Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
MULAI TERKUAK (21)

MULAI TERKUAK (21)

#TantanganGurusiana(109)

Pertemuan dengan pak dokter membuatku memutuskan untuk kembali membuka kasus Fikri. Hatiku akan terus menagih kebenaran yang tersembunyi, jik hanya berdiam diri. Kebenaran tersembunyi sedang menghadang siswaku.

Secara singkat kusampaikan hasil temuan baru pada bapak kepala sekolah. Tampak kesedihan pada wajah beliau.

"Jaman benar-benar sudah berubah ya, bu. Dio itu kan masih pelajar. Mengapa bisa memiliki ide sebagai orang dewasa. Apakah milenial itu identik dengan dunia tanpa batas?"

Kudengar nada keprihatinannya.

"Jika sudah seperti ini, sudah kriminal bu....,"

" Tapi mereka itu masih anak- anak dalam proses kematangan pak...,"

"Tapi sudah sangat merugikan orang lain. Ini kasus keluarga dengan korban pihak luar. Bagaimana jika ayahnya Fikri mengetahui kebenaran ini. Kita limpahkan saja kasusnya, bu. Rananya sudah melebar. Tak pantas lagi disebut siswa...,"

Aku hanya menunduk. Menyadari bahwa kasus ini akan segera menjadi bom, bagi sekolahku dan juga sekolah Dio.

"Bagaimana mungkin seorang anak berani berbohong dan mengerahkan temannya melakukan penyerangan pada sekolah lain. Tak habis pikir. Pasti sakit anak ini, bu...,"

Kepala sekolahku benar-benar menahan kegeraman. Aku tak berani berpendapat.

"Saya butuh ijin menenui Fikri, pak. Sebelum kasusnya kita kembalikan pada sekolah Dio. Kita cari bukti-bukti penguat. Setelah itu kita sampaikan kebenaran yang ada. Biar mereka yang menindak lanjuti hendak di kemana kan...," kataku akhirnya.

" Ya bu. Seperti itu saja. Cari bukti pada Fikri dan kembalikan kasus ini pada sekolah Dio..,"

Sejenak aku bersiap. Aku berkunjung pada sekolah Fikri dengan ditemani Waka Humas. Sepanjang perjalanan terus membahas kasus yang serasa tak masuk akal dapat terjadi di kota kecil seperti kotaku ini. Sungguh teknologi telah memberantas jarak dan waktu.

"Memang masih ada yang berkaitan dengan Fikri, ya?" kepala sekolah tempat Fikri belajar bertanya.

Jika di masa lalu kami tidak berteman baik, sulit bagiku memindahkan Fikri pada sekolahnya. Kasus Fikri sudah terkenal di seluruh kota ini. Bahkan namanya akan diingat sebagai satu keburukan dunia pendidikan.

"Tetapi ini upaya membersihkan namanya. Mengembalikan derajatnya pada tempat seharusnya,"

Maka kuputuskan untuk bercerita tentang kebenaran yang kutemukan.

"Luar biasa! Pada awal dia datang banyak siswa merasa takut dan tidak nyaman. Juga guru-guru banyak yang protes...,"

Sejenak ada yang mengetuk pintu. Tampak salah satu tenaga TU menyodorkan laporan. Dan berlalu tanpa menunggu. Aku mengangguk lirih padanya.

"Aku terus memantaunya diam-diam. Kulihat dia juga tampak tidak nyaman. Aku mencoba menyapanya sebagai yang lain. Kemudian kulihat tampak bergabung dengan siswa lain saat di kantin. Sikapnya canggung dan tertekan,"

Sejenak berhenti sambil membolak-balik laporan. Kemudian membubuhkan tandatangan. Aku menunggu dengan penasaran keadaan Fikri hingga hari ini.

"Anak itu sangat tabah. Dia berjuang keras untuk dapat diterima di sekolah ini...,"

Terbayang di mataku bagaimana Fikri harus melewati masa-masa sulit itu sendirian.

"Perlahan lingkungan mulai menerimanya. Juga guru-guru. Fikri tidak seseram dalam pemberitaan. Sepertinya dia belajar banyak hal dari kasus yang pernah menimpanya...,"

" Alhamdulillah....,"

Hampir menangis aku mendengar perjalanan Fikri untuk dapat diterima keberadaannya. Dia sudah mengalami banyak hal. Dan melakukan banyak hal pula.

"Senang aku mendengar perkembangannya di sini. Terimakasih, ya...,"

Aku serasa tak betah untuk segera bertemu dengan Fikri, pahlawan yang tak terakui. Ada banyak hal dari dirinya yang bisa dijadikan inspirasi bagi temannya. Pilihanku memindahkannya pada sekolah temanku, kurasa sudah tepat.

"Itu sebabnya, aku akan berupaya mengembalikan nama baiknya. Kebenaran harus ditunjukkan. Dia generasi yang dibutuhkan potensinya di negeri ini. Tapi kalau stempelnya tidak diperbaiki, catatan kelakuan buruk itu akan ada seumur hidupnya...,"

Ketika kudapatkan izin bertemu Fikri, aku menunggunya seorang diri. Aku ingin ini menjadi pertemuan laksana ibu dan anak yang telah dipisahkan.

Aku menunggu dengan hati yang tak tenang.

"Bu Ika...," Fikri menyerbuku dan menangis di pangkuanku. Bahunya turun naik seirama rasa yang ditumpahkannya. Aku menunggunya beberapa saat. Hatiku juga menangis melihat penderitaannya.

Pelajaran hidup, bisa didapat dari siapa saja.

12 Juni 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lama sudah saya tak mengikuti cerpen cerpen keren bu Sulistiana. Masih dan makin keren ternyata. Salutku, ibu. Semoga aku bisa menulis cerpen yg sebenarnya. Bukan sebatas tiga paragraf

12 Jun
Balas

Saya malah kagum dg pentigraf bapak...blm sempat belajar...

13 Jun

Keren Bu, membuat penasaran saja.Saya masih sangat kesulitan membuat cerpen.

12 Jun
Balas

Lakukan saja terus bu...insyaa allah bisa...

13 Jun

Keren buk

12 Jun
Balas

Terimakasih ya...

12 Jun

Keren banget

12 Jun
Balas

Terimakasih ya..

12 Jun

Keren!Salam kenal..

13 Jun
Balas



search

New Post