RAMBUT PALSU (13)
#Tantangangurusiana(134)
Sangat sepi saat kakiku menapak pada tangga pertama untuk menuju kamarku di lantai dua. Ketakutan tetiba menyergap. Aku menengok ke atas. Ada rasa takut untuk menuju kamar. Seolah telah menunggu sesuatu di depan kamar. Aku termangu beberapa saat.
Sejenak kutarik napas panjang dan memejamkan mata. Kubaca surat-surat pendek dengan cepat. Saat membuka mata:
"Waaaaawww," aku berteriak kaget.
"Mbak Dea?"
"Bapak kenapa ada di sini? Ini beneran bapak?"
Teriakan dan suara ribut menarik perhatian penghuni kos. Beberapa diantaranya ke luar dan melihat sumber keributan. Tidak kulihat Tasya. Secepatnya aku berlari naik ke atas meninggalkan bapak kos yang mendadak muncul. Kugunakan kesempatan mumpung penghuni kos belum kembali masuk kamar. Saat mencapai pintu kamar napas seolah tinggal satu-satu. Tak kuhiraukan tatap kebingungan teman kos.
"Clik!" aku mengunci daun pintu dengan lekas, dan bersandar lemas di baliknya. Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di kamar.
"Dea, sudah pulang ya?" itu suara Tasya. Sejenak aku ragu untuk menjawab. Tapi kuakui aku kangen padanya. Sudah lama kami tidak saling kunjung kamar. Terutama aku yang tak pernah mengijinkannya masuk ke kamar.
"Kau itu, Tas?"
"Iya. Capek ya?" suaranya bertanya membuat lumer hatiku.
"Kalau kau tidak pakai rambut coklat, kubuka pintunya,"
"Iya, aku pakai rambutku sendiri!"
Pelan kuputar anak kunci. Seiring dengan itu kubuka pintu secara perlahan. Tapi bayang Tasya tidak kutemukan. Rasa takut kembali menyergapku, tetiba:
"Dor!"
"Waaaaaew!" reflek kupukul kepala Tasya yang mengagetiku.
"Aduh..., aduh...,"
"Rasain!" sentakku sambil membuka pintu lebar-lebar. Sesampai di kamar, Tasya tertawa terbahak-bahak. Aku di depannya hanya bisa diam. Menikmati tawa Tasya yang sudah beberapa lama tak pernah kudengar.
"Kamu ini kenapa sih, De? Akhir-akhir ini bawaanmu itu membuatku bingung," tanya Tasya di sela-sela tawanya.
"Semua gara-gara rambut coklatmu, tahu. Kau harus kembalikan pada yang punya!"
"Mengapa begitu? Aku sudah membelinya. Mbak Miriam sudah menjualnya. Selesai urusan?"
"Rambut itu lambang cinta suci yang tidak kesampaian. Kau harus mengembalikannya!"
"Kalau tidak, bagaimana?"
"Kasihan Mbak Miriam!"
"Aku gak paham dengan maksudmu!"
Sejenak kuhimpun segala pikiran untuk menjelaskan secara sederhana yang mampu untuk dipahami Tasya.
"Saat ini Mbak Miriam koma. Selama tiga tahun dia demikian. Hidupnya hanya bergantung mesin medis saja. Ibunya tak mau melepas mesin itu," sejenak aku berhenti. Kutelusuri wajah Tasya di depanku. Semakin kulihat semakin tampak miripnya dengan foto Miriam di album Bang Ucok. Kemiripan yang membuatnya terhubung dengan Miriam.
"Kau mau tahu kemana aku malam-malam bersama Rio, beberapa hari ini?"
Tasya mengangguk. Perlahan aku menceritakan kunjungan pada Bang Ucok dan segala cerita tentang Miriam.
"Cerita yang menyedihkan. Jadi saat ini Mbak Miriam koma, ya?"
"Itu yang belum diketahui. Apakah masih koma atau sudah meninggal dunia. Bang Ucok tidak mengetahuinya. Tetapi koma atau meninggal dunia, rambut itu masih diinginkan oleh pemiliknya?"
"Tahu darimana Mbak Miriam menginginkan rambutnya? Kan sudah dijualnya?"
"Dijual paksa, dan setelah itu dikhianati. Bisa gak sih kamu merasakan sakitnya pengorbanan seperti itu?"
Tasya terdiam. Demikian juga aku.
"Setiap memakainya, terkadang kau adalah dirimu. Terkadang menjadi Mbak Miriam. Energinya ada di seputar rumah ini melalui rambutnya?"
"Lalu mengapa rambut palsu lain yang kupunya tidak memiliki energi yang sama?"
Sejenak aku terdiam. Menimbang untuk memberikan penjelasan dan contoh yang mudah dipahami oleh Tasya.
"Dapatkah kau membandingkan perlakuanmu pada benda yang kau sayangi dan tidak?"
Tasya mengangguk. Matanya lekat menatapku.
"Jika barang yang kau sayangi hilang, apa yang kau rasakan?"
"Pasti merasa sedih,"
"Jika barang yang kau sayangi kau berikan pada orang lain, tapi tidak dihiraukan. Bagaimana perasaanmu?"
"Pastinya marah dan kecewa!"
"Bagus! Kau sudah dapat merasakannya. Dan itu yang sedang dirasakan Mbak Miriam. Karena ini rambut kesayangannya,"
"Artinya?"
"Saat energimu melemah, maka energi Mbak Miriam mengambil alih melalui rambutnya. Sehingga kau berubah menjadi dia. Di saat kau tidak memakainya, energinya lepas kemana-mana,"
"Darimana kau mempelajari semua itu?"
"Aku tidak pernah mempelajarinya. Aku paham begitu saja. Kita menjadi terhubung. Kau yang mirip Mbak Miriam, dan aku yang mampu memaknai alurnya. Itu sebabnya Mbak Miriam senang muncul di depanku. Seolah sebuah pesan yang harus aku laksanakan,"
"Terus?"
"Kembalikan secepatnya. Karena kalau tidak, juga membahayakan dirimu?"
"Maksudnya?"
"Aku khawatir lama-lama energinya akan menguasaimu, dan kau benar-benar bukan dirimu. Jiwamu dikuasainya,"
"Hiiii, kau pandai menakutiku!"
"Percayalah. Ini untuk kebaikan kita bertiga. Kau, Mbak Miriam, serta aku!"
Sepeninggal Tasya, aku menjadi lega. Tasya tampak memahami alur yang aku sampaikan tentang rambut coklat yang dimilikinya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren Bu
Terimakasih ya...
Bagus Bun cerpennya... Jadi ikut merinding bacanya.. salam..
Terimakasih ya....