Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web

SETIAP SEKOLAH SAMA (4)

Setiap orang memiliki takdir dalam hidupnya. Bersyukur terhadap semua yang ada itu wajib.

Aku harus berpindah sekolah karena pengangkatan pegawai negeri yang kuikuti. Kesedihan mengantar perpisahan selama masa bakti duabelas tahun.

"Selamat berkarir di tempat yang baru, Bu Ika. Saya merasa sangat kehilangan teman diskusi. Lebih-lebih teman berjuang." Bapak kepala sekolah mengawali sambutannya. Ruangan mendadak hening.

Aku yang diminta duduk di depan bersama beliau, terpekur dalam diam.

"Teman-teman di sini pasti akan merindukan kiprah Bu Ika. Tapi inilah hidup. Ada saat berjumpa dan berpisah," lanjutnya lirih dengan intonasi kesedihan.Tak sanggup kutahan air mata yang berlinang. Teringat perjuangan saat awal melamar menjadi guru BK.

"Sekolah berduka dengan berpindahnya Bu Ika ke sekolah negeri. Sejujurnya kami dan siswa masih sangat membutuhkan sosok Bu Ika," sambutan Waka kurikulum semakin membuatku menunduk dalam tangis.

Aku merasa bahuku mulai berguncang. Tak pernah berpikir seberat ini berpisah dengan teman guru di swasta.

"Sebagai sesama rekan kerja, Bu Ika mampu mengubah persepsi tentang Guru BK di sekolah ini," ujar salah satu rekan kerja yang mewakili.

"Kesan kami pada Bu Ika adalah semangatnya yang luar biasa. Kami melihat bagaimana kerja keras membangun siswa, sekaligus menunjukkan bagaimana seorang Guru BK menjalankan peran dan fungsinya. Salut untuk Bu Ika."

Tepuk tangan bergemuruh mengakhiri sambutan. Kini giliranku. Aku justru tak sanggup berkata-kata. Tangan bergetar saat memegang micropone. Sejenak suaraku tak keluar.

"Rasa terimakasih tak terhingga untuk sekolah." Suaraku bergetar saat mengucapnya. Sejenak mencoba untuk tenang.

"Terimakasih atas penerimaan dan kepercayaannya terhadap saya sebagai Guru BK. Buat saya, sekolah ini laksana kampus. Tempat saya menimbah ilmu dan wawasan. Saya tak akan pernah mampu membalasnya..." Ucapku menutup sambutan.

Kesedihan menguasai ruangan. Apalagi saat kenang-kenangan disampaikan. Pecah tangisku dalam diam. Air mata terus berlinang tanpa mampu kutahan.

Keesokan hari menjelang menuju tempat tugas baru, sekolah memberiku kesempatan untuk berpamitan pada siswa dengan kegiatan apel pagi. Para teman guru berjajar, dengan bapak kepala sekolah tepat di sampingku. Aku tak mampu berkata banyak. Rongga leher terasa tercekik. Perut terasa kaku karena sekuat tenaga menahan tangis. Tak kusangka, aku dilepas dengan cara sangat terhormat.

"Anak-anak sekalian, saya tak bisa berucap banyak selain perasaan sedih karena harus berpindah tugas," aku berhenti untuk menyeka air mata yang mulai mengganggu pandangan. Bibir kugigit menahan duka yang menyesak dada.

"Belajar yang rajin dan pantang menyerah pada kesulitan. Teruslah memperluas minat dan membangun passion. Mengutamakan kejujuran dalam setiap perbuatan..."

Aku tak sanggup lagi meneruskan pesan perpisahan. Suaraku tertelan oleh tangis. Demikian pula siswaku. Isak tangis mereka bahkan sayup-sayup terdengar. Apalagi saat secara bergiliran bersalaman dengan diiringi senandung sholawatan. Siswa serentak menghampur saling berebut untuk memeluk. Ini kesedihan massal di luar perkiraan.

Kesedihan sangat menguasai hati. Secara khusus aku bahkan masih merasa perlu untuk kembali berpamitan pada pimpinanku. Aku akan merindukan saat-saat memberinya laporan. Beliau adalah orang pertama dengan penerimaan yang hangat.

"Tidak perlu merasa jengah, Bu. Setiap kita memiliki takdirnya masing-masing. Saya tidak berpikir Ibu tidak kerasan di sekolah ini. Tapi memang ini takdir diantara kita. Berjumpa dan berpisah," ujar pimpinanku menghibur perasaan pakewoh.

"Setiap sekolah itu sama, Bu. Di sana ada generasi muda penerus cita-cita bangsa. Ada saatnya mereka akan menggantikan kita. Tugas kita adalah menyiapkan. Di pundak mereka perjalanan bangsa ini terus berlanjut. Kita harus memastikan semua siap pada waktunya."

Pesan itu aku simpan dalam hati yang terdalam. Sungguh Allah telah memberiku lingkungan kerja yang penuh dengan rasa penerimaan. Membangun rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu yang baru. Kini saatku menemui siswa baru dengan tantangan yang juga baru.

Setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Merangkai hati saat bersama menjadikan diri begitu kaya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

14 Dec
Balas

Terimakasih bapak...telah mendukung saya...

14 Dec



search

New Post