Antre Intelektual
Hampir di setiap ada acara, yang melibatkan banyak orang berkepentingan sama, antre selalu saya jumpai. Anda pun mungkin menjumpainya. Ada yang menggunakan nomor antre. Tapi, ada juga yang tak menggunakan nomor antre. Seperti, yang saya lihat di salah satu sudut ruang Pelatihan Menulis Buku “SAGUSABU” Solo. Karena, rasanya tak lazim jika panitia menyediakan kartu antre mengambil konsumsi.
Saat Mas Eko Prasetyo menyilakan peserta istirahat menikmati hidangan ringan selama 15 menit, peserta langsung menyerbu sudut snack. Peserta antre. Entah karena apa, antreannya bercabang dua. Tapi, begitu mendekati “sasaran”, sekalipun tanpa komando, pengantre membentuk satu cabang. Ini boleh jadi karena tempat minum dan makanan ringannya di satu meja.
Yang menarik bagi saya adalah di ujung cabang antrean tak terjadi desak-desakan. Peserta tampak ikhlas membiarkan peserta lain untuk lebih dahulu masuk di bagian antrean yang satu cabang. Kemudian disusul peserta yang lain. Dan, begitu seterusnya. Sehingga, semua peserta akhirnya dapat menikmati kudapan.
Saya berpikir pemandangan antre yang seperti itu mungkin tak keliru kalau disebut antre intelektual. Kok? Sebab, yang antre sebetulnya para guru. Yang, disadari atau tidak, pengemban intelektual. Tak hanya mengemban intelektualnya, tapi juga mengemban intelektual siswa. Bahkan, secara ekstrem, bolehlah dibilang mengemban intelektual bangsa. Jadi, peserta pelatihan yang notabene guru memiliki kendali emosi sehingga hati-hati.
Itu barangkali yang membedakan dengan antre-antre yang sering kita jumpai di ruang publik. Seperti di terminal, stasiun, puskesmas, stadion, dan gedung bioskop. Di sana sering terlihat antre yang berdesak-desakan. Bahkan, bisa-bisa saling serobot. Yang bukan mustahil dapat menimbulkan perseteruan.
Sayang, rating pemandangan antrean yang dapat meningkatkan “tensi tinggi” ini di Indonesia masih demikian tinggi. Dan, kalau fakta itu tak terkendali tentu kehidupan bersama terus terganggu.
Siapa yang bertanggung jawab? Tentu banyak pihak, termasuk guru lho. Pemandangan antre yang saya lihat di sudut ruang Pelatihan Menulis Buku “SAGUSABU” Solo, di Hotel Megaland, saat nyenack tadi, dapat menjadi model antre yang menarik.
Peserta Pelatihan Menulis Buku "SAGUSABU" MediaGuru, Solo.*
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
rwar biasa bapak,,super sekali,,,,besok saya di ajari geh pak,,,,sipp
Terima kasih, Pak. Kita belajar bersama ya. Hehehehe
Pak Sungkowo, saya jadi baper baca tulisan bapak.... Tidak bisa bergabung di megaland hotel, padahal posisi saya di sekitar hotel tersebut... hiks...
Ayo bergabung, Bu. Hehehehe... Terima kasih sudah mampir.
Saya sedang mengikuti diklat di grand HAP hotel pak... Hanya 100m dari megaland...
Betul, Bu. Saya sangat setuju.
Inspiratif...Semoga budaya antre intelektual menular ke ruang-ruang publik lainnya ya pak.
Setuju, Bu. Terima kasih ya....
Betul pak,,,para guru sdh terbiasa dengan budaya antre,,krn jika PNS sdh d biasakan sjk PRAJAB, dan dalam setiap Diklat. Para guru mengemban beban moral.
bagus, p sungkowo...
Terima kasih, Bu. Hehehehe
Pak Sungkowo, pepatah Jawa "wani ngalah dhuwur wekasane" artinya berani untuk mengalah dgn yg lain, tapi akhirnya juga dApat. Ndherek gabung