Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
MONYET BERKUMIS

MONYET BERKUMIS

#Tantangangurusiana(150)

"Memang kenapa cinta pertama dibilang cinta monyet?" tanyaku pada Gira sahabatku.

"Karena pake celana pendek!"

"Memang ada monyet pake celana?"

"Ya adalah. Istilahnya ada, masa senyatanya gak ada,"

"Mana?"

"Tuh!" jawab Gira antusias sambil menunjuk pada Bento yang sedang bergelayutan di atas pohon mangga. Sepertinya dia sedang menguras mangga depan sekolah. Saat itu memang sepi, karena hari Jum'at. Semua siswa sudah pulang, kecuali yang memang sedang malas pulang.

Mendengar jawaban Gira dan mengikuti arah telunjuknya, membuatku tertawa terbahak.

"Hahahaha..., monyet kok makan mangga!"

"Tapi kaya monyet kan, makan sendiri di atas mangga!"

Sekali lagi aku terbahak. Gira paling pandai untuk membuly orang. Sejak itu secara diam-diam dan secara berkode kami menamai Bento sebagai monyet. Sungguh kenangan masa SMP yang sangat indah.

Saat menuju SMA, aku tidak sesekolah dengan Gira. Juga dengan si monyet julukan Gira. Tapi aku tetap berkomunikasi baik dengan Gira, gadis tengil yang sesukanya jika berbicara. Di luar jam sekolah kami masih sering jalan bersama.

Seperti hari ini, Minggu. Aku dan Gira berjanji untuk melihat lomba futsal di sekolahku. Aku tidak hobi olahraga tapi suka jika melihat pertandingan olahraga. Karena di sana pasti berkumpul para pemuda keren mulai dari model A hingga Z.

"Masih bercita-cita punya pacar atlit?"

"Ya iyalah. Untuk apa aku selalu lihat perlombaan jika tidak untuk tebar pesona," jawabku sambil mata jelalatan menyeleksi pandangan.

"Memang apa istimewanya atlit?" kejar Gira penasaran.

"Aku tuh senang orang berotot. Berdada lebar dan gempal. Berwajah kuat dengan tarikan ke atas. Gak nunduk aja, kaya gacoan loe!" jawabku asal. Dan Gira melayangkan cubitan karena aku meledek pacarnya.

"Aduh...aduh...aduh...," teriakku menghindari cubitan kecil Gira.

"Awas ya kalau dapatnya malah raja Kingkong, gempal kan?" sungut Gira masih belum puas karena aku membicarakan pacarnya.

"Hahahaha, masa pilihanku Kingkong! Kira-kira dong kalau omong,"

Tiba-tiba kami mendengar suara gemuruh.

"Gory...Gory...Gory...," sekelompok gadis bertepuk tangan sambil menyebut satu nama. Kami berdua reflek melihat arena. Tampak dua tim saling berhadapan, tapi yang bertindak sebagai kapten sedang mendapat pengarahan wasit.

"Gory..., Gory..., Gory...," kembali suara itu dikumandangkan.

"Siapa, Gory? Yang mana orangnya? Baju hitam atau biru?"

"Tunggu aja. Sebentar lagi juga akan masuk lapangan!"

Tak berapa lama keduanya menuju lapangan. Seorang pemuda berbaju olahraga hitam seketika membuatku berdiri.

"Gir, itu bukannya dia, ya?"

"Siapa?" tanya Gira ikutan berdiri. Dia berjinjit-jinjit berpegangan pundakku untuk mengikuti arah tulunjukku.

"Si Monyet, Gir!" pekikku padanya.

"Masa itu dia. Keren banget," ujar Gira sambil terus berusaha melihat lebih jelas. Badannya yang kecil mencoba menyibak orang-orang di depannya untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas. Sementara aku dengan tinggi hampir melebihi 170 Cm, menikmati Bento yang menjadi kapten futsal sekolahnya. Gerakan dan kelincahan Bento sungguh menghipnotis dan selalu mendapat sambutan membahana.

"Gory.., Gory..., Gory...," kembali teriakan itu menyemangati Bento.

"Kok mereka panggil Gory. Bukannya itu beneran si Bento teman SMP kita kan?"

"Iya, emang benar. Dulunya monyet, sudah remaja bertransformasi menjagi gorila," jawab Gira sekenanya sebagai biasa.

"Ich...," protesku sambil menusukkan ujung sikuku pada tubuhnya. Dia terpekik sakit. Aku tak rela dia menyebut Bento sebagai dulu saat kami menemukanya bergelayutan di pohon mangga.

"Sepertinya kau bakal mengejar si Goryla deh," sambung Gira saat aku terus asyik memperhatikan Bento. Sesekali ikut meneriakkan namanya sebagai teman-temannya yang memberikan dukungan.

Setiap gol yang dilakukan oleh kelompok Bento, aku ikut berteriak histeris memanggil namanya.

"Gory..., Gory...., Gory...," aku terus berteriak menyemangati hingga terasa lepas tenggorokanku.

Dan saat kelompok Gory dinyatakan sebagai pemenang, suaraku kencang berteriak.

"Hidup Gory...,"

"La!" tambah Gira.

"Apaan sih?" tentangku pada Gira. Dan sebelum Gira menjelaskan sesuatu, aku sudah menyeretnya menuju Bento yang sedang merayakan kemenangan bersama tim dan pendukungnya.

"Mengapa Anda dipanggil Gory, bukannya nama Anda yang sebenarnya adalah Bento?" gurauku dengan lagak seorang wartawan saat menyapa Bento. Sejenak Bento menelitiku, dan selanjutnya berteriak keras:

"Gitayana!"

Kami saling bersalaman kencang seolah tak berjumpa seabad lamanya. Bento bahkan terang-terangan menarikku untuk foto berdua. Hanya berdua!

"Maaf..., maaf..., saya fotoin berdua, ya? pinta Bento pada temannya. Tetapi tidak hanya temannya yang mengabadikan foto kami, banyak teman lain melakukan. Juga Gira yang bergaya ala fotografer amatir.

Sejenak kami saling bertanya singkat di selah keramaian.

"Sekolah di sini?" tanya Bento dengan suara keras meningkah keramaian yang ada. Aku hanya mengangguk. Mataku sungguh lekat padanya. Tinggi besar hampir mencapai 180 Sentimeter, dengan dada mengembang gempal. Baju yang membungkus tubuhnya tak mampu menyembunyikan itu. Keringat yang mengalir deras membuat baju itu menempel dan mencetak jelas kegempalan tubuhnya. Kumis tipis mengikuti gerakan tawanya yang lebar mempesona.

"Norak kau. Jaga pandangan dong!" bisik Gira di telingaku. Sejenak membuatku tergeragap dan menyadari keadaanku. Dengan malu-malu aku mengikuti saran Gira. Sungguh indah pertemuan saat itu.

Siang itu sekolah sudah bubar. Aku pulang paling akhir karena sedang piket kelas. Saat semua sudah selesai, aku bergegas menuju parkiran. Hanya tinggal beberapa motor di arena parkir yang seluas mall itu. Aku menuju pada motorku, dan terkejut saat mendapati sesosok tubuh sedang duduk di atas motorku. Sesosok tubuh yang mulai menghantui beberapa malam-malamku.

"Aku sudah menunggumu lama sekali," ujar Bento menyambutku. Dengan memakai seragam yang sedikit kecil di badan, Bento semakin mempesona.

"Kau ada di sini?" kataku antara kaget dan bingung.

"Apa aku masih tampak seperti monyet bercelana pendek?"

"Kok tahu?"

"Gira yang bercerita...,"

"Maaf..., maaf.., saat itu karena aku melihatmu...,"

"Nevermind...," potong Bento. "Cinta monyet itu memang ada. Aku sudah menarik perhatianmu sejak SMP. Tapi kau tidak tertarik dengan cinta monyet...,"

"Kau?" tanyaku gugup. Aku bukan tidak merasa Bento sering menatapku, tapi saat itu aku memang tidak menganggapnya ada.

"Semoga kali ini, kesempatan itu terbuka untukku...,"

"Hahaha...," aku mencoba menutupi bahagiaku dengan tawa lebar. Sepertinya aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Cinta monyet itu memang ada, tapi saat ini dia sudah memakai celana panjang, dan....

Ber

Ku

Mis!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hehehehe....lucu dan menggelitik cerpennya. Sukses selalu ya bu.

24 Jul
Balas

Terimakasih...

24 Jul

Kreeen bunda...Hehe...terbawa arus cerpennya bund...menggiring kenangan ke masa itu...salam literasi

24 Jul
Balas

Terimakasih...

24 Jul

Barokallahu Keren bangeet ceritanya bunda, semangat selalu

25 Jul
Balas



search

New Post