Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAMBUT PALSU (11)

RAMBUT PALSU (11)

#Tantangangurusiana(132)

Hampir satu jam perjalanan menuju salon Bang Ucok. Kali ini aku tidak hanya pamit pada Bang Ucok bab kedatanganku. Tapi juga telah pamit pada ibu kos untuk tidak menutup pintu untukku.

"Masuklah dulu. Itu sudah aku siapin es degan. Minum dulu. Pasti capek ya?"

"Terimakasih, Bang," jawabku dan Rio hampir bersamaan.

Tak berapa lama Bang Ucok sudah duduk di hadapan kami. Setelah basa-basi dia bertanya.

"Sebenarnya apa yang ingin kalian ketahui? Rasa penasaran atau...,"

"Bukan rasa penasaran, Bang. Aku ingin tahu mengapa rambut coklat itu sepertinya memiliki energi saat berada di kepala Tasya. Sesekali Tasya berubah menjadi Mbak Miriam. Ini kan tidak wajar? Apa yang sebenarnya diinginkan rambut coklat atas diri Tasya. Dan diriku...," ucapan yang terakhir terdengar sangat lirih.

"Yang jelas Miriam memang masih hidup. Tapi hidup yang bagaimana, aku tidak tahu. Beritanya simpang siur. Dan aku merasa tidak berkepentingan juga...,"

Saat Miriam mencapai rumah Sony, dia melihat keramaian sebagaimana keramaian yang ada pada pikiran bawah sadarnya. Miriam tidak menyadari keadaannya selain merasakan bahwa keramaian sebagai yang diinginkan telah menjelma menjadi nyata.

"Aku jadi manten...," ujarnya bahagia. Tawanya merekah lebar. Dia berputar-putar dengan kalimat yang sama.

"Aku jadi manten..., aku jadi manten..., olala...," Miriam mendendangkan lagu dari jeritan isi hatinya.

Terkadang menetes airmata, terkadang tersenyum-senyum sendirian. Rambutnya yang mulai agak panjang dengan model Bob membingkai seraut wajah yang kusam masai.

Para pengunjung serentak menjadi ribut. Mereka pada minggir membentuk satu kelompok yang siap untuk mengusir.

"Cantik ya, tapi seperti kurang waras," beberapa suara saling bertingkah menilai ulah Miriam.

"Itu bukannya Miriam, ya? Dulu adalah pacarnya Sony,"

Suara itu sampai pada telinga Miriam. Sejenak membuatnya sadar. Dia melihat keadaannya yang menjadi tontonan.

"Saya memang Miriam. Pengantinnya Sony," ujarnya memperkenalkan diri.

"Kasihan. Dia gila karena Sony meninggalkannya," kata sebuah suara dengan tajam dan menghempas memorinya.

Miriam melihat bagaimana dia menjalani hari-harinya bersama Sony. Merajut asah menjadi pasangan suami istri. Melihat bagaimana harus pontang-panting mencari biaya untuk biaya operasi Sony melawan kanker getah bening. Hingga harus merelakan menjual rambut kesayangannya. Terakhir, dia melihat keterpurukan saat Sony bersanding dengan wanita lain.

Bayangan-bayangan itu bermain cepat pada matanya. Berputar melesat melebihi kemampuannya berpikir. Miriam tak mampu membedakan kenyataan dan impian yang saling tumpang tindih. Suara-suara gumaman para tamu semakin memperkuat ketidakberdayaannya.

"Miriam gila...,"

"Dia sudah gila...,"

"Kasihan...,"

Miriam mencoba menolak penilaian atas dirinya dengan gumaman yang berdengung-dengung pada kepalanya.

"Aku manten..., aku manten..., olala...,"

Sony bukannya tidak melihat semua itu. Dia melihat jelas Miriam berputar-putar di depannya dengan gumaman yang menyayat hati. Senyum Miriam melukiskan rasa sakit yang maha dasyat. Tetapi Sony lebih memilih diam, dan membiarkan Miriam diusir dengan cara yang menyakitkan.

"Pergi kau. Dasar tidak waras. Gila!" beberapa pemuda Karang Taruna menghalaunya dengan keras. Miriam terjatuh. Kesadaran timbul tenggelam dalam pikirannya. Saat menatap pengantin wanita, dia merasa itu adalah dirinya. Saat melihat dirinya yang tersungkur, dia sadar bahwa itu bukanlah dia.

"Tidak ada yang menolong Miriam di saat dia membutuhkan untuk melihat kenyataan dengan wajar. Aku menyesal membiarkannya pergi seorang diri," keluh Bang Ucok. Sementara mataku sudah tak mampu membendung desakan airmata yang berlomba untuk ke luar.

"Kasihan Mbak Miriam. Aku dapat merasakan sakit dan luka hatinya," desisku sambil mengelap mata dengan ujung jilbabku.

"Pakai ini untuk ingusmu!" goda Rio sambil menarik beberapa lembar tisue di depannya. Aku menerimanya dengan segera. Tak ketinggalan dengan memukul bahunya karena mengejekku.

Miriam terlempar pada batas kesadaran. Tiada teman yang membantu mengurai sakit hatinya. Miriam pulang dari rumah pengantin dengan jiwa yang tidak sepenuhnya ada pada dirinya. Langkah kaki yang gontai. Airmata yang menetes deras. Bibir yang terus menceracau semakin mengaburkan fakta yang ingin diingkarinya.

Tetiba ada segerombolan pelajar yang bersenda gurau di jalanan. Mereka baru selesai pelajaran dan pulang dengan serempak. Dengung suara motor dan keramaian yang mendadak tercipta di depan mata, membuat Miriam bertambah bingung. Badannya berjalan pada sela-sela motor yang jumlahnya bagai lebah yang hendak menerkamnya. Miriam oleng, di saat itu satu motor menerima tubuhnya dengan sukarela.

"Brukkk!"

Miriam tak merasa sakit. Badannya melayang ringan tanpa mampu untuk dicegahnya. Tapi rasa sakit tak lagi terasa dalam hatinya.

"Miriam tertabrak motor saat siswa SMA keluar dari halaman sekolah!"

"Ya, Allah!" desisku reflek.

"Sudah jatuh tertimpa tangga pula ya, Bang?" tanya Rio lemah. Terbesit rasa empati yang mendalam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aduh ceritanya bikin trenyuh, keren

06 Jul
Balas

Terimakasih...

06 Jul

Kasihan. Bikin sedih

06 Jul
Balas

Terimakasih...

06 Jul



search

New Post