa menatapku luruh dan menggeleng pelan.
"Jika begitu berarti kelas tidak dalam keadaan terkunci. Dan tidak ada peringatan bagi siswa lain untuk menjaga harta berharganya? Jika kelas tidak dalam keadaan terkunci dan PBM outdoor, apakah hanya siswa pelaku yang dianggap bersalah?"
Mendapat pertanyaan beruntun dariku Bu Sasa semakin terdiam. Aku memang perlu menyampaikan hal yang sebenarnya. Siswa dianggap bersalah harus dilihat secara proporsional. Artinya, sekolah dan pihak-pihak yang mendapat kepercayaan dari sekolah jangan memiliki rasa enggan untuk melihat kekurangannya. Bukan hanya fokus pada kekurangan siswa yang masih berada pada masa pematangan jati diri.
"Jika aku menanyakan semua, karena aku merasa ada yang kurang pas, Bu. Kita itu berhadapan dengan siswa yang dinamika kepribadiannya masih butuh pengarahan dan pendampingan. Jika sekolah hanya mau beres gak mau repotnya, akan selalu ada siswa yang dikeluarkan untuk kasus-kasus sederhana. Kasihan tidak? Kalau sekolah tidak mampu menangani, apalagi orangtua. Mereka tidak memiliki ketrampilan sebagaimana guru, Bu,"
Bu Sasa semakin terdiam.
"Biar saya melakukan tindak home visit dahulu. Dan jangan merasa khawatir jika setelah home visit kasus justru menjadi mentah!"
Anak-anak salah suai di usia sekolah tak luput dari pengarahan dan pendampingan orangtua. Tapi seringkali anak harus menanggung seorang diri dari perbuatan salah yang tidak dipahaminya. Itu selalu menjadi bahan renunganku. Dulu aku selalu mengikuti apa kata sekolah. Tapi semakin lama aku semakin dapat melihat bahwa sekolah meniliki kontribusi untuk siswa berbuat salah.
Setelah kegiatan home visit aku melihat orangtua yang tidak memiliki ketrampilan dalam pendampingan terhadap anaknya. Keadaan ini sangat membuatku prihatin.
"Untuk apa uangnya?" tanyaku pada siswa pelaku.
"Buat jajan dan main game, Bu?"
"Jajan apa? Traktir teman?"
"Tidak, Bu. Jajan secukupnya?"
"Terus ngegame sampai jam berapa?"
"Jam 10 hingga 11, Bu?"
"Habis berapa?"
"Sepuluh ribu!"
"Dan uang sakumu tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan ngegame?"
Dia mengangguk.
"Saya hargai kejujuranmu mengakui perbuatan sejak kelas X,"
"Karena saya dijanjikan, Bu. Jika mengaku tidak akan dikeluarkan. Kalau akhirnya tetap ke luar, mending gak ngaku, Bu!"
Jleb!
Jadi begitu cara interograsinya? Aku semakin prihatin dengan keadaannya. Bagaimana tidak? Secara tidak langsung sekolah menanamkan karakter bahwa jujur itu tidak berbuah bagus. Karena kejujuran justru membuatnya menjadi ajur. Berbuat jujur malah dipenthung. Aku memang harus meluruskan hal-hal yang demikian. Meski akan ada pihak-pihak yang kurang berkenan. Yang penting fakta sebenarnya harus disampaikan untuk sekolah berani berbenah!
Siswa millineal semakin banyak tantangannya. Sekolah tidak hanya sebagai sumber belajar konsep kognitif!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Fenomena sekarang bun ..salam sukses
Terimakasih ya...
Rumit
Hehehe...iya ya bu...
Fenomenal bunda....kreeen
Terimakasih ya...