Sumiati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Senyum Itu Part 3 (tamat)

Senyum Itu Part 3 (tamat)

Tantangan Hari ke-72# Tantangan Gurusiana

Senyum Itu

“Wah, kamu hebat ya sekarang,” “ Hebat apanya?” “Dulu makanmu sedikit, sekarang banyak, tapi tubuhmu tetap langsing. Apa sih rahasianya?” Aku hanya tersenyum. Melirik pada Hanni yang juga ikut tersenyum.

Hari ini aku makan di kantin. Padahal di rumah, sebenarnya aku sudah sarapan. Menghabiskan sarapan yang dihidangkan ibu tanpa sisa, sebaliknya menyisakan senyum lebar diwajah ibu sebelum ia berangkat bekerja.

Saat meninggalkan kantin. Mendadak jantungku berdebar-debar. Dalam jarak lima mmeter di depanku, cowok tampan itu berdiri memandangku, terus memandangku, dan ia masih disana, meski aku telah berlalu dari hadapannya.

Ia berhasil mendapatkannya senyum yang paling ia dambakan diantara semua senyum. Bahkan sampai tengah malam pun ia masih tersenyum-senyum. Dalam apapun yang ia lakukan ia tetap tersenyum. lalu ia tertidur. Seraya mendekap photo Rino, juga formulir di majalah yang baru saja ia gunting.

***

Ibu menatap hidangan di meja makan seraya tersenyum puas. Hari ini ulang tahun Dina. Dan ibu yakin kalau Dina tidak ingat. Buktinya sampai tadi malam Dina tidak bilang apa-apa. Mungkin anak gadisnya itu terlalu sibuk. Sebentar lagi ia akan ujian semester. Namun tentu saja ibu tidak akan pernah lupa. Dalam hidupnya ia hanya ingat tiga hari dan tanggal ulang tahun. Ulang tahun Dina, ulang tahun suaminya, dan ulang tahunnya sendiri. Karena suaminya sudah tiada, maka ia tidak lagi menyiapkan pada saat tanggal itu tiba, selain hanya memanjat doa agar segala dosa suaminya diampuni dan kelak mereka akan di pertemukan di syurga.

Dan hari ini adalah hari ulang tahun Dina. Sejak beberapa hari lalu ibu telah sibuk menyiapkan segala sesuatunya.berbelanja di pasar, memesan kue ulang tahun rasa coklat kesukaannya, juga membeli hadiah spesial untuknya.

Ibu ingin merayakan ulang tahun Dina yang ketujuh belas berdua saja dengan anak gadisnya itu. Dan ia pun tak berniat menghalangi andai Dina ternyata sudah punya rencana sendiri untuk merayakan ulangtahunnya. Apa yang penting baginya adalah bahwa momen istimewa itu dapat ia rayakan bersama Dina dalam satu-satunya waktu yang mampu ia bagi. Waktu sarapan pagi.

“Dina buka pintunya, Nak!” Kita sarapan sama-sama!” Serunya lantang seraya mengetuk pintu kamar Dina. Tak ada jawaban.

“ Ibu tunggu dibawah, yah! Cepatlah mandi dan berpakaian!” Serunya lagi, lalu bergegas kembali ke ruang makan. Begitu khawatirnya ia bahwa masih ada menu yang terlupa di siapkan ataupun kucing tetangganya yang nakal itu tiba-tiba saja nyelonong masuk lalu naik ke atas meja makan dan mengacaukan segalanya.

Ibu menunggu dengan gelisah. Berkali-kali melirik arloji namun Dina tak juga muncul. Padahal jam weker dari kamar Dina telah beberapa kali berdering. Mustahil kalau Dina tidak mendengarnya. Ibu mulai memanggil-manggil. Jarak antara ruang kamar Dina hanya terpaud empat meter. Tidak mungkin Dina tak mendengar suaranya kecuali kalau gadis itu memang masih pulas tertidur. Sampai menit ke sepuluh tergeser ke arloji ibu bangkit dari duduknya. Ia baru saja hendak menuju ke kamar Dina ketika ekor matanya menangkap sosok Si Manis dari arah pintu samping. Kucing itu berhenti tak jauh dari pintu. Dan ia mulai mendengus. Ibu telah hafal kebiasan kucing yang sama sekali tidak manis itu. Selain nakal dan suka mencuri, kucing itu juga sangat jorok. Jika sudah mendengus-dengus seperti itu maka sebentar lagi ia pasti akan muntah.

Ibu meraih gagang sapu lalu mendekati si Manis. “Pergi ! Jangan muntah di sini, kucing jorok!” Si Manis memandang wajah ibu. Lidahnya terjulur .

“ Hei, kau tidak dengar yah?Ayo pergi sebelum ku ....” Ibu belum lagi menuntaskan ancamannya. Sepasang matanya telah tertarik ke sepetak tanah tak jauh dari kaki Si Manis. Juga parit kecil yang mempet di sebelahnya. Di sana ibu melihat genangan cairan berwarna kuning, butiran-butiran nasi, potongan-potongan dadar telur, daun-daun sawi, gumpalan serupa coklat leleh yang belum membeku sempurna. Jumlahnya banyak, banyak sekali. Sepertinya benda –benda itu belum lama berada disana.

Ibu ternganga. Terbeliak. Saat menolehkan kepala baru disadarinya bahwa Simanis telah raib. Entah kapan kucing itu beranjak dari situ. Ibu menoleh lagi, pada genangan kotoran dan parit yang tersumbat. Seketika, teringat ia akan menu sarapan yang ia siapkan kemarin pagi.Wajah itu datang lagi. Menatap Dina yang masih terpejam. Masih memeluk fhoto Rino, juga guntingan formulir dari majalah. Hanya kali ini gadis itu benar-benar pulas. Saking pulasnya hingga gelombang dadanya pun tiada. Aliran darah segar yang seharusnya merona juga tiada.

Wajah itu tak lagi tampak letih, putus asa, dan memohon belas. Ia tersenyum.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bu

12 Apr
Balas

Wow, keren mskpun blm tuntas tp alurnya la dpt diikuti

08 Apr
Balas

Makasih, katanya ceroen yg bagus itu endingnya enggak usa tuntas, yg menuntaskannya adalah pembaca, he he, he.

08 Apr

Keren bu

09 Apr
Balas

Makasih

09 Apr



search

New Post