Sulistiana

Saya Sulistiana guru Bk di SMA N 1 Kebomas Gresik. Salam Kenal ...

Selengkapnya
Navigasi Web

TATA TERTIB SEKOLAH (5)

Mengapa seorang siswa tidak mampu berlaku tertib di sekolah?

Dua tahun sudah aku berada di sekolah yang baru. Bermodal pikiran bahwa semua sekolah itu adalah sama. Ada generasi muda yang sedang disiapkan masa depannya. Pemikiran itu yang membuat tidak terbelenggu canggung dalam berkinerja.

Secepatnya bersinergi dengan Guru BK lain. Di sekolah negeri ini ada tiga teman guru BK. Lebih banyak dari sekolah swasta yang hanya aku seorang. Tetapi salah satunya adalah guru mapel yang diperbantukan. Ada 30 rombongan belajar dengan jumlah siswa mencapai seribu. Hari-hariku kembali berjibaku dengan berbagai hal yang berkaitan dengan siswa dan pengembangan diri.

------

Hari masih pagi. Jam pembelajaran pertama belum berakhir, saat Pak Il menuju ruang BK untuk menemuiku.

"Bu, tolong dibantu, ya? Ada siswa sering sekali misuh. Juga ngomong yang kotor-kotor." Sungutnya meluapkan rasa kesal. Tampak sekali rasa putus asa dalam nada kalimat. Sudut bibir terangkat dengan napas naik-turun tidak teratur.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Saat ada guru sedang merasa kesal dengan siswa, lebih kuberi kesempatan berbicara. Sementara aku mendengarkan saja. Cara demikian cukup ampuh membantu guru tersebut mengeluarkan sampah hati yang dimiliki karena ulah siswa.

“Mengumpat dan berkata-kata kotor ada pointnya kan, Bu?” lanjutnya masih dengan nada kesal. Warna merah tampak membias pada wajahnya yang sawo matang. Pak Ilham namanya. Biasa dipanggil Pak Il, adalah wali kelas XII.

“Iya,” jawabku singkat. Tangan menggapai tumpukan buku panduan Tata Tertib sekolah, di sampingku.

“Atas nama siswa siapa dan kelas berapa ya, Pak?” tanyaku saat hendak mencaritahu siswa yang dilaporkan.

“Ilyasar, Bu. Kelas XII Mipa-2!”

/Hem, sudah yang kedua kali guru memberi laporan tentang Ilyasar, bisikku dalam hati/.

Segera kucari tumpukan Buku Pribadi atas nama itu. Kubuka pada halaman yang berkaitan dengan tata tertib sekolah.

Kutemukan halaman yang dimaksud. Kuberikan pada Pak Il yang sudah menunggu. Pak Il menerimanya. Tak lama kemudian serius mempelajari serta membolak-balik lembaran tatib di tangannya.

"Ayahnya pejabat, Ibunya pejabat. Mengapa anaknya bisa demikian ya, Bu?"

Aku mengernyitkan kening, belum memahami maksudnya.

"Demikian bagaimana?"

"Amburadul! Astaghfirullahal adzim!" serunya tertahan sambil menutup mulutnya. Kedua sikunya menggantung pada kursi dia bersandar. Matanya menatap kecewa.

Aku tersenyum. Mendengar dan melihat reaksi serta keluh kesah sesama rekan kerja, membuatku berkaca. Ada yang menerima karakter siswa dengan penuh keprihatinan, kecewa, marah, bahkan terkadang mengumpat. Bergantung karakter guru bersangkutan.

"Terkadang saya kasihan, Bu. Teman-teman sekelas, tidak ada yang mau duduk dengannya. Semua punya alasan sendiri-sendiri!" lanjutnya sambil menerawang. Salah satu tangan menyangga dagu dengan posisi condong ke arah ku.

"Tapi saya juga manusia, Bu. Punya batas sabar jika siswa misuh saat pembelajaran." Ungkapnya lebih lanjut. Kali ini wajahnya menunduk. Tampak sekali galau hatinya. Masalah tata tertib siswa tampak membebani pikirannya.

"Dari pantauan saya, siswa sekolah ini lebih banyak bermasalah di pemenuhan tata tertib, Pak," jawabku hati-hati. Sebagai koordinator tim tatib sekolah, aku memiliki harapan padanya.

"Begitu ya, Bu?" tanyanya serius. Matanya menatapku sepenuhnya. Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Yang paling banyak pelanggaran di bidang apa, Bu?" Sambungnya.

Sejenak Aku diam. Kelas belajar siswa menghadap lapangan upacara yang juga merangkap sebagai sarana pelajaran olahraga. Jika anak-anak sedang bermain sepak bola beserta teriakannya, suaranya dapat mengganggu pembelajaran dalam kelas. Anak dalam kelas dituntut untuk beradaptasi dengan bijak.

"Untuk kasus ringan adalah terlambat hadir dan pemenuhan kelengkapan atribut sekolah. Ini kasus ringan tetapi sulit ditangani. Selalu berulang, baik pelanggar abadi maupun wajah baru. Tidak kapok dan tidak mempan dengan punishman sekolah." Presentasiku ringan. Ingin melihat bagaimana respon koordinator tatib sekolah.

"Sedang untuk pelanggaran berat justru lebih muda tertangani. Tetapi mereka justru yang terancam dikembalikan pada orang tua." Pak Il terkejut. Mata kami bertemu pada satu titik. Dia tampak tertarik dengan penilaian ku.

"Kok bisa, Bu?" Sergahnya serta merta. Aku tersenyum simpul. Hendak kujelaskan, sesaat tampak dua siswa menuju ke arah kami.

Sejenak kuurungkan niatku. Dua siswa tersebut datang menyerahkan jurnal kelas. Menjadi tugasku untuk merekap prosentase kehadiran siswa di sekolah. Melakukan pantauan bagi yang alfa, izin, maupun sakit.

“Kelas XI MIPA1, ya?” tanyaku mengenali salah satu siswa yang menyerahkan jurnal kelas.

“Iya, Bu. Sudah direkap. Rajin semua!” sahut Putri, sekretaris kelas, dengan sopan dan senyum yang merekah. Menampakkan dua lesung pipi. Gigi gingsulnya mengintip manis.

“Alhamdulillah. Sampaikan pada kelas, besok Saya cari jam untuk masuk kelas, ya. Kita akan nonton film motivasi. Siapkan diri untuk mengerjakan tugas seperti biasa.” Terangku.

Di sekolah ini BK tidak masuk kelas. Jika membutuhkan jam bisa meminta pada guru mata pelajaran. Aku butuh masuk kelas untuk menjaga interaksi dengan siswa. Tanpa siswa mengenalku, akan enggan bagi mereka melakukan kegiatan konseling. Aku bekerja keras membuat siswa mendatangiku atas inisiatif sendiri. Bukan dipanggil, lebih-lebih dikirim guru dengan emosi.

“Baik, Bu. Terimakasih!” jawab keduanya dengan ceria dan berlalu dari hadapan setelah salim padaku dan Pak Il. Tampak Pak Il mengikuti bayangan siswa hingga hilang dari pandangan.

“Anak-anak lebih suka nonton film ya, Bu? Wajahnya ceria sekali!” Komentarnya.

“Hanya variasi media, Pak. Lagipula juga ada tugasnya kok! Eh, sampai mana aku tadi ngomongnya, ya?”

“Tuh kan,” ujarnya menggoda, lalu kami tertawa bersama.

"Begini loh, Pak. Tatib itu kan diberlakukan untuk seluruh siswa. Kenyataannya, setiap siswa tidak sama latar belakangnya. Jadi pembuatan tatib idealnya mampu memfasilitasi perbedaan kasus personal." Jelasku panjang. Pak Il menatapku tanpa bicara. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Sejenak aku diam. Menunggunya berkomentar, kubuka jurnal kelas yang menumpuk di depanku. Meski sudah direkap, selalu kuperiksa ulang untuk meyakinkan kebenarannya. Hal itu karena absensi merupakan informasi utama kelangsungan siswa belajar di sekolah.

Tidak hadir tanpa keterangan sebanyak tujuh kali dapat membuat siswa tidak diperbolehkan ikut semesteran. Oleh karenanya aku selalu mengecek ulang siswa alpa dengan hati-hati. Sekretaris kelas membantu merekap hanya sekadar berlatih tanggung jawab saja. Wajar jika mereka salah hitung. Aku yang harus mengulangnya.

Kulirik Pak Il yang masih belum berpendapat. Akhirnya kuputuskan untuk kembali menyampaikan pikiran.

“Sama dengan saat kita membuat perangkat mengajar. Tingkat kesulitan siswa juga mendapat perhatian kan, Pak?”

“Iya, ya, Bu. Ada anak yang cepat menangkap materi dan tidak. Itu dari sisi kecerdasan. Dari sisi kepribadian, ada yang nurut dan mudah diatur. Ada pula yang pendiam dan tidak berani bertanya,” urai Pak Il dengan lancar.

“Ada pula yang memiliki karakter hanya bisa berperilaku positif, jika aturannya jelas. Selama aturan tidak jelas, cenderung mencari celah pembenar bagi kesalahannya,” sambungku menambahkan.

“Tetapi bagaimana cara tatib mampu mewadahi perbedaan secara personal, Bu? Pasti sangat ribet jika hal itu dilakukan," desis Pak Il kebingungan.

"Tetapi jika tidak dicari tahu caranya, akan melelahkan petugas tatib saja. Hari ini ditangani, besok masih mengulang lagi. Itu yang saat ini terjadi di sekolah. Petugas tatib apa tidak jenuh? Melakukan hal yang sama tanpa hasil sama sekali!" ujarku sambil tersenyum tipis. Pak Il tampak terkejut dengan pertanyaanku.

“Sekolah kita sudah 17 tahun, Pak. Kata remaja itu masa sweet seventeen. Masa berhias dan cantik. Akan tetapi, apakah sekolah sudah merasa demikian dalam masalah Tatib sekolah? Kita masih sering ambil gampang saja. Memenuhi skor pelanggaran, kembali ke orangtua. Apa hanya sejauh itu upaya sekolah?" tanyaku beruntun.

BK adalah pelaksana. Payung hukum tindakan tetap wewenang kepala sekolah. Staf inti sekolah memiliki kapasitas cukup besar dalam meloloskan maupun menggagalkan kasus siswa.

“Terus menurut Bu Ika, solusinya bagaimana?” tanya Pak Il akhirnya.

Aku menghimpun hati kuat-kuat sebelum menjawab. Berharap pemikiranku dapat menjadi bahan renungan. Sekaligus hadirnya sebuah perubahan.

Siswa di sekolah laksana bintang di langit. Bertaburan dengan kilaunya. Guru dan orang tua memiliki peran untuk membuatnya senantiasa bercahaya

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren

15 Dec
Balas

Terimakasih...barokallah...

15 Dec



search

New Post