Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
KERANDA JURUSAN

KERANDA JURUSAN

#Tantangangurusiana(155)

Anak bukanlah fotocopy orangtua.

Aku memandang raut siswaku. Antara geram dan kasihan.

"Tolong saya, Bu. Masukkan saya pada jurusan MIPA," suaranya merintih seakan itu adalah suara terakhirnya.

"Mengapa kamu harus meminta. Hargailah diri dan renungkan kelalaianmu untuk tidak mengulangnya lagi di masa yang akan datang,"

"Tapi Bahasa bukan jurusan ideal saya, Bu,"

"Hem, begitu ya. Lalu apa menurutmu jurusan idealmu?" kutekan kata terakhir untuk menyadarkannya.

"MIPA, Bu!"

"Jika demikian menurutmu, apa kamu sudah berjuang secara i-d-e-a-l?"

Sejenak dia menatapku. Ada keterkejutan di mata itu. Namun hanya sejenak. Selanjutnya dia kembali berjuang tanpa menghiraukan pertanyaanku.

"Saya berjanji untuk menjadi lebih baik, Bu!"

"Berarti kamu merasa bahwa saat ini kamu tidak baik?"

"Bukan begitu, Bu. Saya memiliki masalah saat tes peminatan. Saya tidak mengerjakan TPA karena jaringan eror, Bu,"

"Apakah itu terjadi sehari suntuk?"

Dia tampak diam. Melihatku untuk menerka apakah aku bisa dibohongi atau tidak.

"Terus tes wawancara, berapa hari jaringan eror di daerahmu. Apa upaya yang sudah kamu lakukan untuk mencari solusi eror jaringan itu?"

Aku menyudutkannya pada fakta yang ada. Satu minggu aku mencari jejaknya melalui telepon. Nada sambung terdengar, tapi tak sekali pun diangkatnya. Pertemuan kuakhiri dengan kata tidak merekomendasi pindah jurusan.

"Sebenarnya sistim jurusan saat ini bagaimana sih, kok masih ada siswa meminta-minta jurusan seperti itu?" tanya suamiku setelah malamnya aku menceritakan tentang siswa tersebut.

"Istilahnya sekarang peminatan, Pa. Dan dilakukan sejak kelas X berdasar pada nilai akademik saat SMP, Tes IQ, rekom BK SMP, Tes TPA, dan Wawancara sebagai akumulasi dari semua pendataan," terangku. Maklum anak-anak kami sudah pada menikah begitu selesai kuliah karena kedua putriku cepet jodohnya.

"Terus kok sampai minta-minta, memang dari Bahasa dilarang jadi dokter?"

"Bisa, tetapi melaui jalur lintas minat atau tes tulis yang biasa disebut dengan SBM PTN,"

"Kalau begitu apa masalahnya?"

"Bukan jurusan ideal katanya,"

"Ada-ada saja. Apakah orangtua ada di belakangnya?"

"Pastinya. Tapi orangtua bilang itu keinginan anaknya. Sampai menuju kepada Kepala Dinas loh!"

Berrrhhhhgggg!

Suami yang sedang menyeduh teh, menyemburkannya secara reflek. Airnya muncrat kemana-mana. Sebagian juga ke bajuku.

"Segitunya? Apa jabatan orangtuanya?"

"Jaman sekarang untuk menuju kepala dinas masyarakat bawah juga bisa, Pa. Kan jaman keterbukaan?"

"Tapi secara psikologis jika seseorang tidak memiliki kekuasaan dia tidak akan sembarangan menuju puncak pimpinan!"

"Tepat sekali! Itu yang aku prihatinkan. Orangtuanya bahkan meminta kepala sekolah lain untuk menghubungiku guna meloloskan jurusan itu. Bisa paham tidak yang kupikirkan tentang kepala sekolah itu?"

"Hya. Kepala sekolah suruhan itu sedang keblinger. Kok mau-maunya nuruti permintaan kacangan seperti itu?"

"Hahahaha...," aku tertawa dengan komentar suamiku tentang kepala sekolah kacangan.

"Terus sekolahmu bagaimana?"

Aku mengerling jenaka sebelum menjawabnya.

"Sekolahku meluluskan permintaannya, hahahaha...," aku tertawa. Tak mampu melihat kelucuan akan hal-hal sederhana yang merintangi tugasku sebagai guru BK.

"Kau dari tadi tertawa terus?"

Sejenak aku mencoba menghentikan tawaku. Tawa keprihatinan.

"Aku tidak tahu, yang menginginkan jurusan MIPA itu benar anak atau orangtuanya. Secara sekilas orangtua seolah punya power. Tetapi yang sebenarnya mereka laksana menyiapkan keranda bagi putranya," ujarku selanjutnya.

"Maksudmu?"

"Pembelajaran itu tidak hanya mendengar, juga melihat. Yang dilakukan orang tua menjadi pembelajaran bagi anak. Unjuk kekuasaan itu terekam dalam memori anak. Maka di setiap anak mengalami kesulitan, orangtua adalah rujukannya. Jika demikian adanya, secara psikologis potensi anak telah dimatikan. Potensi untuk berpikir dan berbuat lebih baik telah dimatikan oleh orangtuanya sendiri,"

"Kasus yang sederhana justru menjadi semakin rumit,"

"Tepat sekali! Orangtua seharusnya menyiapkan anak untuk kuat secara mental. Bukan justru dimatikan seperti ini?"

Sejenak hening. Suamiku manggut-manggut. Sejurus kemudian meraih jemariku.

"Terus apalagi ancaman atas penolakanmu? Dipindah?"

"Hahaha..., kok Papa berdoa jelek untuk istrinya,"

"Aku selalu berdoa terbaik untukmu. Tetaplah menjadi dirimu. Aku selalu mendukungmu, apapun yang terjadi!"

"Yes!" teriakku sambil melompat memeluknya. Badanku yang kecil langsung tenggelam dalam pelukan lelaki tinggi besar. Aku merasakan kenyamanan dalam pelukan kasih sayangnya. Meski jauh di lubuk hati masih terasa mengganjal kasus siswaku itu. Apakah orangtua semacam menyadari bahwa keranda kematian sedang mengusung jiwa anaknya?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga mereka menyadari jangan memaksakan kehendak

01 Aug
Balas

Wow keren banget Bunda cantik.. banyak kasus yang sama diberbagai daerah...itulah repotnya...bawahan menolak..eh.. atasan setuju...clear..tanpa shampoo...haha..tertawalah Bunda... sebelum ditertawakan... salam semangat.

29 Jul
Balas

Guru BK menurutku guru yang hebat. Menjadi tempat curhat segala problem. Mantap tulisannya,bu. Sukses selalu.

30 Jul
Balas

Hehehe...terimakasih bu...smg demikian adanya...aamiin

30 Jul

Terimakasih....ya mmg tidak semua pimpinan memahami bgmn rumitnya menetapkan sebuah jurusan bg siswa...

29 Jul
Balas



search

New Post