NAPAS ILAHIAH
NAPAS ILAHIAH
Aku menatap dengan hati lara pada adikku di ujung napas terakhirnya. Badan kurus kering dan tak lagi bisa tidur dengan rebahan. Harus tidur dengan cara duduk dengan badan disanggah tumpukan bantal, karena jika rebahan tidak membuatnya dapat bernapas.
Ada tiga bantal menyanggah tubuhnya. Tubuh kering bersandar dengan mulut terbuka lebar, begitu cara adikku bernapas. Tetapi udara yang dihirup seolah tak lancar masuk dalam rongga mulut yang sudah terbuka lebar itu.
Aku melihat dari jauh. Tak tega mendekat. Kulihat setengah mati dia harus bernapas. Kedua bibirnya tampak kering dan pecah-pecah karena harus terbuka terus-menerus.
"Kita hanya bisa berdoa, Mbak. Semoga mas Bagus sabar dan ikhlas dengan penyakitnya. Kata dokter kanker kelenjar getah bening yang dideritanya sudah menyebar, dan merusak paru-paru," terang istrinya padaku. Wajahnya lusuh dan berurai air mata. Jika ada anggota keluarga yang sakit keras, maka anggota yang lain bakal merasakan hal yang sama. Pasti istri adikku tidak tidur dengan baik selama merawat dua bulan ini. Aku hanya mampu menunduk. Prihatin pada keadaan yang tak mampu membiayai penyakitnya sejak dini.
Tiga bulan yang lalu telah tumbuh benjolan semacam uci-uci sebesar kelereng, di leher bagian kanannya. Sudah dibawah ke dokter. Saat itu dikatakan benjolan biasa. Bila mau dibuang benjolan itu bisa dioperasi, tetapi tidak berbahaya. Demikian cerita yang kudengar.
"Mengapa tidak operasi saja?" tanyaku hati-hati. Saat itu adikku masih tampak sehat dan segar.
"Kata dokter kan tidak harus operasi, Mbak. Lagipula darimana uangnya? Tahun depan anakku mulai masuk SD. Biarlah biayanya untuk dia belajar." Aku mengangguk lirih, merasa tidak memiliki dana guna membantunya. Suamiku hanya penjual bakso keliling, dan aku membantu segala keperluannya. Artinya, aku tidak memiliki pekerjaan sendiri. Aku hanya bisa memberi bantuan sekadarnya. Keadaan kami tidak jauh berbeda.
Tetapi satu bulan kemudian kudengar dia jatuh sakit. Aku kembali menjenguknya. Sebenarnya rumah kami tidak jauh hanya delapan kiloan, tetapi kesibukan membantu suami dan merawat ketiga anak membuat waktu habis begitu saja.
Saat aku kembali menjenguknya, kaget luar biasa. Benjolan itu sudah sebesar bolah bekel dan membuat susah menoleh. Kalau menoleh dia harus menggerakkan seluruh tubuh. Napas sering tersengal dan suara menjadi serak.
"Kok makin besar?" tanyaku tak mampu menutupi rasa khawatir. "Sudah periksa belum? Apa kata dokter?"
"Aku belum periksa lagi, Mbak. Sejak sakit aku sudah tidak bekerja. Badanku lemas dan mudah capek,"
"Jadi belum periksa lagi?" tanyaku sambil merabah dahinya. Suhu tubuh tampak demam.
"Belum," jawabnya lirih.
"Kalau begitu kita periksa sekarang. Mbak yang antar,"
"Uangnya?"
"Aku ada," jawabku sambil mengusap airmata yang menetes. Entahlah, aku merasa semua telah terlambat.
Ternyata dugaanku benar. Adikku terkena penyakit kanker kelenjar getah bening, dan sudah mencapai stadium akhir. Saat mengetahui hal itu adikku syok dan marah.
"Bukannya kata pak dokter hanya benjolan biasa, ya?" teriaknya penuh emosi.
"Baik Pak Dokter, sekarang harus bagaimana?" selahku menengahi. Aku menyadari kemarahan tidak akan menjadi jalan le luarnya.
"Semua terjadi atas ketentuan-Nya. Bersabarlah dan ikhlas," hiburku saat menariknya ke luar dari ruang praktek.
Secara mendadak kesibukan terjadi. Aku langsung mengurus untuk opname. Sempat terjadi bersitegang dengan pihak administrasi rumah sakit karena dikatakan belum ada kamar kosong. Maklum hanya peserta BPJS dengan iuran terendah. Diminta menunggu beberapa hari untuk dikabari. Aku meminta-minta dengan bersimbah air mata.
"Tolonglah, kami. Hidupnya juga tidak lama lagi. Beri dia kesempatan menikmati kenyamanan hidup sebentar saja, sekadar mengurangi penderitaan. Bantulah sedikit saja," rayuku dengan bersimbah air mata. Merasa tak tahan dengan penderitaan di depan mata.
Seolah-olah Allah mengabulkan harapan, saat tetangga yang memiliki jabatan di rumah sakit melihatku memohon bantuan.
"Ada apa, Mbak Lastri?" tanyanya sambil memeluk bahuku dari samping. Aku bagai bertemu dewa penolong saat bertemu dengannya. Di tempatku dia terkenal kaya dan dermawan. Aku bahkan bersujud meminta bantuannya, saat bercerita dengan suara satu-satu.
"Sebentar ya, Mbak. Saya tanya dulu. Mbak tunggu dulu," jawabnya menyejukkan hati. Sepanjang pembicaraannya aku terus berdoa. Adikku hanya terpekur tak berdaya. Betapa mahalnya biaya sehat bagi kami orang miskin.
"Ada, Mbak kamarnya. Naik satu kelas dari iuran yang seharusnya. Sisa biaya naik kelas perawatan, saya yang tanggung,"
"Allahu Akbar. Terimakasih, Bu, terimakasih. Kami tak kan mampu membalas semuanya," ujarku menceracau. Dia memelukku dan aku menumpahkan tangis di sana. Menghampiri adikku dan menepuk bahunya dengan prihatin.
"Sabar ya, Pak. Semoga ada keajaiban dari Allah. Jangan berpikir apapun, karena hidup sudah ada garisnya masing-masing," hiburnya sambil menyisipkan beberapa lemvar ratusan di tangan adikku. Kembali kami bertangisan berucap terimakasih. Aku nemeluk erat adikku untuk menguatkan hatinya. Dia terus menangis di bahuku.
"Aku masih muda, Mbak. Masih 32 tahun, tetapi sudah harus mati," isaknya menyayat hati. Hatiku sedih bukan main. Dokter bilang kemungkinan bertahan hidup paling lama satu bulan saja.
"Jangan berkata begitu. Kematian di tangan Allah. Semua akan mati dengan caranya masing-masing. Kita harus merelakan jika kehidupan harus dikembalikan, meski tidak mudah. Tetapi keikhlasan menerima adalah bukti dari ketakwaan kita," pelukku menguatkan. Aku tahu yang dirasakan, apalagi kami sudah tidak memiliki orang tua. Aku laksana Ibu baginya. Dalam pelukanku dia menangis lirih tak ubahnya anak kecil, sangat menyayat hati.
Semakin hari kondisi adikku semakin melemah. Benjolan juga semakin besar yang menghambat pernapasannya. Waktu yang diperkirakan berjalan lebih cepat seiring kondisi yang merosot tajam. Tidak mampu liiagi bernapas selayaknya. Cara dia mebarik oksigen seakan meruntuhkan semua persendian yang dimiliki. Hingga tidak bisa bernapas jika tidak dalam posisi duduk. Tabung oksigen yang terpasang di hidung seolah-olah tak memberi hasil. Aku tak tega melihatnya. Adikku sudah tidak mampu berkomunikasi. Matanya terbuka dengan pupil menatap pada satu titik, saat terakhir aku mendampingi.
"Dik Bagus kritis." Kata suami saat meneleponku. Aku tercekat, merasa semua akan segera berakhir. Saat itu suami yang menggantikan tugasku menemani di rumah sakit.Tak kuat rasanya untuk tidak menangisi keadaannya.
"Bantu dan tuntun dia ya, Mas. Sebentar aku menyusul ke rumah sakit," balasku dengan isak tangis. Aku bersiap dan bergegas hendak berangkat menuju rumah sakit saat suami kembali meneleponku.
"Dik Bagus sudah berpulang," jelas suami dari seberang.
"Innalillahi Wainnailaihirojiuun," pekikku tanpa sadar. Air mata menetes deras dalam kesedihan.
"Maafkan Mbak ya, Dik. Hanya sebatas itu dapat membantumu. Jangan khawatirkan anakmu, Mbak akan ikut menjaganya," bisikku tak berdaya.
Aku mendapati betapa oksigen adalah napas Illahiah yang tiada disadari keberadaannya. Kita bersama Allah di setiap tarikan oksigen yang tersedia berlimpah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita penuh hikmah
Alhamdulillah....terimakasih...
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Alhamdulillah Bapak...terimakasih...
Mantap, Bu Sulis. Salam literasi.
Makasih bu...supportnya...
Mantap betul Bu.... Sad ending namun bisa menyadarkan kita untuk selalu bermuhasabah. Salam Ukhuwah Islamiyah!
Terimakasih ya...itu kisah nyata yg saya modifikasi...barokallah...
Ceritanya penuh pengajaran buat kita, sukses selalu
Terimakasih...alhamdulillah...itu kisah nyata yg saya modifikasi..
Ceritanya mengandung pelajaran yang sangat bermanfaat. Sukses selalu tuk ibu.
Terimakasih...barokallah...