Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web

KULMINASI DIRI

#Tantangangurusiana(184)

Tak ada kata terlambat jika ingin berubah. Tetapi berubah itu memang tidak mudah.

Sebagai anak tunggal yang berkecukupan, hati Siska memang belum siap untuk terluka karena cinta. Rasa sedih dan sepi karena harus menanggung derita seorang diri, bukan perkara sepele untuknya. Pelariannya pada kafe membuatnya dekat dengan Debo, gadis penyelamat nyawanya. Tapi juga yang membuatnya berkenalan dengan dunia kasih sayang pada sejenis.

Siswa bermasalah tidak selalu datang dari keluarga bermasalah. Keluarga harmonis yang lalai juga memiliki kontribusi menjadikan anaknya bermasalah dalam perjalanan tugas perkembangan remaja. Masalah perhatian dan komunikasi sering dilihat sebagai hal yang biasa saja.

"Sejauh mana perasaanmu pada Dena?"

"Saya tidak tahu, Bu. Saya hanya merasa sangat menyayanginya. Dia satu-satunya yang membangkitkan semangat hidup saya,"

"Tetapi apa harus melibatkan perilaku seksual?"

"Kami hanya berciuman. Apa itu artinya saya seorang lesbi, Bu?"

Aku terdiam atas pertanyaannya. Tentu saja itu di luar kapasitasku. Selain aku juga tidak suka bermain persepsi atas keadaan yang menimpahnya.

"Saya tidak berani menjawabnya. Itu sudah masuk dalam ranah Psikolog. Sementara saya hanya bisa mengatakan bahwa itu hanya kebiasaan yang tidak wajar. Tapi jika kebiasaan itu terus kau lakukan, akan menjadi karakter dan kecenderungan seksualmu. Dan menjadi masalah dalam keberlangsungan hidup wajar,"

Siska termenung dengan jawabanku. Aku juga. Membawa siswa pada kesadaran dan kemauan berubah bukan masalah mudah. Karena lingkungan juga harus memfasilitasinya. Problem siswa berada wilayah keluarga.

"Apa kau ingin terus berada pada situasimu?" tanyaku hati-hati. Pada akhirnya aku harus menggiring logikanya untuk mengambil keputusan selanjutnya.

"Saya memang harus menghetikannya..," berkata begitu kembali airmatanya berderai. Kulihat perasaan yang sangat berat dibalik kesadaran yang meningkat. Sanggupkah dia berjuang seorang diri? Orangtua harus memberinya dukungan untuk berubah.

"Orangtua saya pasti akan terkejut dan marah ya, Bu?" tanyanya lemah waktu aku menyampaikan ide membantunya dengan melibatkan orangtua.

"Hidup adalah pilihan. Tidak memilih pun itu juga satu pilihan. Tetapi usiamu masih menjadi batas tanggung jawab orangtua. Artinya, memberitahu orangtua itu adalah kewajiban. Kau membutuhkan dukungan berubah dari orangtuamu,"

Pandangan Siska menerawang jauh. Aku melihat satu wajah yang pasrah. Kekhawatiran tergambar jelas pada raut mukanya.

"Apakah menurutmu orangtuamu buruk?" tanyaku perlaha.

"Tidak, Bu. Mereka baik. Dulu kami selalu bersama. Tetapi akhir-akhir ini rumah serasa hanya tempat untuk tidur. Pagi saya dan papa berangkat. Saat saya pulang kadang mama sudah ada kadang belum. Jika ada di rumah mahasiswanya sudah menunggu. Hari libur seringkali Mama bersih-bersih rumah dan saya ekstra kurikuler,"

"Keadaan seperti itu tak jauh berbeda dengan keluarga lain, saya misalnya. Kamu hanya perlu sedikit membuang rasa malas untuk bercengkrama dengan mereka. Jangan melulu di kamar dan menunggu mereka. Datangilah. Mereka orangtuamu, tak akan menolakmu. Jangan sibuk dengan kesedihanmu sendiri,"

Siska mengangguk lirih.

"Pendidikan tinggi pada kedua orangtuamu akan membuat mereka lebih sukarela dalam membantumu. Kau anak satu-satunya. Jadi jangan khawatirkan mereka. Ini langkah awal untuk memperbaiki apa yang sudah terjadi. Bagaimana menurutmu?"

Siska terdiam. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Setiap orang memang akan bertikai dengan diri sendiri sebelum mengambil satu sikap penting dalam hidup. Itu adalah satu kulminasi diri. Pertentangan hati paling tinggi.

"Jika kau mampu bekerjasama dengan orangtua. Berarti pula kau membantu Dena. Harus ada pihak orangtua untuk mendampingi menyelesaikan masalahmu,"

Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, aku meyakini Ibunya Siska bisa diharapkan kerjasamanya dalam membantu permasalahan anaknya. Terkejut dan marah itu wajar. Itu reaksi normal. Setelah reaksi itu terlewati maka pemecahan masalah yang dicari. Begitu titik kulminasi diri bekerja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aamiin ya Robbal'alamin. Semoga sebagai titik puncak, kulminasi, ada keberkahan

28 Aug
Balas

Terimakasih ya pak...

28 Aug

Cerpen keren Bunda Sulis. Salam literasi, sukses selalu.

28 Aug
Balas

Terimakasih ya pak...

28 Aug



search

New Post